Isu SARA dan Hoaks Masih Berpotensi Muncul dalam Kampanye
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Isu suku, agama, ras, dan antargolongan serta berita bohong atau hoaks masih berpotensi muncul dalam kampanye Pemilihan Umum Presiden 2019. Hal ini tidak terlepas dari kuatnya dampak dari isu ini dan masyarakat yang cenderung mudah terbawa serta tergiring isu yang belum jelas akan kebenarannya.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) resmi membuka kampanye Pemilu 2019 sejak 23 September 2018 hingga 13 April 2019. Minggu (23/9/2018) lalu, penyelenggara dan peserta pemilu juga telah mendeklarasikan pemilu damai serta berkomitmen tidak menggunakan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) serta berita bohong dalam berkampanye.
Namun, Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid menilai isu SARA, berita bohong atau hoaks, fitnah, dan ujaran kebencian masih berpotensi muncul dalam kampanye.
Menurut Yenny, calon presiden nomor urut satu, Joko Widodo, masih akan diisukan sebagai keturunan atau bagian dari Partai Komunis Indonesia seperti saat Pilpres 2014. Adapun capres nomor urut dua, Prabowo Subianto, kemungkinan diisukan akan membangun negara dengan sistem khilafah.
”Dua isu ini sebenarnya sangat tidak berdasar. Jadi, saya harap masyarakat tidak menyebarkan hoaks dan fitnah, tetapi fokus melihat pada kinerja atau program yang akan dibawa kedua paslon,” ujar Yenny di Jakarta, Senin (24/9/2018).
Meski isu SARA dan hoaks selalu menggunakan pola yang sama, Yenny menyatakan, masyarakat tetap akan mudah terbawa isu tersebut. Pasalnya, tidak semua masyarakat Indonesia memiliki edukasi yang baik dalam menerima informasi, khususnya isu SARA dan hoaks. Ini juga yang membuat masyarakat sangat mudah tergiring dan terpengaruh isu tersebut.
Oleh karena itu, Yenny menegaskan kepada seluruh pendukung pasangan presiden agar tidak membawa isu primordial, etnis, ataupun agama. Hal ini karena dapat berdampak meningkatkan intoleransi dan memunculkan radikalisme.
”Kalau kita tidak berhati-hati akan menciptakan sekat-sekat di masyarakat sehingga intoleransi akan meningkat. Jika sudah meningkat, potensi konflik sesama warga juga akan muncul sehingga mengancam persatuan dan kesatuan bangsa,” kata Yenny.
Meningkat
Berdasarkan survei dari Lembaga Survei Indonesia pada 1-7 Agustus 2018, terjadi peningkatan intoleransi sejak 2016 hingga saat ini. LSI mencatat, masyarakat Muslim cenderung makin intoleran terhadap non-Muslim dalam hal politik.
Dari hasil survei tersebut, 59 persen masyarakat Muslim keberatan jika non-Muslim menjadi presiden. Sementara 32 persen lainnya menjawab tidak keberatan dan 9 persen tidak menjawab.
Angka tersebut mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Pada 2017, masyarakat Muslim yang keberatan jika non-Muslim menjadi presiden sejumlah 53 persen. Sementara 37 persen lainnya menjawab tidak keberatan dan 10 persen tidak menjawab.
Jumlah responden dalam survei ini 1.250 orang. Mereka yang diwawancara merupakan WNI yang sudah berumur 17 tahun atau sudah menikah. Survei ini menggunakan metode random sampling dengan tingkat margin of error lebih kurang 2,6 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
”Isu intoleransi dan kebebasan sipil ini yang turut membuat ranking demokrasi kita menurun. Salah satu ukuran kebebasan sipil adalah seberapa jauh warga apa pun latar belakang sosial, politik, agama, ataupun etniknya itu mendapat hak yang sama berkontestasi secara politik,” ujar Peneliti Ssenior LSI Burhanuddin Muhtadi.
Burhan menilai peningkatan angka intoleransi ini disebabkan beberapa elite partai politik tidak melakukan suatu cara atau formula untuk melawan intoleransi tersebut. Bahkan, Burhan menyatakan bahwa beberapa elite partai sengaja mengakomodasi isu SARA yang berkembang di masyarakat.
”Beberapa elite partai politik tidak melakukan satu kegiatan atau formula untuk melawan intoleransi yang makin meningkat, tetapi justru makin mengakomodasinya,” ujar Burhan.
Burhan mencontohkan, terpilihnya Ma’ruf Amin sebagai pendamping Joko Widodo dalam Pilpres 2019 juga menjadi kenyataan terdapat peningkatan yang luar biasa terhadap Islamisme. Baik pendukung maupun lawan juga tidak merespons hal ini secara berlebihan karena karena dapat mengganggu kepentingan elektoral mereka.