Pemerintah Harus Berani Jatuhkan Sanksi Perusahaan Tambang
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah harus tegas menjatuhkan sanksi terhadap perusahaan tambang yang tidak mematuhi aturan. Aturan yang dimaksud adalah membayar kewajiban keuangan, serta pelaporan data produksi dan penjualan. Pasalnya, masih ada tunggakan pembayaran kewajiban senilai Rp 5 triliun.
Pada peluncuran aplikasi pencatatan produksi dan laporan penjualan mineral dan batubara oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pekan lalu, pemerintah akan menjatuhkan sanksi terhadap perusahaan tambang yang tak patuh. Sanksi itu berupa pencabutan atau pembatalan rencana kerja dan anggaran biayanya (RKAB) oleh pemerintah. RKAB yang disusun perusahaan harus mendapat persetujuan Menteri ESDM atau Gubernur.
Menurut Manajer Advokasi pada Publish What You Pay Indonesia, koalisi masyarakat sipil untuk transparansi dan akuntabilitas sumber daya ekstraktif, Aryanto Nugroho, pemerintah harus berkomitmen dan berani untuk tidak menyetujui RKAB perusahaan tambang yang tak mematuhi ketentuan. Ketegasan pemerintah diperlukan untuk mengendalikan dan mengawasi produksi dan penjualan hasil penambangan. Pasalnya, tak semua perusahaan pemegang izin pertambangan patuh pada aturan.
”Contohnya adalah masih ada piutang PNBP (penerimaan negara bukan pajak) sekitar Rp 5 triliun. Itu salah satu bukti ketidakpatuhan perusahaan tambang terhadap kewajiban yang harus mereka tunaikan. Sebaiknya pemerintah memang benar-benar berkomitmen menjatuhkan sanksi bagi perusahaan yang tak patuh tersebut,” kata Aryanto saat dihubungi, Minggu (4/11/2018), di Jakarta.
PNBP sektor mineral dan batubara terdiri dari tiga komponen, yaitu iuran tetap, royalti, dan penjualan hasil tambang. Besaran PNBP di sektor tersebut dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu harga mineral dan batubara, serta volume produksi. Tahun ini, perolehan PNBP sektor mineral dan batubara ditargetkan sebanyak Rp 32,1 triliun.
Selain piutang PNBP, kata Aryanto, masih ada masalah dalam hal pencatatan data penjualan batubara ke luar negeri. Ia mencontohkan temuan Indonesia Corruption Watch tentang perbedaan data penjualan batubara ke luar negeri antara Kementerian ESDM dengan Kementerian Perdagangan sepanjang 2006-2016. Selama rentang waktu tersebut, ada perbedaan data ekspor sebanyak 519,6 juta ton.
Mengenai piutang PNBP sektor mineral dan batubara senilai Rp 5 triliun, menurut Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar, pihaknya tetap akan mengejar perusahaan yang belum menunaikan kewajibannya itu. Sementara ini, perusahaan yang tercatat sedang diverifikasi oleh pemerintah mengenai kewajiban-kewajiban mereka yang harus dibayarkan untuk mendapat data yang lebih akurat. Menurut dia, pemerintah berkomitmen akan menjatuhkan sanksi bagi perusahaan yang lalai.
”Yang menunggak akan diberlakukan langkah-langkah dan nanti akan kami komunikasikan (mengenai langkah yang diambil pemerintah),” ujar Arcandra.
Selain aplikasi pencatatan produksi dan penjualan hasil tambang mineral dan batubara, Kementerian ESDM juga membuat aplikasi yang dinamai e-PNBP. Dengan aplikasi ini, perusahaan dapat mengetahui besaran kewajiban pembayaran kepada negara termasuk pelunasan kewajiban lewat aplikasi tersebut. Pemerintah memastikan bahwa semua data yang dimasukkan perusahaan akan diverifikasi kebenarannya.
Capaian perolehan PNBP sektor mineral dan batubara sampai awal November 2018 tercatat Rp 40,1 triliun atau sudah melampaui target 2018 yang ditetapkan sebesar Rp 32,1 triliun. Pemerintah optimistis sampai tutup tahun ini capaian PNBP sekitar Rp 43 triliun. Harga batubara yang melonjak di atas 100 dollar AS per ton berkontribusi utama terhadap besarnya perolehan PNBP sektor mineral dan batubara.