Bekas Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih mengaku menerima uang Rp 4,750 miliar dari pengusaha Johannes B Kotjo. Sekitar Rp 2 miliar dari jumlah uang itu untuk membiayai Munaslub Golkar tahun 2017.
JAKARTA, KOMPAS - Bekas Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih mengaku, sebagian uang yang diterimanya dari pengusaha Johannes B Kotjo digunakan untuk membiayai Musyawarah Nasional Luar Biasa Partai Golkar tahun 2017. Sedikitnya Rp 2 miliar uang pemberian Kotjo digunakan Eni membiayai munaslub itu.
Dalam sidang dengan terdakwa Johannes B Kotjo, Kamis (11/10/2018), di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Eni mengakui ada penerimaan uang Rp 4,750 miliar dari Kotjo yang dilakukan dalam empat tahap. Dari jumlah itu, Rp 2 miliar dipakai Eni untuk membiayai kegiatan pramunaslub dan munaslub Golkar, sedangkan Rp 2 miliar digunakan untuk kepentingan pribadinya. Sebanyak Rp 550 juta lainnya dipakai untuk membiayai suaminya maju dalam pilkada di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.
”Uang yang pertama itu untuk munaslub, pramunaslub, dan beberapa kegiatan Golkar yang lain. Seluruhnya Rp 2 miliar itu. Tetapi, kalau mau dihitung rinci seluruhnya bisa lebih dari itu,” kata Eni saat menjadi saksi untuk terdakwa Kotjo dalam sidang yang dipimpin Hakim Lucas Prakoso ini.
Kotjo didakwa menyuap Eni guna memuluskan upayanya mendapatkan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1. Kotjo menginginkan proyek PLTU Riau-1 dan mencari investor dengan kesepakatan jika proyek berjalan dirinya akan memberikan komisi atau fee 2,5 persen dari nilai proyek sebesar 900 juta dollar AS (Rp 12,8 triliun) kepada Eni.
Namun, Eni menolak mengaitkan langsung pemberian uang dari Kotjo itu dengan proyek PLTU Riau-1. Alasannya, Eni hanya meminta bantuan Kotjo membiayai Munaslub Partai Golkar dan memenuhi sejumlah kebutuhan pribadinya.
Sejak 2016, Eni mengatakan ditugasi mantan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto untuk mengawal proyek PLTU Riau-1. Pengawalan itu dilakukan dengan memfasilitasi sejumlah pertemuan antara Kotjo dan Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara (PLN) Sofyan Basir. Dalam pengawalan proyek itu, Eni melibatkan mantan Sekretaris Jenderal Golkar Idrus Marham. Pelibatan Idrus merupakan inisiatif Eni guna memperkuat posisinya di depan PLN.
”Saya biarpun jadi anggota DPR, kalau bukan representasi atau diperintahkan oleh ketum (ketua umum) sebagai petugas partai untuk mengawal proyek ini, saya bukan siapa-siapa. Pak Setnov (Setya Novanto) memang menugasi saya mengawal proyek ini. Tanpa embel-embel ini, saya tidak akan didengar oleh PLN walau saya dari Komisi VII DPR,” katanya.
Ketika Novanto ditahan KPK, menurut Eni, dirinya mengontak Idrus yang saat itu menjadi Pelaksana Tugas Ketua Umum Golkar. ”Karena saya loyal kepada pimpinan, apa yang saya kerjakan itu pimpinan harus tahu semua,” ujarnya.
Pembagian ”fee”
Eni berhasil mempertemukan Sofyan Basir dengan Kotjo. Dalam salah satu pertemuan dengan Sofyan, Eni sempat menyinggung soal fee. ”Pernah satu waktu ketemu Pak Sofyan Basir. Walau tidak saya jelaskan detail soal fee itu, saya sebutkan nanti yang fight di sini akan mendapatkan bagian yang paling the best-lah. Itu saya sampailkan juga kepada Kotjo,” katanya.
Saat jaksa pada KPK, Ronald Worotikan, menanyakan pernyataan the best itu, Eni menjawab, Sofyan akan mendapatkan bagian yang paling besar dari fee apabila proyek berhasil dijalankan. Namun, saat ditanya apakah Sofyan telah menerima bagiannya, Eni mengaku tak tahu.
Dalam beberapa pertemuan dengan Sofyan dan Kotjo, Eni juga menitipkan pesan agar Idrus ”diperhatikan”. ”Saya minta Pak Sofyan kalau ada rezeki agar ada perhatian kepada Pak Idrus. Pak Sofyan yang paling banyak kalau ada rezeki, paling the best-lah. Saya bilang juga ke Kotjo. Kata Kotjo, ’Enggaklah, nanti kita bagi bertiga (Kotjo, Sofyan, dan Idrus)’,” ujarnya.
Kotjo yang dimintai tanggapan majelis hakim mengenai kesaksian Eni itu tidak membantah kesaksian tersebut. ”Saya kira sudah hampir semuanya benar,” kata Kotjo.