BANDA ACEH, KOMPAS — Badan Penanggulangan Bencana Aceh akhirnya membunyikan sirene tsunami sebulan sekali setiap tanggal 26. Selain memastikan alat itu berfungsi dengan baik, juga untuk memperkuat kesiapan warga menghadapi bencana. Selama ini, alat itu tidak dibunyikan karena dikhawatirkan timbul trauma pada warga korban.
Kepala Bidang Kesiapsiagaan Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) Bobby Syahputra, Rabu (26/8/2018) di Banda Aceh, mengatakan, pemilihan tanggal 26 untuk mengenang bencana gempa dan tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004. Peristiwa itu diharapkan menjadi pelajaran penting untuk membentuk warga tangguh bencana.
Rabu, enam sirene di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar dibunyikan secara serentak pada pukul 10.00 selama enam menit. Bunyi sirene menjangkau radius 2 kilometer. Dua tower di Kecamatan Lhoknga dan Kecamatan Baiturrahman, Aceh Besar, tidak berfungsi dengan baik. Sementara empat tower lain yang terletak di Lam Awe (Aceh Besar), Lamprit, Lampulo, dan Blang Oi (Banda Aceh) berfungsi normal.
Bobby menyebutkan, membunyikan sirene tsunami merupakan komitmen pemerintah untuk membangun kesiapsiagaan pada warga. Meski demikian, sebelumnya pemerintah tidak mau membunyikannya dengan dalih menimbulkan trauma pada warga korban, padahal alat itu sudah dibangun sejak 2008.
”Pada saat pertama dibunyikan, masih ada warga yang panik, tetapi nanti warga akan terbiasa. Jika bunyi pada tanggal 26, itu uji coba. Namun, jika di luar itu, perlu waspada,” ujar Bobby.
Ia menambahkan, Aceh masih kekurangan tower tsunami. Aceh memiliki tujuh tower sirene tsunami, 3 unit di Banda Aceh, 3 unit di Aceh Besar, dan 1 unit di Aceh Barat. ”Kami telah mengusulkan kepada BMKG untuk penambahan,” kata Bobby.
Desa tangguh
Langkah lain membangun warga siaga bencana, lanjut Bobby, memperbanyak desa tangguh bencana dan sekolah siaga bencana. Saat ini, baru di Banda Aceh, Aceh Besar, dan Aceh Barat yang memiliki desa tangguh bencana. Desa tangguh bencana memilik standar manajemen penanganan bencana di tingkat desa hingga tingkat keluarga. Desa tangguh bencana, menurut Bobby, membentuk warga lebih mandiri saat menghadapi bencana.
Dosen Ilmu Kebencanaan Universitas Syiah Kuala, Nazli Ismail, menuturkan, daya tahan menghadapi bencana pada warga Aceh harus terus diperkuat dengan berbagai cara. Salah satu sisi yang penting, ujarnya, menerapkan pendidikan kebencanaan di sekolah. Saat ini qanun/perda pendidikan kebencanaan baru selesai penyusunan draf.
Melalui pendidikan, lanjut Nazli, sejarah gempa dan tsunami terus terawat hingga generasi selanjutnya. ”Jangan sampai anak cucu kita menganggap tsunami hanya dongeng semata,” katanya.