Komitmen Pembangunan Berkelanjutan Papua Barat Sebuah Kerja Besar
Oleh
Brigitta Isworo Laksmi
·4 menit baca
Komitmen sebagai Provinsi Konservasi dan melakukan pembangunan berkelanjutan adalah sebuah kerja besar yang memerlukan keterlibatan semua pihak. Di sisi lain, komitmen tersebut berhadapan dengan situasi yang amat kompleks terkait persoalan hutan dan lahan, masyarakat adat, aktivitas ekonomi kreatif masyarakat, dan persoalan tumpang tindih peraturan.
Kerja besar tersebut akan diatasi antara lain melalui pembuatan peta jalan, revisi Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Papua Barat dengan tujuan menetapkan sekitar 70 persen wilayah menjadi kawasan lindung dan pelestarian, serta mengusulkan landasan hukum pembangunan berkelanjutan dalam bentuk peraturan daerah khusus (perdasus). Luas hutan Papua Barat sekitar 9.370.550 hektar dari luas wilayah provinsi 14.307.600 hektar. Luas hutan itu mencakup 8,12 persen dari luas hutan Indonesia.
Luas hutan Papua Barat sekitar 9.370.550 hektar dari luas wilayah provinsi 14.307.600 hektar. Luas hutan itu mencakup 8,12 persen dari luas hutan Indonesia.
Hal itu antara lain yang menjadi pembahasan pada hari pembukaan International Conference on Biodiversity, Ecotourism, and Creative Economy (ICBE) 2018 yang berlangsung di Manokwari, Papua Barat, Minggu (7/10/2018). Menteri PPN/Ketua Bappenas Sumantri Brodjonegoro, Menteri Lingkungan Hidup Siti Nurbaya, Menteri Kementerian Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, dan Gubernur Papua Lukas Enembe yang rencana dihadirkan ternyata tidak hadir. Gubernur Papua mewakilkan kepada Asisten II Sekda Papua Noak Kapisa.
Pada kesempatan itu dilakukan dua penandatanganan bersama antara Gubernur Papua Barat dan Gubernur Papua. Penandatanganan dilakukan untuk dua hal, yaitu nota kesepahaman tentang visi bersama dan nota kesepahaman tentang peningkatan kapasitas sumber daya manusia serta penelitian dan pengembangan daerah.
Sementara raperdasus diserahkan dari Gubernur Papua Dominggus Mandacan kepada Ketua DPRD Papua Barat Pieters Kondjol. Terdapat dua raperdasus, yaitu Raperdasus Pembangunan Berkelanjutan di Provinsi Papua Barat dan Raperdasus Pengakuan Hak Masyarakat Hukum Adat.
Melibatkan masyarakat adat
Upaya merevisi RTRW dengan membalikkan perbandingan menjadikan 70 persen kawasan sebagai kawasan lindung dan konservasi dipandang tidak akan mudah. Sebab, menurut Kepala Balitbang Papua Barat Charlie Hetaubun, setidaknya ada 42 izin yang sudah diterbitkan, sebagian dari pemerintah pusat, dengan berbagai kondisinya. Sepuluh perusahaan terbesar pemegang konsesi tercatat menguasai 523.792,70 hektar berdasarkan data yang dilansir pada ICBE 2018.
Setidaknya ada 42 izin yang sudah diterbitkan di Papua Barat, sebagian dari pemerintah pusat. Sepuluh perusahaan terbesar pemegang konsesi tercatat menguasai 523.792,70 hektar.
Menurut Pieters, dua raperdasus, tentang provinsi berkelanjutan dan tentang masyarakat adat harus sinkron. ”Harus ada sinkronisasi agar tidak ada tumpang tindih. Kalau misalnya sudah ada bagian yang termuat di dalam raperdasus hak masyarakat adat, tidak boleh muncul lagi pada raperdasus provinsi berkelanjutan. Sifatnya harus saling melengkapi,” katanya mengingatkan.
Menurut dia, raperdasus tersebut amat penting dan mendesak. ”Karena itu, merupakan komitmen pemerintah ya untuk menjaga lingkungan hidup, juga keanekaragaman hayati, dan ekowisata. Ini bagian bagian yang menjadi satu kesatuan yang tidak bisa kita pisahkan,” kata Pieters.
Menurut dia, raperdasus baru bisa disahkan apabila sudah mendapat persetujuan semua pemangku kepentingan, termasuk persetujuan dari perwakilan masyarakat adat. Di Papua Barat terdapat dua wilayah adat.
Penetapan wilayah konservasi
Penetapan wilayah konservasi, menurut Noak, bisa diawali dengan melakukan konservasi untuk biodiversitas dengan melakukan ekowisata. ”Itu sama dengan melakukan ekonomi kreatif yang ingin kita bangun,” ujarnya. Persoalan yang masih membelit Papua Barat adalah pembalakan liar, terutama kayu merbau yang banyak diekspor ke China.
Masalah penetapan wilayah konservasi tersebut ditanggapi Greenpeace Indonesia, ”Karena masih terdapat sejumlah masalah, misalnya tumpang tindih perizinan yang belum terselesaikan, sehingga komitmen ini belum tampak nyata,” ujar Charles Tawaru, juru kampanye hutan Papua Greenpeace Indonesia.
Menurut Charlie, dalam melakukan revisi RTRW juga akan dikaji ulang izin-izin yang sudah keluar. Di dalamnya akan dilakukan penghitungan ulang berapa kebutuhan lahan dan untuk peruntukan apa atau kawasan apa. ”Kita tinjau lagi mana kawasan lindung dan mana konservasi,” ujarnya.
Kepala Polda Papua Barat Brigjen (Pol) Rudolf Albert Rodja mengatakan, ”Kami mendukung rencana ini dan dari pihak kepolisian menangani penindakan hukum. Yang menjadi ganjalan antara pemerintah, masyarakat, dan pengusaha harus diperbaiki, jangan sampai salah arah. Kita harus membangun secara benar sejak sekarang.”
Charles menandaskan, ”Masyarakat adat perlu dilibatkan secara penuh terkait agenda besar ini terutama dalam pengambilan kebijakan, tata kelola lingkungan serta implementasi keterbukaan informasi, sehingga segala sesuatunya transparan demi skema lingkungan Papua dan Papua Barat yang lebih baik,” tulisnya melalui surat pendek via seluler.
Masyarakat adat perlu dilibatkan secara penuh terkait agenda besar ini terutama dalam pengambilan kebijakan, tata kelola lingkungan serta implementasi keterbukaan informasi.
Sementara Staf Khusus Presiden untuk Papua, Lenis Kogoya, mengatakan, semua upaya memberdayakan masyarakat adat telah dilakukan secara langsung dengan adanya anggaran dari APBN.
Papua dan Papua Barat merupakan provinsi dengan indeks pembangunan manusia yang terendah dan dengan rasio gini sekitar 3,38. ”Ini artinya masih ada kesenjangan yang tinggi,” katanya.
Di sisi lain, pendapatan per kapita Papua Barat sekitar Rp 2.250.000. Dia berharap dengan pembangunan infrastruktur dan potensi yang ada di kampung akan ada upaya agar kualitas hidup masyarakat meningkat. Kegiatan ekonomi yang potensial di Papua Barat selain wisata alam juga hasil kerajinan dan hasil pertanian dan perkebunan, seperti hasil kopi, jeruk, kentang, dan kol.
Konferensi ini diikuti lebih dari 1.000 peserta. Dalam tiga hari ke depan, hingga 10 Oktober 2018 akan dilakukan berbagai panel diskusi terkait beragam topik yang terkait dengan persoalan yang dihadapi Papua Barat.
”Kita akan belajar dari mereka yang memberikan materi nanti di sini,” ujar Sekda Papua Barat Nataniel Mandacan.