JAKARTA, KOMPAS — Hingga 8 Oktober 2018, nilai tukar rupiah tercatat terdepresiasi sebesar 12,19 persen. Depresiasi ini membuat rupiah hari ini menduduki posisi terlemah pada tahun ini.
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), nilai tukar rupiah semakin melemah menjadi Rp 15.193 per dollar AS, Senin. Rupiah telah terdepresiasi sebesar 12,19 persen sejak 2 Januari 2018 yang tercatat Rp 13.542 per dollar AS.
Dosen Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia, Lana Soelistianingsih, di Jakarta, Senin, menyampaikan, masuknya rupiah ke level Rp 15.000 per dollar AS sebenarnya sudah diperkirakan. ”Saya kira, pasar keuangan telah menerima nilai Rp 15.000 adalah titik keseimbangan yang baru,” katanya.
Namun, ujarnya, nilai tukar rupiah harus dijaga untuk tidak terus melemah. Pelemahan yang terus-menerus lambat laun akan memperlambat produksi sektor riil. Biaya produksi akan meningkat karena bahan baku masih bergantung pada impor, sedangkan biaya untuk ekspor juga akan ikut naik.
Sebagai akibatnya, kenaikan tersebut akan berdampak pada kenaikan harga barang (inflasi). Inflasi akan menjadi beban bagi masyarakat.
”Solusi untuk menjaga kestabilan rupiah tidak hanya bisa dari peningkatan tingkat suku bunga acuan Bank Indonesia saja,” ucap Lana.
Bank Indonesia telah menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (7DRRR) menjadi 5,75 persen.
Sementara itu, Bank Sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve, juga baru saja menaikkan suku bunga acuan menjadi 2-2,25 persen. Keputusan itu membuat banyak investasi portofolio dari negara berkembang berpindah ke AS yang membuat nilai tukar negara-negara tersebut melemah.
Kepala Pusat Studi Kebijakan Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, A Tony Prasetiantono secara terpisah mengatakan, BI sebenarnya kurang tanggap dalam menaikkan suku bunga untuk mengimbangi kebijakan The Fed.
”Sepanjang 2018, The Fed menaikkan Fed Fund Rate dari 0,25 persen hingga 2,25 persen. BI menaikkan dari 4,25 persen menjadi 5,75 persen,” kata Tony. Dengan demikian, The Fed sejauh ini telah menaikkan 2 persen dan BI baru 1,50 persen.
Ia melanjutkan, ini berarti BI sebenarnya masih belum memenuhi aspek ahead the curve sebagaimana yang diinginkan oleh bank tersebut. Akibatnya, cadangan devisa sekarang merosot tajam (114,8 miliar dollar AS per September 2018) karena BI membutuhkan jumlah yang besar untuk melakukan intervensi pasar keuangan.
BI, ujarnya, dapat kembali menaikkan suku bunga acuan secara bertahap dalam jumlah yang kecil untuk mengejar The Fed. Itu karena kenaikan yang terlalu besar dapat memicu kepanikan dalam pasar.
Sebelumnya, Komisaris Independen PT Bank Central Asia Cyrillus Harinowo menyampaikan, Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) pada 27 September 2018 seharusnya menaikkan BI 7DRRR sebesar 50 basis poin (bps). Dalam RDG BI itu, BI hanya menaikkan BI 7DRRR sebesar 25 bps.
Dilematis
Lana menilai, BI berada dalam posisi yang dilematis karena kenaikan suku bunga yang terlalu tinggi dapat berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi. Jika tidak dinaikkan, nilai tukar akan terus melemah. Padahal, The Fed diperkirakan akan terus menaikkan suku bunga secara bertahap hingga tahun depan.
”Seperti yang sudah saya bilang sejak dulu, pemerintah perlu memperbaiki struktur perekonomian makro untuk menekan impor berlebih,” ucapnya. Salah satu cara adalah dengan membangun industri substitusi barang impor.
Perekonomian Indonesia saat ini tidak hanya mengalami tekanan eksternal dari kebijakan The Fed. Perang dagang AS-China dan kenaikan harga minyak dunia turut memengaruhi kondisi perekonomian bangsa.