Sebagian petani di Malang, Jawa Timur, yang berada di lereng selatan Gunung Semeru, tepatnya di wilayah Kecamatan Ampelgading dan Tirtoyudo, masih memertahankan sisa tanaman kopi yang telah berumur lebih dari setengah abad atau biasa disebut kopi tua.
Soal kapan tanaman itu mulai ditanam, tidak banyak petani yang tahu persis. Ada yang meyakini kopi itu ditanam pada masa kolonial. Yang pasti, tanaman itu sudah ada sejak mereka masih kecil. Jumlahnya pun tidak banyak, hanya satu-dua pohon dalam satu lahan.
Secara fisik, sekilas pohon kopi tua terlihat hampir sama dengan kopi masa kini hasil regenerasi. Namun jika dicermati secara seksama, pohon kopi tua punya berbedaan dengan tanaman muda. Kopi tua punya batang lebih besar, terutama pada bagian bawah (bonggol). Tekstur kulit batangnya juga kasar, terkadang sebagian sisinya telah lapuk dimakan usia.
Dan untuk memastikan, kita harus bertanya langsung kepada pemilik kebun. “Masih ada satu-dua pohon kopi tua di kebun saya. Lainnya masih tergolong muda meski ada juga yang masih berumur 30-40 tahun,” ujar Listadi (63), salah satu petani kopi di Desa Amadanom, Kecamatan Dampit, Senin (29/10/2018).
Menurut Listadi kopi tua punya biji yang lebih harum dibanding tanaman kopi muda meski dari sisi produktivitas jauh lebih kecil dibanding kopi hasil regenerasi. “Meski produksinya sedikit, kopi ini punya aroma wangi,” ucapnya.
Selain di wilayah Dampit, kopi tua juga bisa ditemui di Kecamatan Ampelgading dan Tirtoyudo. Untuk bisa melihat, kita harus bertanya dari mulut ke mulut kepada petani di mana pohon kopi tersebut berada. Dan mereka tidak akan segan menunjukkannya.
Setelah mendapatkan informasi tentang wilayah kopi yang dimaksud, kita masih harus menerobos lebatnya perkebunan. Tidak mudah bagi orang awam untuk menemukan kopi tua di hamparan kebun kopi yang luasnya mencapai puluhan hektar dalam satu wilayah, yang sebagian wilayahnya ada di lembah.
Sambil berjalan membungkuk kita harus mencermati setiap tanaman. “Di sini sudah tidak ada kopi tua. Semua tanaman peremajaan. Kopi tua ada di Desa Sukorejo, Kecamatan Tirtoyudo,” ujar Mulyono (65), salah satu petani di Dusun Kalibakar, Desa Tirtoyudo, Kecamatan Tirtoyudo, yang juga bendahara kelompok Tani Budi Lestari. Mulyono baru mengembangkan kopi robusta tahun 1974 di lahan seluas 4.200 meter persegi miliknya.
Awalnya ada sekitar 550 batang kopi yang ditanam Mulyono namun saat ini yang produktif tinggal sekitar 450 batang. Sisanya 100 batang masih peremajaan. Produktivitas kopi di lahan Mulyono fluktuatif, pernah mencapai 700 kilogram per hektar per tahun namun pernah juga mencapai 1.700 kilogram. Produktivitas kopi tergantung cuaca dan cara perawatan.
Meski referensi menyebut bahwa tanaman kopi robusta pertama di Jawa--setelah pengalengan, Jawa Barat—dikembangkan oleh Belanda di kawasan Kalibakar (Dampit dan sekitarnya). Namun sejumlah petani di Kalibakar mengaku kopi di wilayah itu tidak ada lagi. Kopi-kopi itu dibabat oleh warga tahun 1990-an saat terjadi konflik perkebunan.
Pencarian Kompas akan kopi tua kemudian berlabuh di Desa Sukorejo. Suji Ribawanto (59), salah satu buruh perawat tanaman kopi di Sukorejo, menuturkan, selama masih produktif maka pohon kopi tua itu dibiarkan tumbuh dan berbuah. Tanaman itu biasanya diganti tanamana baru setelah tidak lagi berbuah. Jumlahnya bisa mencapai belasan-puluhan pohon dalam satu hektar lahan
“Produktivitasnya ada yang bisa berbuah banyak, tapi ada juga yang sedikit. Ukuran buahnya biasanya kecil-kecil. Berbeda dengan tanaman kopi muda yang buahnya cenderung agak besar,” katanya. Suji merawat kopi milik enam petani setempat dengan luas lahan sekitar 5 hektar (lebih dari 5.000 batang pohon).
Menurut Suji pemilik memilih membiarkan kopi tuanya dengan alasan lebih mudah dirawat, tahan penyakit, umur lebih panjang dari kopi modern, dan memiliki akar yang jauh lebih lebat. Jika tanaman kopi modern butuh pemupukan setahun tiga kali dan penyemprotan, maka kopi-kopi tua tidak membutuhkan semua itu.
Hal ini dibenarkan Sugeng Priyanto (47) dan Madi (59), keduanya petani kopi di Sukorejo. Menurut mereka ada kebanggaan tersendiri memertahankan kopi peninggalan orangtua. Keduanya mengaku tidak tahu pasti kapan kopi tersebut tumbuh. Yang pasti tanaman itu sudah ada jauh sebelum mereka lahir.
Sayangnya, meski tahu itu pohon tua yang memiliki nilai lebih, petani menjual hasil panen dengan cara dicampur dengan boji kopi modern. Selain tidak tahu cara menjual biji kopi “unik” para petani enggan ribet. “Dijual campur dengan yang lain,” kata Sugeng. Saat ini harga kopi di daerah setempat mencapai Rp 28.000 per kilogram.
Pendamping petani kopi Dampit, Jajang Somantri, mengatakan, sejauh belum ada pohon kopi tua yang dijadikan tujuan wisata. Yang ada baru sebatas wacana menjadikan sebagai tujuan wisata.
Memang, di satu sisi, menurut Jajang ada upaya untuk peremajaan sesuai program Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Malang karena pohon kopi tua dianggap kurang produktif. “Tanaman yang berusia di atas 35 tahun harus direhabilitasi,” ujarnya.