JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mewajibkan perusahaan pemegang izin pertambangan memasukkan data produksi dan pembayaran royalti beserta iuran tetap secara daring. Dengan aplikasi khusus, capaian produksi harian perusahaan tambang, termasuk kewajiban pembayaran kepada negara, bisa terpantau. Perusahaan yang tak patuh akan dicabut rencana kerja dan anggaran biayanya oleh pemerintah.
Kewajiban tersebut bisa dilakukan lewat aplikasi daring yang diluncurkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada Jumat (2/11/2018) di Jakarta. Aplikasi itu bernama Mineral Online Monitoring System (MOMS) dan e-PNBP Minerba. MOMS memuat data produksi sampai penjualan, sedangkan e-PNBP berisikan perhitungan kewajiban pembayaran perusahaan tambang termasuk untuk pembayaran.
Menurut Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar, lewat aplikasi tersebut, pemerintah daerah dan pusat bisa mendapat bahan pertimbangan terkait perencanaan pertambangan. Selain itu, pengendalian dan pengawasan produksi bisa dipantau secara langsung. Kinerja perusahaan tambang juga dengan mudah diketahui.
”Perusahaan tak perlu repot datang ke kantor ESDM untuk melaporkan data, cukup dimasukkan ke dalam aplikasi. Perusahaan yang enggan memasukkan datanya lewat aplikasi ini, RKAB (rencana kerja dan anggaran biaya)-nya akan kami cabut,” ucap Arcandra.
Saat ditanya soal verifikasi data, menurut Arcandra, sementara ini pemerintah akan mengandalkan data yang dimasukkan perusahaan lewat aplikasi tersebut. Namun, ia memastikan, apabila perusahaan tambang telah memasukkan data ke aplikasi, petugas pemerintah akan memeriksa kebenaran data tersebut di lapangan. Pihaknya memberi batas waktu sampai Jumat, 9 November, bagi perusahaan tambang untuk memasukkan data tersebut.
Secara terpisah, Manajer Advokasi pada Publish What You Pay Indonesia (koalisi masyarakat sipil untuk transparansi dan akuntabilitas sumber daya ekstraktif) Aryanto Nugroho mengatakan, pihaknya mengapresiasi upaya pemerintah meluncurkan aplikasi tersebut.
Menurut dia, publik berharap kedua aplikasi ini dapat menjawab masalah lemahnya tata kelola sektor tambang, khususnya soal pengawasan produksi dan penjualan, yang berpotensi menyebabkan hilangnya penerimaan negara.
”Catatannya adalah sejauh mana aplikasi ini terintegrasi dengan kementerian lain, seperti Kementerian Keuangan ataupun Kementerian Perdagangan, yang berurusan dengan penerimaan negara dan penjualan? Selain itu, aplikasi ini belum dapat benar-benar transparan karena publik tidak bisa mengakses. Hanya pelaku usaha dan pemerintah saja,” kata Aryanto.
Piutang Rp 5 triliun
Sementara itu, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono menyebutkan, capaian penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor tambang sampai awal November ini sudah mencapai Rp 40,1 triliun. Padahal, target PNBP sektor tambang dalam APBN 2018 adalah Rp 32 triliun. Ia optimistis perolehan PNBP sampai akhir tahun nanti bisa mencapai Rp 43 triliun.
”Dulu, kewajiban perusahaan Rp 10.000 dan dibayar Rp 8.000 bisa diterima. Sekarang, kalau pembayaran tidak sesuai dengan kewajiban, akan tertolak oleh sistem secara otomatis pada aplikasi e-PNBP,” ujar Bambang.
Kendati demikian, menurut Bambang, masih ada tunggakan PNBP sekitar Rp 5 triliun. Tunggakan itu terjadi secara akumulasi sebelum tahun 2017. Pemerintah bersikukuh akan menagih perusahaan yang menunggak pembayaran royalti dan iuran tetap tersebut.