Pemerintah Tertibkan Peleburan Aki
JAKARTA, KOMPAS - Polisi mulai menyelidiki dugaan tindak pidana lingkungan dari pencemaran timbel akibat peleburan aki ilegal. Sementara Dewan Ketahanan Nasional akan membentuk tim pembenahan pencemaran timbel.
Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Arief Sulistyanto mengatakan telah memerintahkan jajarannya mengecek data-data lapangan terkait informasi hasil liputan investigasi harian Kompas tentang temuan pencemaran timbel akibat peleburan aki.
"Saya perintahkan direktur tipiter (tindak pidana tertentu) cari fakta dari informasi yang diperoleh Kompas di lapangan. Fakta yang diperoleh kami bahas dengan PPNS (penyidik pegawai negeri sipil) dan ahli. Nanti kami susun langkahnya. (Data) Pencemaran di tanah tetap ada, tidak akan hilang. Orangnya juga ada," ujar Arief di Jakarta, Selasa (16/10).
Pada hari yang sama, Dewan Ketahanan Nasional (Wantanas) juga berencana membentuk tim pembenahan pencemaran timbel. Tim dibentuk merespons merebaknya pencemaran timbel di udara.
Sekretaris Jenderal Watannas Letnan Jenderal Doni Monardo, mengundang perwakilan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Wiku Adisasmito, Direktur Pengendalian Pencemaran Udara Kemerintah Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dasrul Chaniago, Komandan Komando Resor Militer (Danrem) 061/Wijaya Krama Kolonel (Kav) Agustinus Purboyo, Komandan Distrik Militer (Dandim) 0621/Kabupaten Bogor Letnan Kolonel (Inf) Harry Eko Sutrisno, membahas temuan Kompas terkait pencemaran timbel akibat peleburan aki.
”Kami dari Wantannas memfasilitasi dan menjadi koordinator saja. Kami bukan eksekutor. Yang bergerak adalah tim dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, aparat, serta pemangku kepentingan yang lain,” ujar Doni.
Pembentukan tim ini disambut baik Wiku. ”Pencemaran ini masalah serius sehingga butuh langkah serius juga dari pemerintah,” ujar Wiku.
Selama ini, penanganan pencemaran timbel dari peleburan aki, menghadapi jalan panjang dan alot. Dorongan pemulihan baru datang dari organisasi lingkungan, kalangan peneliti institusi pemerintah, dan perguruan tinggi. Pengambil kebijakan cenderung bergerak lambat dan kurang peduli.
Hampir 10 tahun Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, bersama Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), mengungkap adanya pencemaran debu timbel dari peleburan aki bekas.
Serangkaian penelitian pun telah dijalankan untuk meneliti dampak pencemaran itu terhadap manusia. Namun hasil penelitian itu belum juga diikuti regulasi yang khusus mengatur pengelolaan aki bekas.
Peleburan aki bekas ilegal masih dapat ditemukan dengan mudah beroperasi di permukiman desa di Kabupaten Bogor maupun Kabupaten Tangerang. Debu timbel dari peleburan itu pun mencemari lingkungan permukiman warga di sekitarnya. Darah anak-anak di sekitar peleburan itu tak luput ikut tercemar timbel dan rawan alami gangguan kesehatan hingga penurunan kecerdasan.
Tingginya kadar timbel di area permukiman di Desa Kadu, Kecamatan Curug, Kabupaten Tangerang, juga tak dievaluasi untuk mengungkap sumber timbel yang mencemari lingkungan itu. Kadar timbel di daerah tersebut mencapai 1.113 miligram/kilogram.
Kadar timbel pada anak-anak yang bersekolah di area tersebut juga tinggi, rata-rata di atas 30 mikrogram/desiliter, melampaui batas toleransi timbel dalam darah yang harus kurang dari 10 mikrogram/dL.
Baca juga: Membahayakan, Timbel Sudah Cemari Udara, Tanah, dan Darah
Di udara, debu timbel dari peleburan aki bekas di Kabupaten Bogor dan Tangerang itu pun sampai mencemari udara ambien Serpong, Tangerang Selatan. Pencemaran timbel di kawasan yang terus berkembang sebagai hunian itu pun sudah terdeteksi oleh Kementerian LHK dan Batan sejak 1996.
Selama 2010-2017, konsentrasi maksimum timbel PM 2,5 (debu berukuran 2,5 mikrometer) di udara Serpong itu beberapa kali lebih dari 2 mikrogram/meterkubik. Padahal baku mutu timbel di udara untuk PM 2,5 maupun PM 10 harus kurang dari 2 mikrogram/meterkubik.
Sebagai bagian dari komponen kendaraan, distribusi aki maupun aki bekas pun terjadi seluruh wilayah Indonesia. Belum adanya regulasi dan pengawasan ketat terhadap peredaran aki bekas, itu membuat peleburan aki bekas ilegal pun tumbuh di sejumlah tempat lainnya, seperti Tegal, Lamongan, dan juga pinggiran Surabaya, Jawa Timur.
Baca juga : Bandar Berperan Langgengkan Pencemaran
Kementerian LHK bersama Batan, sejak 2010, pun telah mengidentifikasi pencemaran timbel dari aki bekas di pinggiran Surabaya. Di kawasan itu terpantau alami pencemaran debu timbel dengan kadar lebih tinggi dibandingkan Serpong, yakni pernah mencapai 2,6 mikrogram/meterkubik pada 2015.
Direktur Jenderal Pengolahan Sampah, Limbah, dan Bahan Bahaya Beracun (PSLB3) Kementerian LHK, Vivien Ratnawati, yang ditemui beberapa waktu lalu, mengakui, peredaran aki bekas banyak yang bermuara di peleburan aki bekas ilegal yang dijalankan masyarakat. Di Jabodetabek, jumlah pelebur aki bekas ilegal yang teridentifikasi berkisar 30 peleburan. Sebaliknya 5 industri peleburan aki yang legal, malah kesulitan memperoleh pasokan aki bekas.
“Sekarang, peleburan aki bekas ilegal itu tak hanya di Jabodetabek, tetapi juga ada di Tegal, Klaten, Lamongan, Surabaya, Gresik, Sidoarjo, dan juga Pasuruan. Di Jawa Barat ada di Purwakarta dan Sukabumi,” ucap Vivien.
Untuk pengolahan aki bekas, menurut Vivien, sesungguhnya telah diatur dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 02 Tahun 2008 tentang pemanfaatan limbah B3. Namun dalam perjalanannya, dia akui, regulasi itu tak lagi memadai untuk mengatur dan mengakomodir persoalan aki bekas, sehingga saat ini Kementerian LHK tengah menyusun rancangan Peraturan Menteri LHK yang khusus mengatur pemanfaatan aki atau baterai bekas.
“Di dalam rancangan itu juga dibutuhkan data limbah B3 (aki) yang ditimbulkan,” ucap Vivien.
Hingga kini tak mudah memperoleh jumlah aki bekas nasional dari institusi pemerintah. Padahal hingga 2016, populasi kendaraan bermotor di dalam negeri sudah mencapai 120 juta unit. Dengan usia aki berkisar 3-5 tahun, dipastikan aki bekas dari kendaraan yang beredar di masyarakat pun sangat banyak. Itu belum termasuk aki dari menara pemancar gelombang telepon seluler yang juga menggunakan timbel.
Dengan usia aki berkisar 3-5 tahun, dipastikan aki bekas dari kendaraan yang beredar di masyarakat pun sangat banyak.
Lebih lanjut Vivien mengungkapkan, ada keinginan pula untuk menerapkan Extended Producer Responsibility (EPR), bahwa produsen aki juga memiliki tanggung jawab untuk menarik atau menghimpun kembali aki bekas yang diproduksi di pabriknya. Namun upaya itu, menurutnya, juga tak mudah karena telah ada kesepakatan bahwa industri produsen aki hanya boleh menerima ingot atau timbel hasil daur ulang dari pelebur aki bekas yang berizin.
“Kami punya rencana mengundang kembali teman-teman LSM (lembaga swadaya masyarakat) yang bergerak di bidang (lingkungan) ini, agar mereka presentasikan kembali soal ini. Kami ingin hubungkan dalam bentuk kemitraan dengan perusahaan-perusahaan berizin. Saya berpikir harus ada langkah-langkah yang dilakukan. Atau kami bina agar mereka jadi unit usaha yang berizin,” jelasnya.
Direktur PT Non Ferindo Utama, Alfred Sihombing mengungkapkan, pihak Kementerian LHK sudah pernah meminta kepada 5 industri peleburan aki bekas yang resmi, termasuk PT NFU, untuk membina pengepul maupun agen aki bekas. Hanya masalahnya, pembinaan menjadi sulit karena pengepul masih leluasa memasok aki bekas ke pelebur ilegal.
“Selama pelebur ilegal masih ada, sulit melakukan pembinaan terhadap pengepul maupun agen aki bekas. Bahkan kami pun pernah ijon, memberikan uang pinjaman terlebih dahulu kepada agen aki bekas ini dengan harapan mereka rutin memasok aki bekas ke kami. Tapi masalahnya, kalau pelebur ilegal menawarkan harga lebih bagus, mereka pun pasok ke sana,” jelas Alfred.
Bahkan sampai saat ini, lanjut Alfred, kalangan industri pelebur aki bekas yang resmi tak mengetahui persis jumlah aki bekas secara nasional, karena pemerintah tak pernah menyuplai data itu.
Padahal data itu dibutuhkan mengingat industri pelebur resmi selalu kesulitan memperoleh pasokan aki bekas, sebaliknya pelebur aki ilegal tetap bisa menjalankan usahanya.
“Berapa sih jumlah aki bekas nasional, kami tidak pernah diberitahu. Yang ada, kami selalu kekurangan pasokan,” ucapnya.
Alih-alih memperoleh insentif pajak, lanjut Alfred, pelebur aki bekas berizin malah harus bersaing dengan makelar aki bekas agar dapat memperoleh pasokan aki bekas. Sementara makelar itu dengan seenaknya memasok aki bekas ke pelebur ilegal, dan itu dibiarkan berjalan hingga sekarang.
“Dengan kondisi demikian, kami masih harus membayar pajak untuk setiap penjualan ingot timbel (timbel hasil daur ulang dari aki bekas),” katanya.
Hingga kini, berdasarkan pemetaan Komite Penghapusan Bensin Bertimbel, setidaknya ada 70 peleburan aki bekas yang tersebar di Kabupaten Bogor, Tangerang, dan juga Bekasi. Dari jumlah itu, baru satu kawasan sentra peleburan aki bekas ilegal yang dipulihkan lingkungannya, yakni Desa Cinangka, Kabupaten Bogor.
Inisiatif memulihkan lingkungan Desa Cinangka pun datang dari KPBB. Butuh 4 tahun bagi KPBB untuk memperoleh izin dari pemerintah agar dapat memulihkan lingkungan desa itu. Dimulai pengajuan izin pada 2011 hingga izin diterbitkan pada 2014.
Peleburan aki bekas di Desa Cinangka sudah berjalan sejak 1978, paling awal dibandingkan lokasi lainnya. Saat Kompas menguji kadar timbel dalam tanah Desa Cinangka, diketahui kadarnya mencapai 3.883 miligram/kilogram, melampaui baku mutu tanah tercemar Total Konsentrasi B (TK-B) 1.500 miligram/kg. Padahal sebagian tanah yang tercemar timbel di desa itu telah diangkat dan dilakukan enkapsulasi, dikubur dalam plastik bersegel.
Ahli tanah Institut Pertanian Bogor, Suwarno, yang ikut terlibat bersama KPBB dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melaksanakan pemulihan lingkungan Desa Cinangka pada 2014 mengungkapkan, sesungguhnya masih banyak tanah di desa itu yang terkontaminasi timbel.
Bahkan, menurutnya, pemulihan lingkungan yang dilakukan dengan mengangkat slag (limbah dari peleburan aki bekas) dari desa itu baru 10 persen.
“Slag yang diangkat dari Cinangka itu baru sekitar 10 persen dari total slag yang ada di desa itu. Belum seluruhnya,” jelas Suwarno.
Baca : Pemulihan Desa Cinangka dari Pencemaran Timbel
Direktur Ekseskutif KPBB, Ahmad Safrudin menyampaikan, tak adanya keseriusan dari pemerintah untuk mengatasi pencemaran timbel menyebabkan anak-anak menjadi korban. Anak-anak di sekitar peleburan terus menghirup udara yang tercemar timbel, tanpa diberikan perlindungan atas hak-haknya untuk hidup sehat.
Sebanyak 3 anak usia 11-12 tahun yang Kompas uji sampel darahnya, diperoleh hasil kadar timbel dalam darahnya cukup tinggi, 13-25 mikrogram/desiliter. Padahal batas toleransi yang ditetapkan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika (CDC), harus kurang dari 5 mikrogram/desiliter. Dua dari 3 anak itu pun kerap kejang-kejang, gejala umum pada orang yang keracunan timbel.
Hingga 2015, menurut Safrudin, sejumlah orangtua di Desa Cinangka pernah meminta Kementerian Kesehatan agar anak-anak mereka yang mengalami kejang-kejang dapat memperoleh pengobatan gratis. Saat itu, pihak Kemenkes sempat menjanjikan anak-anak itu akan memperoleh BPJS Kesehatan. Namun hingga saat ini, janji itu tak pernah dipenuhi.
Anak-anak di sekitar peleburan terus menghirup udara yang tercemar timbel, tanpa diberikan perlindungan atas hak-haknya untuk hidup sehat.
“Baik kebijakan maupun pengendalian peleburan aki bekas ilegal, tak banyak yang dilakukan pemerintah. Padahal sudah ada banyak penelitian terkait masalah ini. Akibatnya, anak-anak yang menjadi korbannya. Itu pun, mereka (anak-anak terkontaminasi timbel) masih kesulitan untuk memperoleh pengobatan yang terjangkau,” jelas Safrudin.
(BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA/RIAN RINALDI)