SLEMAN, KOMPAS — Sistem ekonomi Pancasila dinilai belum sepenuhnya membumi di Indonesia. Perilaku ekonomi menyimpang masih banyak dilakukan baik oleh masyarakat maupun elite pemerintah akibat pemahaman terhadap konsep itu masih rendah. Konsep tersebut perlu dijabarkan lagi secara lebih rinci agar bisa dipahami dan diamalkan oleh seluruh elemen masyarakat.
M Idris Purwanto, pengajar dari Universitas Amikom Yogyakarta, menyampaikan hal itu dalam orasi ilmiahnya pada perayaan Dies Natalis Ke-24 Universitas Amikom di Sleman, DI Yogyakarta, Kamis (11/10/2018).
”(Sistem ekonomi Pancasila) Belum sepenuhnya diterapkan di Indonesia. Salah satu penyebabnya memang manusianya sendiri banyak yang belum paham. Secara umum, buktinya masih banyak pelanggaran perilaku ekonomi, yang tidak sesuai dengan Pancasila,” kata Idris.
Idris mengemukakan, secara sederhana, sistem ekonomi Pancasila adalah sistem perekonomian yang didasari oleh nilai-nilai ideologi Pancasila. Konsep itu diperkenalkan oleh begawan ekonomi Emil Salim dalam tulisannya berjudul ”Sistem Ekonomi Pancasila” yang terbit di harian Kompas, 30 Juni 1966.
Dalam kerangka sistem itu, dasar politik yang digunakan adalah Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Keadilan sosial merupakan hal yang harus dikedepankan dalam menjalankan perekonomian nasional. Sebab, kemakmuran rakyat merupakan tujuan utama dari penerapan sistem tersebut.
”Tujuan dari diterapkannya sistem ini adalah bagaimana caranya memenuhi kebutuhan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan dengan mengolah segala sumber daya yang dimiliki,” ujar Idris.
Idris menyatakan, rendahnya pemahaman terhadap sistem ekonomi Pancasila itu ditunjukkan dari masih tingginya tingkat korupsi di Indonesia. Prinsip tentang kebersamaan guna mewujudkan tidak dilakukan. Tetapi, kerakusan dan ketamakan justru menjadi prinsip yang dipegang.
Pada 2017, indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia mendapatkan skor 37 dan berada pada peringkat ke-96 dari 180 negara di dunia yang dicatat oleh Transparency International. Skor itu tak berubah dari tahun 2016. Skor itu pun masih jauh dari rata-rata IPK Asia Tenggara yang skornya 41.
Selain itu, dari 2004 sampai 2017, Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan ada 17 hakim dan jaksa ditangkap karena korupsi. Masih ada pula 144 anggota parlemen, 69 wali kota/bupati, dan 18 gubernur juga diproses hukum akibat tindakan tersebut (Kompas, 23/2/2018).
”Perilaku korupsi menjadi bukti yang paling jelas bahwa sistem perekonomian berbasis Pancasila itu belum dijalankan ataupun dipahami,” kata Idris.
Menurut Idris, hal itu dapat terjadi karena kegagalan masyarakat memaknai konsep dari ekonomi. Selama ini, ekonomi kerap dipandang sebagai cara memperoleh keuntungan dan selalu berhubungan dengan uang. Padahal, ekonomi adalah soal pemenuhan kebutuhan manusia.
”Pola pikirnya masih bagaimana mendapatkan sebanyak-banyaknya keuntungan. Hal itu yang mengantarkan pada kerakusan sehingga tidak mencapai keadilan sosial tadi,” ujar Idris.
Inovasi
Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah V Yogyakarta Bambang Supriyadi, yang turut hadir dalam acara itu, mengungkapkan, perguruan tinggi tidak boleh berhenti untuk terus berinovasi. Hal itu menjadi kunci bertahan di tengah dunia yang terus berubah dalam waktu yang makin tak tertebak.
”Perguruan tinggi harus ada di depan dalam hal inovasi. Inovasi itu pun harus menghasilkan sesuatu yang produksinya bermanfaat secara langsung untuk masyarakat, baik dalam skala lokal maupun nasional,” kata Bambang dalam pidatonya.
Terkait dengan hal itu, Rektor Universitas Amikom Yogyakarta M Suyanto mengatakan, pihaknya berkomitmen untuk mendorong mahasiswanya untuk terus berinovasi. Universitas itu pun telah berhasil menjual produk-produk inovasinya hingga ke pasar dunia.
Inovasi unggulan dari universitas itu adalah animasi. Salah satu film animasi mereka yang telah mendunia adalah ”Battle of Surabaya”. Sejak 2015, film itu telah mendapatkan 27 penghargaan internasional. Adapun pasar yang berhasil dimasuki ialah Amerika Serikat, Inggris, dan China.
”Pasar film lain yang besar akan menyusul kami masuki nantinya,” kata Suyanto.