Pemerintah Disarankan Tambah Subsidi untuk BPJS Kesehatan
Oleh
ADHI KUSUMAPUTRA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah disarankan menambah subsidi untuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan. Bantuan dana Rp 4,9 triliun yang diberikan pemerintah September lalu tidak cukup menutup defisit BPJS Kesehatan yang mencapai Rp 10,9 triliun.
Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf mengatakan, menambah subsidi merupakan solusi paling tepat saat ini untuk mengatasi defisit BPJS Kesehatan. Jika tidak, BPJS Kesehatan akan kembali mengalami kesulitan keuangan sehingga tidak bisa membayar tagihan ke rumah sakit.
“Kalau masih mau menyelematkan BPJS Kesehatan, harus ada bail out jilid II. Kalau tidak, dia (BPJS Kesehatan) akan cari ke mana lagi?” kata Dede di Jakarta, Senin (22/10/2018).
Menurut Dede, kehadiran BPJS Kesehatan sangat besar manfaatnya bagi masyarakat. Oleh sebab itu, jika pelayanan kesehatan dijadikan sebagai prioritas, semestinya pemerintah tidak setengah-setengah memberikan bantuan dana. Jangan sampai defisit BPJS Kesehatan membuat pelayanan kesehatan kepada masyarakat berkurang.
“Konsepnya adalah jaminan sosial. BPJS Kesehatan bukan asuransi biasa, dia tidak boleh cari untung. Sudah pasti akan ada potensi defisit,” katanya.
Terkait adanya opsi menaikkan besaran iuran, Dede memandang itu akan memberatkan bagi masyarakat dan pemerintah. Di tengah daya beli yang lesu, masyarakat akan semakin kesulitan untuk membayar iuran.
Di sisi lain, pemerintah juga akan kesulitan. Jika iuran bagi peserta Jaminan Kesehatan Nasional Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) mandiri kelas III dinaikkan, iuran penerima bantuan iuran (PBI) juga naik. Hal ini akan membuat pengeluaran pemerintah membengkak. "Pemerintah siap gak?" kata Dede.
Kepala Bagian Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma’ruf mengatakan, ada tiga pilihan solusi untuk mengatasi defisit BPJS Kesehatan, yaitu penyesuaian iuran, penyesuaian manfaat, dan suntikan dana. Solusi tersebut berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan. Opsi manapun yang diambil pemerintah, kata Iqbal, adalah yang terbaik.
“Kalau pemerintah mengambil opsi suntikan dana, itu kan diambil melalui pertimbangan yang masak. Tentu kita mengamankan lah, bahwa dengan program ini masyarakat bisa terlayani dengan baik. Terkait dinamika (persoalan yang dihadapi) kami jalani sajalah,” kata Iqbal.
Menurut Iqbal, menaikkan besaran iuran belum tentu menjadi solusi karena tidak akan otomatis membuat peserta rajin membayar iuran. Selain karena besaran iuran yang dinilai terlalu murah, salah satu pemicu defisit BPJS Kesehatan adalah banyaknya peserta mandiri yang menunggak, mencapai 46 persen.
Agar persentase peserta yang membayar meningkat, BPJS Kesehatan terus berusaha mengajak peserta agar taat membayar iuran. Sejauh ini sanksi bagi peserta yang tidak membayar adalah keanggotaannya dinonaktifkan. Apabila sakit, peserta harus mengaktifkan kembali keanggotaannya dan membayar tunggakan ditambah denda 2,5 persen.
"Perlu diingatkan terus. Termasuk membangun kesadaran, lebih baik tetap sehat dengan membayar iuran, dengan tagline kita membantu sesama. Gotong royong itu menjadi poin penting sebetulnya. Kalau kita pas bayar kondisi sehat, ya kita bersyukurlah bisa membantu saudara kita yang lain," ujarnya.
Kompas (18/9/2018) memberitakan, defisit keuangan BPJS Kesehatan terjadi sejak program Jaminan Kesehatan Nasional Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) diterapkan pada 2014. Defisit diperkirakan Rp 800 miliar hingga Rp 1 triliun per bulan. Sejak 2015, pemerintah memberikan bantuan dana, tetapi tidak cukup untuk menutupi defisit.
Berdasarkan hitungan BPJS Kesehatan, defisit dana JKN tahun 2018 mencapai Rp 16,5 triliun, yaitu defisit tahun 2018 sebesar Rp 12,1 triliun dan defisit tahun 2017 sebesar Rp 4,4 triliun. Adapun berdasarkan hasil penghitungan arus kas oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), defisit dana JKN sebesar Rp 10,9 triliun, Rp 5,5 triliun lebih rendah daripada perhitungan BPJS Kesehatan.
Dalam berita tersebut, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menjelaskan, defisit terjadi karena besaran iuran peserta tidak sesuai dengan perhitungan aktuaria. Akibatnya, biaya per orang per bulan lebih besar daripada iuran per orang per bulan.
Pada 2016, misalnya, biaya per orang per bulan lebih besar Rp 2.026 dibandingkan premi per orang per bulan. Di tahun 2017 selisihnya naik menjadi Rp 5.625.
Menurut Fachmi, defisit bisa lebih besar lagi seiring bertambahnya cakupan kepesertaan dan pemanfaatan program JKN untuk penyakit katastropik, seperti kanker, gagal ginjal, dan stroke. (YOLA SASTRA)