Pendataan Industri E-dagang Terkendala
JAKARTA, KOMPAS — Ketiadaan data nasional terkait profil dan pencapaian industri perdagangan secara elektronik atau e-dagang menyulitkan pemerintah merumuskan kebijakan yang tepat. Perekaman data yang sudah berjalan perlu dilanjutkan dengan berkoordinasi secara lebih intensif dengan pelaku industri.
Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung di Jakarta, Minggu (7/10/2018), memandang, data profil dan pencapaian industri e-dagang harus akurat, bukan berdasarkan survei semata. Oleh karena itu, proses perekaman butuh sosialisasi cukup panjang.
Dengan model investasi seperti saat ini, pelaku industri e-dagang menjadikan data perusahaan sakral. Dengan data itu, mereka memperoleh valuasi dan dukungan dana dari investor.
”Kami siap membantu negara mengedukasi industri. Kami akan tekankan bahwa data dibutuhkan, bukan hanya bagi pemerintah agar bisa merumuskan regulasi yang tepat, melainkan juga untuk industri supaya dapat mengetahui perkembangan pasar lebih akurat,” ujarnya.
Sejauh ini, belum ada kriteria acuan pengukuran yang pas untuk menilai pencapaian kinerja industri e-dagang. Sebagai gambaran, jika salah satu pelaku mengalami peningkatan penjualan 50 persen, siapa pun sulit mengetahui apakah hasil itu artinya bagus atau tidak.
Ignatius mengemukakan, pihaknya menyarankan pengumpulan serta perekaman data akan tetap melalui Badan Pusat Statistik sebagai lembaga kredibel yang dilindungi undang-undang. Dengan hanya berhubungan dengan Badan Pusat Statistik, pemain e-dagang tidak perlu melayani permintaan pengumpulan data dari kementerian dan lembaga lain.
Terkait perekaman data e-dagang, sejak 2017, pemerintah telah mendengungkannya. Badan Pusat Statistik (BPS) berinisiatif melakukan perekaman berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator Perekonomian dan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Dari sejumlah pemberitaan disebutkan, aktivitas itu belum berjalan optimal. Berbagai kendala muncul, semisal sukar berkomunikasi dengan penyedia platform dan data yang disetor perusahaan tidak memiliki kualitas sama.
”Kami pun susah menjawab perkembangan pertumbuhan industri e-dagang karena secara kuantitatif tiada data. Walaupun secara kualitatif, kami bisa katakan tren pertumbuhan masih berlanjut. Persaingan antarpelaku masih akan ketat, termasuk imbasnya terhadap persaingan harga,” kata Ignatius.
Terus berkembang
Asisten Deputi Pengembangan Ekonomi Kreatif Kementerian Koordinator Perekonomian Mira Tayyiba mengemukakan sudah ada evaluasi pencapaian 62 kebijakan keluaran amanat dari Peraturan Presiden No 74/2017 tentang Peta Jalan E-Dagang. Perkembangan sampai 20 September 2018 baru 13 kebijakan telah selesai dikeluarkan.
Sebagai contoh, skema pemberian insentif bagi perusahaan modal ventura yang berinvestasi melalui Peraturan Menteri Keuangan No 48/PMK.010/2018. Contoh lain, pengembangan gerbang pembayaran nasional yang salah satu peruntukkannya mendukung e-dagang melalui Peraturan Bank Indonesia No 19/8PBI/2017.
Kendala implementasi Peta Jalan E-Dagang adalah tidak setaranya tingkat kebijakan keluaran, pemahaman, dan semangat antarkementerian/lembaga yang belum sama, isu ekonomi digital berkembang terus meluas, serta Perpres No 74/2017 yang hanya bersifat jangka pendek.
Selain masih melanjutkan pembahasan kebijakan keluaran, tindak lanjut yang akan dikerjakan pemerintah salah satunya adalah pengumpulan data e-dagang. Dengan adanya data, pemerintah bisa menjadikannya basis profil industri dan penyusunan kebijakan.
Di luar sana, sejumlah perusahaan konsultan mengeluarkan hasil riset terhadap pencapaian ekonomi digital yang utamanya digerakkan oleh industri e-dagang.
Perusahaan konsultan manajemen McKinsey dalam laporan riset The Digital Archipelago: How Online Commerce is Driving Indonesia’s Economic Development (Agustus 2018) menyebutkan, pada tahun 2017 pasar e-dagang Indonesia bernilai 8 miliar dollar AS. Angka ini mengacu pada nilai barang dagangan (GMV) barang dan jasa yang dibeli secara daring dari platform e-dagang dan media sosial atau socio commerce.
Pada 2022, laporan itu menyebut, proyeksi nilai pasar e-dagang naik menjadi 55 dollar AS hingga 65 miliar dollar AS. Beberapa faktor mendukung pertumbuhan cepat pasar e-dagang Indonesia antara lain peningkatan penetrasi ponsel pintar dan internet, penguatan daya beli, serta populasi muda yang melek teknologi.
Laporan riset mengatakan, Indonesia baru memiliki sekitar 30 juta konsumen daring atau 15 persen dari total populasi orang dewasa 195 juta orang. McKinsey menyarankan tiga hal agar situasi itu berubah dan nilai pasar e-dagang meningkat. Pertama, pemerintah berkolaborasi dengan swasta membangun sistem infrastruktur logistik yang andal. Kedua, mendorong pembayaran secara nontunai. Ketiga, membantu UMKM terjun ke pemasaran dan penjualan daring.
Sementara itu, riset Bain and Company ”Advancing Towards ASEAN Digital Integration: Empowering SMEs to Build ASEAN’s Digital Future” (September 2018) menyebutkan, aktivitas ekonomi digital negara Asia Tenggara menyumbang sekitar 7 persen terhadap total produk domestik bruto (PDB) kawasan pada 2017.
Pendiri perusahaan modal ventura Ideosource, Andi Surja Boediman, yang dihubungi secara terpisah, mengatakan, berinvestasi di perusahaan e-dagang sudah tidak lagi menarik. Alasan dia adalah kompetisi antarperusahaan e-dagang sudah sangat sengit.
”Akan tetapi, berinvestasi di ekosistem pendukung industri e-dagang masih menarik, seperti rantai pasok,” katanya.
Ideosource berdiri pada tahun 2011. Mulanya, perusahaan modal ventura ini berinvestasi di perusahaan rintisan bidang teknologi, mulai dari e-dagang, media digital, hingga teknologi internet yang terhubung dengan segala benda. Contoh perusahaan e-dagang yang menerima penyertaan dana adalah Bhinneka dan 8Wood. Sejak setahun lalu, Ideosource merambah ke investasi untuk industri perfilman.