Caleg Pengusaha Hadapi Pragmatisme
Meningkatnya calon anggota legislatif pengusaha dan swasta pada Pemilu 2019 bisa mengarah ke pragmatisme dan tenggelamnya pertarungan gagasan.
JAKARTA, KOMPAS - Penguatan pragmatisme politik menjadi salah satu tantangan DPR di tengah semakin banyaknya pengusaha dan swasta menjadi calon anggota DPR pada Pemilu 2019. Untuk itu, penguatan pragmatisme politik harus diikuti penguatan kontrol dari luar sistem, seperti masyarakat sipil dan media.
Hasil olah data informasi para caleg DPR yang masuk daftar calon tetap (DCT) Pemilu 2019, seperti diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), ada kecenderungan dominasi caleg pengusaha dan swasta. Dari 7.968 caleg asal 16 partai politik nasional di DCT di 80 daerah pemilihan, ada 2.990 caleg (37,53 persen) yang tak membuka informasi profilnya.
Dari data 4.978 caleg yang bisa diakses, 62 persen atau 3.107 caleg berlatar belakang swasta dan pengusaha. Caleg lain di antaranya anggota DPR/DPRD (10,83 persen), akademisi atau pengajar (4,8 persen), dan profesional (7,21 persen). Proporsi caleg pengusaha dan swasta itu relatif meningkat dibandingkan dengan Pemilu 2014. Data Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia menunjukkan, dari 6.607 caleg DPR, 49,1 persen di antaranya pengusaha atau swasta.
Direktur Eksekutif Jaringan untuk Demokrasi dan Pemilu Berintegritas Sigit Pamungkas, Jumat (28/9/2018), di Jakarta, mengatakan, kecenderungan bertambahnya proporsi caleg pengusaha atau swasta tak terlepas dari kebutuhan politik yang memerlukan biaya besar. Orang yang siap masuk ke arena politik dalam kondisi tersebut tentu punya modal, yakni pengusaha.
Menurut dia, masuknya pengusaha di parlemen bisa memberikan beberapa kemungkinan. Selain bisa bersikap lebih mandiri karena secara ekonomi lebih mapan lalu bisa mengambil sikap politik berpihak kepada rakyat, sebaliknya, bisa dijadikan arena perluasan pengaruh bisnis mereka.
”Masih perlu ditelisik, apakah caleg pengusaha itu ada rekam jejak ’menyusu’ proyek APBN atau APBD atau memang mereka pengusaha yang tak ada kaitan bisnis anggaran pemerintah,” kata Sigit.
Dia juga mengingatkan dominasi wacana di DPR bisa mengarah ke perhitungan pragmatis dan membuat pertarungan gagasan jadi tenggelam. Oleh karena itu, dia mendorong munculnya gerakan bersama mengontrol kerja anggota DPR. Masyarakat sipil dan media massa harus solid awasi parlemen.
Sementara itu, anggota KPU, Wahyu Setiawan, mengatakan, dalam sistem pemilu dengan suara terbanyak, faktor biaya politik sangat berpengaruh. Namun, KPU berupaya menekan biaya politik tinggi dengan fasilitasi sebagian alat kampanye. KPU juga menentukan batasan pembuatan alat peraga kampanye menekan biaya kampanye. Diakui, pada Pemilu 2019 tak ada ambang batas atas pengeluaran dana kampanye peserta pemilu, berbeda dengan pemilihan kepala daerah.
”Yang diberi batasan hanya jumlah uang yang disumbang individu dan korporasi. Berapa dananya, tak dibatasi,” kata Wahyu.
Mengambil keuntungan
Sejauh ini, parpol diuntungkan dengan masuknya pengusaha jadi calon anggota legislatif atau caleg partai. Begitu pula caleg pengusaha diuntungkan jika berhasil terpilih. Namun, realitas ini dinilai rentan pula membuat partai dan caleg pengusaha terjebak pada kepentingan pragmatis.
Caleg Partai Amanat Nasional (PAN) dari dapil Sulawesi Barat yang berlatar belakang pengusaha, Muhammad Asri Anas, mengatakan, partai diuntungkan karena pengusaha yang menjadi caleg punya modal membiayai kampanye dan kebutuhan lain untuk pemilu tanpa perlu meminta sokongan dana partai pengusungnya atau pihak lain.
Tak hanya itu, pengusaha kerap memberikan sumbangan bagi partai untuk pemenangan di pemilu, kegiatan partai atau operasional partai. Ini berarti ikut membantu pembiayaan partai yang selama ini sulit dicukupi partai itu sendiri.
Keuntungan tak hanya bagi partai, tetapi juga pengusaha. Dengan masuk ke politik, apalagi jika terpilih menjadi anggota legislatif, mereka akan punya jejaring yang lebih kuat ke kalangan eksekutif ataupun penegak hukum.
”Jejaring ini akan mengamankan usahanya karena bukan rahasia, banyak pengusaha dijadikan sapi perah,” ujar Asri Anas.
Masuknya pengusaha ke politik dan menjadi anggota legislatif juga bisa dimanfaatkan memperluas bisnisnya. Namun, ini bukan berarti aturan boleh dilanggar. ”Aturan hukum tetap dipatuhi. Dunia usaha tak akan bisa tumbuh sehat dengan hanya mengandalkan kolusi. Jadi, tetap harus profesional,” kata Wakil Bendahara Umum PAN ini.
Berbeda dengan Asri, caleg Partai Demokrat dari dapil Bali yang juga pengusaha, Putu Supadma Rudana, mengaku menjadi anggota DPR dan menjadi caleg pada Pemilu 2019 murni mengabdi masyarakat. ”Ini untuk memenuhi kepuasan batin karena kalau kepuasan lahiriah dalam bentuk materi, itu sudah cukup,” katanya.
Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Kadir Karding menilai sikap pragmatis partai dan sebagian masyarakat yang juga masih pragmatis mendorong partai memilih figur dari luar partai, seperti pengusaha atau artis, untuk menjadi caleg partai daripada kader partai sendiri.