PKL, Aset Triliunan Rupiah yang Gagap Dikelola
Kedatangan para penumpang kereta selalu paling dinanti. Tak dihiraukan lagi lelehan peluh dan sengatan terik matahari. Pedagang kaki lima siap adu cepat mengambil hati calon pembeli.
”Boleh, Kak! Boleh, Kak! Cuma Rp 35.000 saja!” kata Mezi (20) yang gencar mendekati seseorang yang datang ke lapaknya, Jumat (19/10/2018). Akhirnya, dua potong pakaian terjual.
Mezi telah beberapa bulan berjualan di trotoar Jalan Jatibaru, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Sebelumnya, ia berjualan di kios di Pasar Tanah Abang.
”Jualan di trotoar lebih enak daripada di kios. Lebih bebas. Kalau di dalam kios, diatur-atur, enggak bebas,” kata Mezi.
Konsep usaha PKL yang mendekati konsumen juga mau tak mau telah dinikmati oleh warga kota secara umum. Setiap orang rasanya bebas menjual dan membeli semaunya.
Di kawasan Tanah Abang, misalnya, kebebasan tidak hanya dianut para PKL. Pembeli, pejalan kaki, hingga sopir kendaraan umum menganut paham yang sama. Semua memiliki tujuan dan kepentingan sendiri. Ketertiban umum diabaikan.
Tanah Abang memiliki dua titik sentral, yaitu Stasiun Tanah Abang dan Pasar Tanah Abang. Keduanya dipadati ribuan orang setiap hari, baik para komuter yang transit maupun mereka yang datang ke Pasar Tanah Abang untuk belanja secara grosir. Tanah Abang juga padat oleh kendaraan umum yang mengetem di pinggir jalan. Akibatnya, kesemrawutan terus terjadi.
Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan, Her Pramtama, mengatakan, pergerakan atau mobilitas masyarakat akan membangkitkan nilai ekonomi.
”Misalnya, orang yang baru turun dari KRL menunggu ojeknya datang. Sambil menunggu, dia bisa beli makanan, minuman, atau lainnya yang ada di sekitarnya. Itu namanya impulse buyer. Para PKL melihat ini sebagai kesempatan,” katanya.
Hingga Juli 2018, tercatat ada 650 PKL yang berjualan di Jalan Jatibaru. Data ini dihimpun Dinas Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Perdagangan (KUMKMP) DKI Jakarta.
Menekan kesemrawutan tetapi dengan tetap menjamin PKL tetap hidup, maka dibangunlah skybridge atau jembatan penyeberangan multiguna (JPM) di atas Jalan Jatibaru sejak Agustus 2018. JPM direncanakan selesai akhir bulan ini. JPM menyediakan 446 kios bagi para PKL yang terdata.
”Sisanya akan diberi tempat di Pasar Tanah Abang Blok F di lantai enam,” kata Kepala Dinas KUMKMP DKI Jakarta Adi Ariantara.
Kios bagi para PKL diberikan dengan sistem undian. Adi mengatakan, undian dilakukan pada 11-13 Oktober 2018. Direktur Utama PD Pasar Jaya Arief Nasrudin mengatakan, pihaknya siap menampung PKL yang tidak tertampung di JPM.
Pada rencana desain JPM, para penumpang KRL dari Stasiun Tanah Abang akan dapat langsung terhubung ke JPM. Akses itu berada di sisi timur stasiun. JPM Jatibaru sepanjang 386,4 meter dan lebar 12,6 meter. Dengan rencana desain ini, para penumpang KRL dapat melakukan dua aktivitas utama, yaitu berbelanja di Tanah Abang dan melanjutkan perjalanan dengan moda transportasi lain.
”Kami usahakan tidak ada lagi PKL tumpah ke jalan. Jalan di bawah JPM untuk lalu lintas semaksimal mungkin. Tak mungkin steril benar dari PKL, tetapi kami minimalkan potensinya,” kata Wakil Wali Kota Jakarta Pusat Irwandi.
Satuan polisi pamong praja (satpol PP) akan disiagakan menjaga ketertiban di Jatibaru. ”Setelah sebulan, akan dievaluasi,” kata Irwandi.
Penataan tak jelas
Jika di Jatibaru setidaknya ada solusi baik di depan mata bagi PKL maupun kepentingan publik, di banyak tempat lain di Jakarta potensi konflik antara warga dan PKL masih tajam. Para PKL kerap disebut biang kemacetan dan kekumuhan kota. Mereka juga kerap digusur dan nasibnya terkatung-katung.
Sarip, seorang pedagang gorengan di Jalan Kuningan Madya, Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan, sudah dua kali berpindah tempat berdagang. Sarip kini menanti pemindahannya dan puluhan PKL kuliner di kawasan itu ke lokasi sementara yang ada di atas trotoar di Jalan Kuningan Madya dan Kuningan Mulia. Namun, lokasi yang dimaksud memakan badan trotoar dan hanya menyisakan ruang selebar 50 sentimeter. Protes keras dilontarkan warga, termasuk dari Koalisi Pejalan Kaki.
Memberi ruang untuk lapak PKL di trotoar bukan hal terlarang. Namun, pemanfaatan trotoar butuh pengaturan tegas yang proporsional dan tetap melindungi hak pejalan kaki. Namun, di Jakarta justru hal itu jamak terjadi dan dibiarkan.
Pantauan pada Jumat (26/10) siang, di Jakarta Timur, para PKL binaan pemerintah di depan Stadion Bola Bea dan Cukai mengakuisisi trotoar selebar sekitar 3 meter di Jalan Bojana Tirta Raya 1, Pisangan Timur, Pulogadung.
Lebih kurang 50 kios makanan-minuman berdiri di trotoar sepanjang sekitar 150 meter itu. Para pelanggan memarkir kendaraannya di pinggir jalan. Arus lalu lintas pun terhambat.
Tika (26), pejalan kaki yang juga warga Matraman, Jakarta Timur, meminta agar pemerintah mencarikan lokasi lain untuk para pedagang. Ia tak setuju trotoar menjadi tempat berdagang secara permanen. ”Nanti semakin parah kemacetan di jalan ini,” katanya.
Berdasarkan data Dinas KUMKMP Jakarta, jumlah PKL DKI tahun 2018 sekitar 170.100 orang. Ada 27.000 PKL yang telah ditempatkan di 345 lokasi binaan dan lokasi sementara. Sisanya, lebih dari 167.000 orang, tersebar di mana saja, di tempat yang mudah menjemput konsumen meski terus memicu kesemrawutan.
Perhitungan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu DKI Jakarta pada 2017, total investasi usaha kecil, termasuk PKL, di Jakarta diperkirakan Rp 180 triliun-Rp 200 triliun.
Sebagai aset penting bagi perputaran ekonomi sekaligus salah satu jalan keluar menekan pengangguran, DKI selama berpuluh tahun tak kunjung memiliki konsep penataan PKL secara menyeluruh yang jelas. Kesemrawutan terus terjadi. (IRE/E07/E08)