BANDA ACEH, KOMPAS – Para ahli gempa bumi dan tsunami dari berbagai negara menyerukan agar Indonesia belajar dari bencana yang telah berulang terjadi dan menelan korban hingga ribuan jiwa. Pendidikan kebencanaan dan mitigasi untuk mengurangi risiko harus menjadi arus utama pembangunan.
Rekomendasi ini dibacakan Muksin Umar, Ketua Aceh International Workshop and Expo on Sustainable Tsunami Disaster Recovery (AIWEST-DR) 2018, di Banda Aceh, Jumat (12/10/2018). Lokakarya ini diprakarsai oleh Tsunami and Disaster Mitigatitoon Research Center (TDMRC) Universitas Syiah Kuala dan Universitas Tohoku, Jepang. Selain mendiskusikan hasil riset terbaru tentang gempa dan tsunami, panel ahli juga mendiskusikan bencana yang melanda Palu dan Donggala.
Beberapa ahli yang turut menandatangani rekomendasi ini antara lain Prof Sunichi Koshimura dari Tohoku University, Prof Phil Cummins dari Research School of Earth Sciences, Australian National University, Prof Peter Sammonds dari University College London, Prof Yasuo Tanaka dari Kobe University, Prof Biswajeet Pradhan dari University of Technology Sydney, Australia, dan sejumlah ahli lain dari berbagai perguruan tinggi.
“Gempa dan tsunami Aceh yang melanda 14 tahun lalu harusnya menjadi pelajaran bagi pemerintah dan masyarakat untuk menyiapkan diri menghadapi bencana secara lebih baik,” kata Muksin.
Namun demikian, gempa Palu dan Lombok menunjukkan masih lemahnya kesiapsiagaan menghadapi bencana yang dilakukan pemerintah maupun masyarakat sehingga korban jiwa masih sangat banyak. Mencermati kondisi ini sejumlah ilmuwan mengeluarkan sejumlah rekomendasi.
Muksin menyebutkan, untuk tahap tanggap darurat, semua pihak harus bersatu dalam membantu penyintas tanpa ada batasan latar belakang etnis, agama, bahkan juga kebangsaan. Setelah selesai tanggap darurat, berikutnya kita perlu memperbaiki sejumlah hal, terutama dalam hal kesiapsiagaan menghadapi bencana yang masih lemah.
Disebutkan, kesadaran dan pendidikan bencana dari komunitas merupakan benteng pertama dari bencana. Oleh karena itu, hal ini harus menjadi prioritas. Dalam kasus tsunami Palu, harus guncangan gempa bumi seharusnya menjadi peringatan awal agar orang segera lari menjauh dari pantai. Namun demikian, hal itu ternyata tidak terjadi. Ini menunjukkan ada kesalahan dalam pendidikan kebencanaan.
Disesuaikan Kondisi daerah
Direktur TDMRC Khairul Munadi menjelaskan, sistem peringatan dini tsunami di Indonesia seharusnya disesuaikan dengan kondisi daerahnya. Untuk daerah Aceh, karena sumber gempanya relatif jauh sehingga tsunami datang dalam rentang waktu lebih dari setengah jam, sistem peringatan dini berbasis teknologi, masih bisa berguna. Namun untuk daerah seperti Palu, yang tsunaminya tiba kurang dari 10 menit, masyarakat harus dilatih dengan evakuasi mandiri.
“Sistem peringatan dini tsunami kita perlu perbaikan serius. Saat gempa kuat 2012 di Samudera Hindia terbukti sistem juga tidak berjalan baik,” kata Khairul. Saat itu, sirine tsunami juga tidak berbunyi dan masyarakat yang panik lebih banyak evakuasi secara horisontal sehingga jalanan macet. “Kalau ada tsunami saat itu, korban sangat mungkin tinggi lagi.”
Sunichi Koshimura mengingatkan, mitigasi bencana yang disiapkan seringkali keliru mengantisipasi skala bencana. Seperti di Jepang, saat tsunami 2011, ketinggian dan landaan tsunami jauh lebih besar dari yang diantisipasi sebelumnya. Hal ini karena bencana alam seperti gempa dan tsunami, terkadang memiliki waktu perulangan yang sangat lama sehingga luput dari perhitungan. Oleh karena itu, selain harus meningkatkan kajian dan penelitian ilmiah dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan, juga sangat penting membangun kesiapsiaagan masyrakat secara mandiri.
Pemulihan masyarakat
Untuk proses rekonstruksi dan rehabilitasi daerah bencana, panel ahli merekomendasikan agar menggunakan pendekatan yang berorientasi pada pemulihan masyarakat secara holistik, baik aspek ekonomi maupun sosialnya.
Sementara itu, untuk mitigasi bencana berikutnya di masa depan, pemerintah harus serius menjadikan kajian risiko yang berbasis sains dan pengetahuan lokal menjadi dasar bagi pembangunan. Belajar dari kasus Palu, sejumlah kajian tentang kerentanan bencana daerah ini terhadap gempa bumi, tsunami dan likuefaksi sebenarnya telah diketahui.
Bahkan, masyarakat Kaili juga telah merekam fenomena yang berulang di masa lalu dalam bahasa lokal. Namun demikian, pengetahuan ini tidak tertransfer kepada masyarakat Palu saat ini. Namun demikian, pembangunan yang dilakukan tidak memperhitungkan kerentanan ini.
Guru Besar Teknik Sipil Universitas Islam Indonesia yang juga Dewan Pengarah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sarwidi mengakui, penanggulangan bencana di Indonesia butuh perbaikan segera. Itu harus dimulai dengan keterbukaan semua pihak untuk mengakui sejumlah kekeliruan yang dilakukan, sejak dari peringatan dini, tanggap darurat, dan terutama pendidikan bencana.
Sementara itu, pada tahun ini, AIWEST-DR mengusung tema “Advancing Science and Technology Innovation for Sustainable Resilience and Risk Reduction”. Tema ini dipilih mengingat meningkatnya frekuensi bencana berskala besar di Indonesia dan dunia dalam beberapa waktu terakhir dan pentingnya menggalakkan penelitian limiah dan inovasi teknologi untuk mengurangi risiko bencana.
Acara ini turut didukung oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Pemerintah Provinsi Aceh, USAID, Newton Fund, National Academy of Sciences, University College London’s Institute for Risk and Disaster Reduction (UCL IRDR), dan Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI). Sebanyak 136 makalah ilmiah dari lebih 10 negara diterima panitia dan dipresentasikan dalam dua hari lokakarya.