DKI Perlu Mitigasi Bencana
Berada di daerah berpotensi mengalami gempa besar, DKI Jakarta serta wilayah sekitarnya perlu menyiapkan mitigasi bencana untuk mengurangi risiko bagi warganya.
Berada di daerah berpotensi mengalami gempa besar, DKI Jakarta serta wilayah sekitarnya perlu menyiapkan mitigasi bencana untuk mengurangi risiko bagi warganya.
JAKARTA, KOMPAS - Wilayah Jakarta dan sekitarnya berpotensi mengalami gempa besar yang merusak bangunan. Untuk mengurangi fatalitas akibat gempa, mitigasi bencana perlu dilakukan sejak dini, termasuk persiapan bagi warga bila gempa itu terjadi.
Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono menjelaskan, gempa yang berdampak guncangan bagi Jakarta bisa berasal dari zona megathrust dan sesar atau patahan aktif.
Zona megathrust adalah istilah untuk sumber gempa di zona penunjaman lempeng yang dianalogikan sebagai “patahan naik yang besar”. Terdapat dua zona megathrust yang dapat memengaruhi Jakarta, yaitu zona megathrust di selatan Jawa Barat dan di selatan Selat Sunda. Masing-masing berpotensi memicu gempa hingga magnitudo 8,7.
“Jika itu terjadi, Jakarta akan terdampak guncangan skala intensitas VI-VII MMI (Modified Mercalli Intensity), yang artinya berpotensi menimbulkan kerusakan,” tutur Daryono di Jakarta, Rabu (3/10/2018).
Skala VI MMI berarti guncangan dirasakan semua orang yang kemungkinan akan lari keluar bangunan, serta plester dinding tembok lepas dan terjadi kerusakan ringan. Adapun saat terjadi guncangan dengan skala VII MMI, setiap orang bakal keluar rumah dan ada kerusakan sedang: bangunan dengan konstruksi yang baik mengalami kerusakan ringan, bangunan dengan konstruksi kurang baik mengalami retak-retak bahkan hancur.
Sementara itu, sesar aktif yang berpotensi memicu gempa yang terasa hingga Jakarta adalah sesar Cimandiri, Lembang, dan Baribis. “Sesar Baribis diduga mencapai Jakarta, tetapi itu masih dalam kajian. Revisi peta (Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia) pun tidak menggambarkannya sampai Jakarta,” ujar Daryono.
Sesar Cimandiri berpotensi memicu gempa dengan kekuatan M 6,7, sesar Lembang M 6,8, dan sesar Baribis M 6,5. Gempa dari sesar ini berpotensi mengakibatkan guncangan IV-V MMI. Pada skala ini, gempa yang terjadi diperkirakan terparah membuat barang-barang terpelanting, serta tiang dan barang besar terlihat bergoyang.
Dari kedua penyebab ini, menurut Daryono, aktivitas gempa di zona megathrust bakal memberi dampak yang lebih hebat bagi Jakarta. Gempa semacam itu bisa memicu vibrasi periode panjang yang membuat gedung-gedung tinggi berayun.
Patut diingat, skala kekuatan tadi adalah potensi, bukan prediksi. BMKG tidak pernah meramalkan gempa, apalagi belum ada alat untuk memprediksi kekuatan gempa, waktu terjadinya gempa, dan lokasi gempa. Meski demikian, potensi bukan untuk diabaikan. Ia berharap, DKI tetap melakukan mitigasi bencana untuk menekan korban bila kelak gempa terjadi.
Catatan gempa
Daryono mengatakan, gempa hebat pernah terjadi di Batavia sewaktu masa penjajahan. Ia mengutip catatan penulis Die Erdbeben Des Indischen Archipels (The Earthquakes of the Indian Archipelago) Arthur Wichmann, yang menyusun katalog sejarah gempa Indonesia tahun 1918. Gempa dahsyat terjadi di Batavia pada 5 Januari 1699 dan mengakibatkan 28 orang meninggal dan 49 bangunan rumah rusak.
Batavia juga terguncang gempa hebat pada 22 Januari 1780. Beberapa sumber menyebutkan, gempa itu merobohkan Observatorium Mohr, observatorium pertama di Batavia yang dibangun pada 1765.
Lebih dari dua abad berselang, gempa terbukti meneror lagi warga Jakarta. Tanggal 23 Januari 2018, gempa berkekuatan M 6,1 bersumber di Samudra Hindia di selatan Lebak, Banten, menimbulkan guncangan sampai Jakarta. Itu sempat menimbulkan kepanikan warga.
Bersiap
Persiapan dilakukan di sejumlah tempat termasuk Kota Tangerang. Salah satunya, Prince\'s Cre@tive School di Jalan Benteng Jaya, Kelurahan Sukarasa, Kecamatan Tangerang, yang rutin menggelar simulasi evakuasi bila gempa.
Penanda simulasi di sekolah ini terdengar dari bunyi sirene yang memecah keheningan sekolah ini, kemarin siang. Bersamaan dengan itu, terdengar bunyi kentongan bertalu-talu.
Murid, guru, dan petugas tata usaha dari TK, SD, dan SMP segera beranjak dari ruangan.
Sirene dibunyikan Kepala SD Rina Kusuma Wardhani, sementara kentongan dipukul Kepala TK Criscenciana Sri Untari. Manager sekolah sekaligus Kepala SMP Lisia Natalia memberi aba-aba untuk menyebar ke kedua sisi jalur evakuasi. Ia mengangkat tangannya dan mengayun-ayunkan kedua jempolnya ke kiri dan kanan.
Warga sekolah ini bergegas turun melalui dua jalur evakuasi, di sisi kiri dan kanan, menuju salah satu sudut lapangan sebagai titik kumpul.
Mereka melangkah cepat tetapi tidak berlari. Rombongan berjalan teratur, tidak dorong-mendorong. Mereka menuruni tangga jalur evakuasi menuju lapangan di lantai dasar. Mereka melewati pinggir lapangan menuju titik kumpul yang berupa pohon bambu di depan tembok sekolah.
Selama proses evakuasi, sejumlah 450 siswa serta guru dan pegawai tidak berbicara dan tak juga bercanda. Mereka pun tidak diperkenankan kembali ke tempat awal tetapi terus menuju titik kumpul.
Siswa TK dipandu guru kelasnya. Salah satu guru lelaki menggendong seorang siswa SD yang tidak bisa turun dari lantai 1 menuju tempat kumpul.
Dalam dua menit, semua warga sekolah sudah berkumpul di sekitar pohon bambu.
Lisia menjelaskan, pohon bambu ini sengaja ditanam sebagai tempat berlindung karena pohon bambu tidak bakal roboh. Sifat pohon ini juga dapat menahan tembok jika roboh.
"Secara rutin, dua kali dalam setahun, yakni awal tahun pelajaran dan awal tahun, kami membuat simulasi ini. Kegiatan ini untuk mengajarkan siswa saat evakuasi gempa, kebakaran, dan kondisi darurat lainnya. Dari siswa, mereka juga mengajarkan evakuasi ini kepada orangtua dan keluarganya," kata Lisia.
Simulasi sudah dilakukan di sekolah ini sejak tahun 2008. Selain gempa, simulasi serupa juga berguna saat terjadi kebakaran.