BEKASI, KOMPAS — Saat proyek properti berkubang masalah, konsumen menjadi pihak pertama yang dirugikan. Setelah menyetor sejumlah uang untuk tanda jadi, uang muka, bahkan sudah mulai membayar cicilan, angan untuk segera menempati properti yang dibeli bisa sirna begitu saja. Keresahan tersebut kini menghinggapi sejumlah pembeli unit apartemen Meikarta, Kabupaten Bekasi. Hingga menjelang akhir pekan ini, mereka belum mendapatkan kepastian ihwal kelanjutan pembangunan apartemen. Kecemasan mereka semakin bertambah sejak bergulirnya kasus korupsi yang melibatkan beberapa pejabat kabupaten dan pihak pengembang terkait perizinan proyek pembangunan tersebut.
AK, salah satu pembeli unit apartemen Meikarta, mengatakan, keresahan para pembeli bermula pada Maret 2018. Saat itu, pembangunan tiba-tiba terhenti. Padahal, pembangunan proyek yang dimulai pada Agustus 2017 itu mulanya berjalan secara masif.
”Hampir dua bulan sejak Maret 2018 tidak ada informasi mengenai berhentinya pembangunan,” kata AK di Bekasi, Rabu (17/10/2018). Ia dan beberapa karyawan kantornya yang juga membeli unit apartemen pun kebingungan, khawatir terjadi masalah yang mengakibatkan proyek berhenti total.
Merespons keresahan tersebut, AK yang sehari-hari bekerja di kawasan industri Deltamas, Kabupaten Bekasi, menerbangkan drone untuk memotret dan merekam pembangunan. Hasil pengamatannya ia bagikan di akun Youtube.
Berdasarkan pengamatan AK, proyek pembangunan tidak benar-benar berhenti. Ada sebagian pekerjaan yang masih berlangsung, yaitu di Distrik 28. Distrik itu terdiri atas 14 blok, setiap blok terdiri atas dua menara apartemen. ”Di luar Distrik 28, pembangunan terbengkalai,” kata AK.
Selain membagikan pengamatan di Youtube, AK juga membangun komunitas sesama pembeli apartemen Meikarta melalui grup Facebook. Hingga Rabu sore, anggota grup tersebut sudah mencapai 3.425 orang.
Sebagian besar anggota membagikan keresahan soal kelanjutan pembangunan. Mereka sudah membayar uang muka, sebagian membeli secara tunai, sebagian lainnya membeli secara kredit.
”Kami mengharapkan informasi yang jelas dari pengembang, apakah pembangunan apartemen selain yang berada di Distrik 28 itu akan dilanjutkan,” ujar AK.
Pada Rabu siang, sejumlah pekerja di lokasi pembangunan 14 blok apartemen itu masih tampak bekerja. Namun, beberapa bedeng tampak dicopot, beberapa pos penjagaan kosong tanpa petugas.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, setelah operasi tangkap tangan sejumlah pejabat Kabupaten Bekasi dan pihak Lippo Group, keresahan para pembeli bertambah. ”Pihak manajemen harus segera menjelaskan kepada konsumen ihwal keberlanjutan proyek pembangunan apartemen tersebut,” kata Tulus.
Tulus menambahkan, sepanjang 2018 terdapat 11 pengaduan masyarakat terkait pembangunan Meikarta. Sebagian besar mengaku tidak bisa mendapatkan kembali uang muka yang sudah dibayarkan ketika mengajukan pembatalan pembelian. ”Padahal, pada iklan disebutkan uang muka bisa dikembalikan,” katanya.
Kabupaten Bekasi
Korupsi yang melibatkan para pejabat di Kabupaten Bekasi juga berdampak pada jalannya roda pemerintahan. Hingga Rabu, pelayanan di Dinas PUPR belum bisa optimal karena lantai satu kantor tersebut disegel KPK.
Aparatur sipil negara (ASN), antara lain dari bidang penataan ruang bekerja di ruang rapat. Akibatnya, mereka tidak bisa memproses dokumen perizinan yang diajukan warga.
Hingga Rabu malam, penyidik KPK pun masih menggeledah ruang Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP). Penggeledahan belum usai meski sudah berlangsung selama lima jam. Bahkan, lokasi penggeledahan ditambah ke kantor bupati.
Wakil Bupati Bekasi Eka Supria Atmaja mengatakan belum bisa menunjuk pengganti para pejabat yang ditetapkan sebagai tersangka suap perizinan proyek Meikarta. Selain Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin, ada pula Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Jamaludin, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Dewi Tisnawati, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Sahat MBJ Nahor, dan Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Neneng Rahmi yang ditetapkan sebagai tersangka.
”Saya belum memiliki wewenang untuk menunjuk kepala dinas karena saya juga belum dilantik sebagai pelaksana tugas bupati,” kata Eka. Oleh karena itu, upaya yang bisa ia lakukan adalah berkoordinasi dengan semua organisasi perangkat daerah (OPD) untuk memastikan pelayanan publik tetap berjalan.