Dalam bahasa Italia ada pepatah terkenal yang berbunyi traduttore, traditore, artinya “penerjemah adalah pengkhianat”. Maksudnya, tidak mungkin suatu terjemahan seratus persen setia pada teks dalam bahasa lain yang diterjemahkan karena mau tidak mau harus “mengkhianati” teks asli itu. Pepatah Italia itu sendiri merupakan contoh bagus tentang apa yang diungkapkannya.
Tentu saja kata Italia traduttore berarti \'penerjemah\' dan kata kedua traditore berarti \'pengkhianat\'. Tentang itu tidak ada kesulitan atau keraguan apa pun. Kesulitannya mulai bila kita menerjemahkan pepatah Italia itu sebagai keseluruhan sebab hanya dua huruf berbeda dalam dua kata itu, sedangkan maknanya berbeda jauh sehingga menjadi cukup lucu bila diucapkan dalam bahasa Italia. Nuansa lucu itu hilang sama sekali jika pepatah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa lain.
Memang benar, kesulitan mengenai penerjemahan tidak selalu dirasakan dengan cara yang sama. Jika melalui bahasa disampaikan informasi sederhana yang tidak mungkin salah ditafsirkan, hampir tidak akan dirasakan kesulitan dalam terjemahan. Contohnya adalah peraturan lalu lintas. Jika ada peraturan seperti “dilarang belok kiri”, “satu arah”, “dilarang parkir”, “kecepatan maksimal 60 km per jam”, tidak sulit untuk memberi terjemahan yang persis sama dalam bahasa lain. Karena itu, terbuka kemungkinan untuk membuat rambu-rambu lalu lintas internasional yang dapat diberlakukan di semua negara. Namun, sejauh teks yang harus diterjemahkan menjadi lebih kompleks, sejauh itu pula bertambah kesulitan bagi si penerjemah. Akhirnya, paling banyak tantangan dihadapi jika orang harus menerjemahkan karya sastra yang bermutu tinggi, apalagi karya puisi. Karena itu, jika kita tidak bisa membaca drama-drama William Shakespeare dalam bahasa aslinya, kita selalu rugi, apalagi karya sonetanya.
Bahasa ternyata tidak merupakan pembungkus saja bagi pikiran atau makna yang ada di dalamnya. Dan, karena itu, menerjemahkan tidak sama dengan menggantikan pakaian: makna yang tetap sama dilepaskan dari satu bahasa dan didandani dengan bahasa lain.
Sebaliknya, dengan salah satu cara makna bersatu dengan bahasa. Kita bisa mengatakan juga, makna terjelma dalam kata-kata yang diucapkan atau ditulis. Tidak mungkin menerjemahkan sebuah teks tanpa menyentuh dan, dengan itu, merusak sedikit maknanya. Dalam terjemahan, makna asli tidak utuh lagi.
Keadaannya menjadi lebih rumit lagi jika kita menyadari bahwa makna tidak saja terkandung dalam kata-kata yang diucapkan atau teks yang ditulis. Untuk menangkap makna yang sesungguhnya tidak kalah penting memperhatikan juga konteksnya. Para diplomat profesional selalu sudah mengetahui bahwa bukan saja apa yang dikatakan oleh lawan bicaranya harus dianggap penting, tetapi juga seluruh konteksnya, termasuk “bahasa tubuh” si pembicara. Apakah “ya” yang dikatakan berarti “ya” dengan sepenuh hati atau “ya” dengan ragu-ragu atau barangkali arti yang sebenarnya adalah “tidak”?
Penerjemah yang baik bukan saja harus menguasai betul bahasa asing dari mana ia menerjemahkan teksnya, melainkan juga mempunyai sedikit bakat diplomasi untuk menemukan makna tersembunyi. Dengan demikian, sudah jelas bahwa menerjemahkan bukan pekerjaan mudah.
K BERTENS, Guru Besar Emeritus, Unika Atma Jaya, Jakarta