JAKARTA, KOMPAS - Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Kementerian Perhubungan menawarkan kerja sama pembangunan Bandara Komodo di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, ke swasta. Penawaran melalui skema kerja sama pemerintah dan badan usaha atau KPBU itu diharapkan jadi alternatif pendanaan pembangunan infrastruktur.
Penawaran disampaikan di Jakarta, Selasa (25/9/2018). Investasi proyek Bandara Komodo mencapai Rp 3 triliun. Dana itu dibagi untuk alokasi belanja modal Rp 1,17 triliun dan biaya operasional Rp 1,83 triliun.
Pelaksana Tugas Deputi Bidang Perencanaan Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal, Wisnu Wijaya Soedibjo mengatakan, skema KPBU dipilih karena keterbatasan anggaran pendapatan dan belanja negara. Pengalaman swasta juga jadi pertimbangan.
Direktur Bandar Udara Kementerian Perhubungan, Polana B Pramesti menambahkan, pengembangan Bandara Komodo terkait dengan Labuan Bajo yang jadi salah satu kawasan strategis pariwisata nasional. Salah satu pengembangannya adalah penambahan panjang landasan pacu dari 2.250 x 45 meter menjadi 2.450× x 45 meter.
"Panjang landasan ditambah 200 meter. Ada perluasan parkir pesawat menjadi delapan, pengaspalan, dan peningkatan jumlah penumpang dari 500.000 menjadi satu juta per tahun," ucap Polana.
Rute penerbangan Bandara Komodo juga akan terhubung ke mancanegara yaitu Kuala Lumpur, Singapura, Darwin, dan Perth. Dengan melayani rute mancanegara maka akan dibangun terminal internasional dengan luas 5.343 meter persegi.
Alokasi Risiko
Dalam skema KPBU ada pembagian risiko antara pemerintah dan swasta. PT Penjamin Infrastruktur Indonesia (PII) menjadi penjamin pemerintah dalam proyek ini. PII melihat potensi dan prospek dari investasi Bandara Komodo serta kelayakan dan keminatan swasta.
Direktur Utama PII Armand Hermawan mengatakan, pemerintah memegang risiko pembebasan lahan dan urusan administrasi. Sedangkan swasta memegang risiko pengembangan infrastruktur dan layanan. Pembagian risiko berarti berbagi efisiensi pengelolaan proyek sehingga adanya rasa aman pada investor.
Skema KPBU memungkinkan pembentukan konsorsium untuk pendanaan proyek ini. Konsorsium membuat perseroan sendiri dan akan bertransaksi untuk tender proyek. Pemerintah memberikan konsensi proyek dengan jangka waktu 25 tahun.
"Masa konsensi hingga 2045 dengan nilai Rp 5,84 triliun. Target tanda tangan kontrak pada desember dan penuntasan keuangan pada semester I-2019. Konstruksi dan operasional berjalan bersama pada semester II-2019," ucap Armand.
Direktur Pengembangan Bisnis PT Cardig Aero Services Group, Hotasi Nababan mengatakan, investror mendukung pengembangan potensi pariwisata di Indonesia. Investor akan mempelajari dengan saksama skema KPBU proyek ini. Akan ada konsultasi dan diskusi untuk melihat skema ini.
Dorong kerja sama
Sementara Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan, pihaknya terus mendorong BUMN dan swasta untuk melakukan kerja sama dengan pemerintah mengoperasikan aset-aset milik negara. Saat ini sudah ada enam bandara yang sudah dilakukan kerja sama pemanfaatan aset dengan PT Angkasa Pura I (Persero) dan PT Angkasa Pura II (Persero). Sedangkan untuk pelabuhan juga sudah ada dikerja samakan dengan swasta.
"Kami tidak memilih, apakah BUMN ataukah swasta. Sepanjang penawaran yang diberikan baik, maka dia yang boleh mengelola aset negara. Saat ini swasta yang mengajukan diri untuk mengelola aset bandara atau pelabuhan sudah banyak. Kami pun menawarkan aset yang mempunyai kelayakan ekonomi menarik bagi swasta. Misalnya trafik penumpang dan barangnya tinggi," ujar Budi Karya.
Dalam kerja sama itu, pemerintah memberikan aset yang memiliki potensi komersial tinggi, dengan konsesi 20-30 tahun untuk bandara. Selama masa konsesi itu, badan usaha harus membangun fasilitas aset tersebut, dan menyerahkan seluruh fasilitas itu ke negara setelah masa konsesi selesai.
Dengan menyerahkan aset negara untuk dikelola, anggaran pemerintah yang selama ini untuk membangun bandara atau pelabuhan itu bisa digunakan untuk membangun infrastruktur lain di daerah terluar, terdepan, dan tertinggal.