JAKARTA, KOMPAS - Kebutuhan akan fasilitas pengolahan sampah mandiri oleh Pemprov DKI Jakarta semakin mendesak. Fasilitas pengolahan sampah mandiri akan mengurangi sampah yang dibuang ke Tempat Pembuangan Sampah Terpadu Bantargebang, sekaligus mengurangi ketegangan dua pemda akibat hak dan kewajiban pembuangan sampah ke Bantargebang.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta Isnawa Adji mengakui, Jakarta kini masih bergantung pada TPST Bantargebang di Kota Bekasi, untuk membuang sekitar 6.500 ton sampah per hari. Pemprov DKI Jakarta menyadari bahwa Jakarta harus memiliki fasilitas pengelolaan sampah yang mandiri dan modern, yaitu Intermediate Treatment Facility (ITF).
“Dalam grand design, seharusnya Jakarta memiliki tiga atau empat ITF sejak 3-4 tahun lalu. ITF itu diproyeksikan tersebar di beberapa wilayah Jakarta,” kata Isnawa, Jumat (19/10/2018).
Ia mengatakan, ITF pertama akan dibangun di Sunter, Jakarta Utara. Pembangunan akan dibangun PT Jakarta Propertindo di atas lahan milik Dinas Lingkungan Hidup DKI, seluas 3,02 hektar. ITF diprediksi menyerap 2.200 ton sampah per hari. Setelah diolah, sampah dapat menghasilkan listrik 35 megawatt. Peletakan batu pertama pembangunan direncanakan pada bulan Desember mendatang.
Isnawa mengatakan, Pemprov DKI juga mengkaji pembangunan ITF di luar Sunter. Hingga kini, lebih dari 20 perusahaan yang menyampaikan surat minat (Letter of Intent). Ia mengatakan, perusahaan sudah menyiapkan lahan, dana, dan teknologi untuk membangun ITF di Jakarta. Satu ITF membutuhkan 2,5 triliun-3 triliun rupiah.
“Tiga tahun lalu, kami sudah melakukan market sounding. Kami menawarkan proyek ITF ke dunia internasional. Sudah ada lebih dari 200 perusahaan di dunia yang datang dan melakukan presentasi di Dinas Lingkungan Hidup,” kata Isnawa.
ITF harus dibangun di atas lahan seluas minimal 3,5 hektare. Selain itu, teknologi yang digunakan pun harus teknologi yang ramah lingkungan. Menurut peraturan presiden itu, ada 13 kota yang akan melaksanakan program waste to energy, salah satunya Jakarta. Pembangunan ITF adalah salah satu cara mewujudkan program itu.
Ia mengatakan, hingga ITF terbangun, Jakarta masih bergantung pada TPST Bantargebang. “Bila kami sudah punya ITF dan tidak lagi bergantung ke TPST Bantergebang, kami punya tugas untuk memulihkan lingkungan yang ada di Bantargebang,” katanya.
Ia menambahkan, ada wacana untuk membangun ITF di TPST Bantargebang. Namun, keputusan akhir ada di tangan Gubernur DKI Jakarta.
Akui kesalahan
Isnawa mengakui, ada pelanggaran atas perjanjian kerja sama dengan Bekasi, khususnya terhadap jenis kendaraan tertentu. "Banyak truk yang terbuka dan melewati jalur Bekasi Barat. Yang boleh adalah truk compactor tertutup,” katanya.
Berdasarkan perjanjian kerja sama antara Pemprov DKI Jakarta dan Pemkot Bekasi, ada tiga rute yang dapat dilalui oleh truk sampah. Pertama adalah jalur Cibubur, Transyogi, Bantargebang. Jalur ini dapat dilalui oleh semua kendaraan pengangkut sampah selama 24 jam.
Kedua adalah jalur tol Bekasi Barat. Jalur ini dapat dilalui oleh semua kendaraan pengangkut sampah dari pukul 21.00 hingga pukul 05.00. Ketiga adalah jalur Jatiasih. Jalur ini menjadi jalur alternatif para sopir truk sampah pada Kamis (18/10/2018). Jalur Jatiasih dapat dilalui oleh truk compactor pada pukul 05.00 hingga 21.00.
Di sisi lain, Isnawa mengatakan, kerja sama antara Pemprov DKI dan Pemkot Bekasi akan tetap berlangsung. Pihaknya terbuka akan diskusi dan pembahasan mengenai perjanjian kerja sama ini.
Sementara, Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi mengatakan, pemberhentian truk pengangkut sampah dari DKI adalah dampak tidak dipenuhinya kewajiban dari perjanjian kerja sama. “Itu kan ada kontrak perjanjian bersama yang harus dipahami. Kalau tidak dipenuhi, jangankan diberhentikan, ditutup juga bisa,” katanya saat ditemui di Bekasi, kemarin.
Rahmat menyatakan, tahun 2018, Pemkot Bekasi belum mendapatkan dana kompensasi dari Pemprov DKI. Ia juga mendesak agar pembahasan anggaran kompensasi tahun 2019 segera dilakukan.
“Saya luruskan, mengenai dana hibah. Yang disampaikan Gubernur (DKI) sekian ratus miliar itu adalah anggaran tahun 2017. Untuk 2018, kami belum dapat. Nah sekarang sudah mau masuk 2019, masak dua tahun kontrak kami dilalaikan,” ungkapnya.
Pemkot Bekasi berulang kali telah mengirimkan surat kepada Pemprov DKI Jakarta, namun selalu tidak direspon. Rahmat meminta pembahasan perjanjian kerja sama melibatkan dua kepala daerah secara langsung.
“Pak Sekda DKI Jakarta mau kesini juga saya tolak karena (Sekda) tidak bisa memutuskan. Gubernur yang harus lihat di Bantargebang. Saya antar nanti. Kan Gubernur belum pernah ke Bantargebang,” kata Rahmat.
Rahmat menilai, pembangunan infrastruktur yang dilakukan tidak hanya untuk kepentingan warga Bekasi semata, namun juga menyangkut kepentingan Pemprov DKI Jakarta. Adapun beberapa hal yang dibutuhkan warga Kota Bekasi saat ini misalnya tandon dan polder air di sekitar TPST Bantargebang, sekolah, dan rumah sakit.
“Sekarang kalau saya bangun jalan layang, saya tanya aksesnya untuk siapa? Aksesnya kan untuk kepentingan DKI Jakarta juga. Saya memperbaiki Jalan Jati Asih, kepentingannya untuk DKI Jakarta juga kan. Jadi harus fair,” ujarnya.
Lapangan kerja
Kepala Satuan Pelaksana Pemrosesan Akhir Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Rizky Febriyanto mengatakan, mayoritas pekerja pengolahan sampah di TPST Bantargebang adalah warga Bekasi.
“Sekitar 75 persen dari 710 orang yang bekerja disini (TPST Bantargebang) adalah warga Bekasi. Belum lagi juga ada lebih kurang 6.000 pemulung. Hal itu perlu dipahami jika TPA ini ditutup mereka akan makan apa,” ungkapnya.
Rizky mengklaim, para pekerja di TPST Bantargebang mengalami peningkatan kesejahteraan setelah diambil alih dari PT Godang Tua Jaya ke Pemprov DKI.
“Gaji mereka awalnya berkisar Rp 1 juta–Rp 1,2 juta. Setelah kami ambil alih, gaji mereka minimal Rp 4,7 juta,” ujarnya.
Agus (31), pengemudi truk pengangkut sampah, mengaku bahwa ada perintah dari Suku Dinas Kebersihan Jakarta Barat untuk menghindari tol Bekasi Barat. Para pengemudi juga sepakat untuk melintas melalui kawasan Jatiasih dan Cibubur.