NUSA DUA, KOMPAS — Pemerintah menyiapkan strategi pembiayaan dan asuransi risiko bencana. Pada implementasi tahap pertama, pembiayaan risiko bencana untuk barang milik negara, terutama gedung perkantoran dan pendidikan, mulai diimplementasikan pada tahun anggaran 2019.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dalam dialog tingkat tinggi tentang pembiayaan risiko bencana dan asuransi di Indonesia dalam pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia di Bali, Rabu (10/10/2018), mengatakan, selama ini pendanaan bencana hanya mengandalkan APBN.
Akibatnya, kerugian bencana yang harus ditanggung pemerintah melebihi alokasi yang ditetapkan. Situasi menjadi lebih pelik jika dampak kerugian bencana cukup besar, seperti tsunami Aceh 2004 atau gempa yang berulang kali terjadi di Lombok.
Mengutip data Rencana Nasional Penanggulangan Bencana, kerugian Indonesia akibat bencana mencapai Rp 126,7 triliun pada tahun 2004-2013. Rata-rata nilai kerugian ekonomi langsung berupa kerusakan bangunan dan non-bangunan mencapai Rp 22,85 triliun setiap tahunnya. Gempa bumi menyebabkan kerugian ekonomi terbesar sekitar 7,56 triliun per tahun.
Pemerintah sudah menyelesaikan peta jalan strategi pembiayaan dan asuransi risiko bencana untuk jangka pendek tahun 2018-2019. Asuransi barang milik negara di bawah pengelolaan Kemenkeu akan diterapkan tahun 2019. Skema pembiayaan berupa kontrak asuransi di mana perusahaan asuransi yang saat ini sedang dibentuk akan memberi ganti rugi sesuai kontrak yang disepakati.
Selanjutnya, studi kelayakan skema pengumpulan dana (pooling fund). Sejauh ini ada tiga model pengumpulan dana. Pertama, membuka rekening khusus di Bank Indonesia, sementara operasional pengelolaan dana dilakukan di institusi lain. Kedua, penugasan satuan kerja pemerintah atau BUMN untuk mengelola dana. Ketiga, mendirikan badan layanan umum (BLU) pengelola dana khusus pembiayaan risiko bencana.
”Pooling fund memudahkan pembiayaan risiko bencana. Dana yang dikelola pooling fund dapat disalurkan langsung melalui BNPB, kementerian/lembaga terkait, serta pemerintah daerah,” kata Sri Mulyani.
Peta jalan strategi dilanjutkan dengan penguatan dan pengembangan instrumen asuransi pertanian dan perikanan, eksplorasi potensi skema pembiayaan alternatif, serta edukasi dan penguatan kapasitas. Adapun peta jalan jangka menengah akan diimplementasikan tahun 2019-2023.
Pemerintah akan menanggung pembiayaan risiko untuk bencana dengan frekuensi kejadian tinggi, tetapi dampak kerugian kecil sampai sedang dengan sumber APBN retensi yang berasal dari dana cadangan bencana dan alokasi belanja rutin untuk kementerian/lembaga terkait.
Adapun pembiayaan risiko untuk bencana yang jarang terjadi, tetapi dampak kerugian cukup tinggi dengan instrumen pinjaman kontingensi sebagai komplementer APBN. Pinjaman kontingensi berasal dari bank pembangunan multilateral, seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan negara-negara mitra. Namun, skema pembiayaan ini masih harus dikaji karena perubahan UU APBN.
Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim mengapresiasi langkah Pemerintah Indonesia dalam merumuskan strategi pembiayaan dan asuransi risiko bencana. Indonesia termasuk negara yang rentan terjadi bencana sehingga pengelolaan anggaran harus cermat. Risiko bencana dapat memengaruhi perekonomian nasional, apalagi ketidakpastian global sedang meningkat.