Ketika Donald Trump sekuat tenaga ngotot merebut suara publik Amerika Serikat pada 2016 lalu melalui cara-cara kasar, aneh, dan di luar nalar; politikus Ted Cruz, kandidat yang juga bertarung dalam bursa kandidat presiden dari Partai Republik, melepaskan tembakan ke wajah Trump: ia seorang pembohong patologis. Trump memang jago membangun narasi yang tidak berpijak pada kebenaran, berilusi, provokatif. Mungkin banyak orang mengamini Cruz setelah menyaksikan gaya, karakter, dan sepak terjang Trump yang aneh-aneh. Bahkan banyak yang menganggapnya di luar kewarasan berpolitik. Namun, Bart Rossi, seorang pakar psikologi politik, punya pandangan berbeda. Rossi yang jebolan Universitas Fordham, New York itu, menyatakan Trump tidak tampak seperti seorang yang tengah sakit.
Bagi Rossi, Trump tidak terlihat delusif. Tidak juga (berpenyakit) patologis. Berbagai karangan dan kebohongan sepertinya dilontarkan di bawah kesadaran. “Dia tahu kok bahwa apa yang dikatakannya salah,” kata Rossi. Sampai akhirnya Rossi pada kesimpulan bahwa Trump tampak sebagai master manipulator. Dengan demikian apa yang disampaikan justru disadari, dan sengaja disebarkan secara pabrikasi. Media sosial pun menjadi instrumen efektif.
Dan, dalam internet, algoritma menggiring orang-orang yang sepandangan terperangkap dalam ruang yang sama. Eli Pariser, aktivis internet dan chief executive situs Upworthy, memperkenalkan gelembung informasi itu sebagai efek filter bubble. Pesan-pesan manipulatif yang dilontarkan Trump akan semakin mengurung publik (netizen) yang berpikiran sama. Mereka terisolasi dari pesan-pesan di luar jejak pencarian mereka. Orang terdepak dari informasi yang tidak sejalan dengan pandangan mereka. Tak mengherankan, efek filter bubble itu semakin menggiring orang menggunakan kacamata kuda.
Membangun narasi bohong sudah dikenal di gelanggang politik. Menggaungkan kesalahan dan mempermainkan kebenaran (paltering) menjadi jalan terbaik bagi seorang master manipulator. Setiap ajang pesta demokrasi, tidak di Amerika dan tidak juga di Indonesia, para politikus yang bersaing terjebak dalam situasi adu hebat-hebatan dalam menebar hoaks. Sampai hari ini cerita kebohongan Ratna Sarumpaet terus bergema. Sejumlah orang yang sempat mengamflifikasi kebohongan Ratna dipanggili satu persatu oleh Polda Metro Jaya. Publik terus menonton sampai di mana lakon Ratna itu.
Kisah Ratna yang mengaku dianiaya beberapa orang di Bandung memang dramatis. Bukan karena Ratna orang teater yang mampu membawakan berbagai peran, tetapi lebih-lebih karena peran itu berada di panggung politik. Ketika kasus itu mencuat, Ratna berada di lingkungan kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, pasangan calon presiden-wakil presiden nomor urut 02, yang menantang (lagi) Joko Widodo-Ma\'ruf Amin, pasangan petahana bernomor urut 01.
Biasanya sih kubu penantang akan lebih garang, agresif, provokatif. Juara bertahan biasanya defensif. Penantang akan gerah bila melihat sang petahana atau juara bertahan lebih unggul, semisal dalam survei atau hasil kerja nyata. Sebaliknya, sang juara bertahan kerap congkak. Tak mengherankan, tidak sedikit narasi yang tendensius untuk mengorek sisi lain dari keunggulan seorang juara bertahan. Sebaliknya sang juara bertahan juga membangun narasi yang mengecilkan sang penantang. Narasi negatif itu bisa diulang-ulang sampai pada titik orang percaya bahwa itulah "cerita yang benar". Di situlah cerita kebohongan bisa dikonstruksikan.
Bahkan untuk urusan musibah gempa dan tsunamiserta likuefaksi di Palu, Donggala, dan Sigi yang seharusnya menjadi keprihatinan bersama bisa "digoreng" menjadi propaganda politik. Bukannya bergandengan tangan dan bahu-membahu merespon bencana dan pemulihannya, yang terjadi malah saling sindir. Jadi, paling bahaya bila cerita bohong dirancang di bawah kesadaran penuh, dilatari motif politik, bukan peristiwa sekelebatan (momen opname) semata. Narasi penuh kebohongan itulah yang membuat arena politik kita selalu berpolusi, pengap, dan sumpek. Titik terang cahaya selalu terhalang asap polusi.
Padahal, sejatinya berpolitik itu membangun narasi hebat dan kerja mulia. Sebab, semua langkah politik sesungguhnya untuk kepentingan publik. Pertarungan kekuasaan seperti Pilpres (juga pilkada) adalah hal yang lumrah. Mereka yang terpilih seharusnya memang pantas dipilih, karena punya gagasan dan hasil kerja yang baik. Bukan hasil manipulasi yang dirancang secara terstruktur, sistemik, dan masif. Cara-cara demokratis telah mengatur "daya jangkau dan lama" kekuasaan di negeri ini. Sehebat-hebatnya orang berkuasa di negeri ini, paling lama 10 tahun alias dua periode. Tidak bisa lagi ingin berkuasa selama-lamanya seperti Orde Baru atau zaman "presiden seumur hidup" era Orde Lama.
Makanya, saat berkuasa gunakanlah kekuasaan secara amanah untuk mengabdi pada bangsa dan memajukan negeri. Sudah lama, negeri ini tak bergerak maju karena tertahan pikiran yang terkungkung. Mungkinkah terlalu banyak master manipulator di sini? Negeri ini semakin berat bila banyak di antara kita (terlebih para politikus) yang malah membanggakan kebodohan. Aneh!