JAKARTA, KOMPAS – Pembukaan jalan perbatasan di Kalimantan dan Papua masih menjadi fokus pemerintah. Selain untuk meningkatkan konektivitas antar wilayah, ekonomi masyarakat dapat bertumbuh.
Total panjang jalan perbatasan di Kalimantan, Nusa Tenggara Timur, dan Papua adalah 3.096,76 kilometer. Dari jumlah itu, yang belum tembus adalah 185 km di Kalimantan dan 189 km di Papua. Sementara, rincian kondisi jalan yang sudah tembus adalah 672 km berupa aspal, 900,83 km berupa agregat, dan 1.497,25 km dalam kondisi sudah terbuka (land clearing).
Dari sisi pendanaan, sejak 2015 sampai 2018, pemerintah telah menganggarkan Rp 3,151 triliun untuk pembukaan jalan di perbatasan Kalimantan. Untuk di perbatasan Papua, pemerintah telah menghabiskan Rp 723 miliar. Sementara, untuk jalan perbatasan di Nusa Tenggara Timur sepanjang 179,63 km, kini seluruhnya sudah dalam kondisi beraspal dengan anggaran sekitar Rp 1,2 triliun.
“Fungsi infrastruktur jalan di sepanjang perbatasan adalah meningkatkan konektivitas antar wilayah, membuka aksesibilitas, dan mobilitas masyarakat. Di beberapa perbatasan telah dilengkapi pasar. Jadi ekonomi mulai tumbuh adanya perdagangan lokal yang sifatnya konsumtif. Tentu suatu saat akan berkembang dari perdagangan skala kecil ke menengah,” kata Direktur Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Sugiyartanto, dalam jumpa pers, Kamis (20/9/2018), di Jakarta.
Dengan selesai dan tersambungnya jalan perbatasan di NTT, kini fokus pemerintah adalah menyambung jalan perbatasan di Kalimantan dan Papua. Di Kalimantan, jalan yang belum terbuka berada di Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Utara. Sementara, di Papua, jalan perbatasan yang masih belum tersambung adalah antara Oksibil dengan Jayapura.
Menurut Sugiyartanto, pembukaan jalan di perbatasan melibatkan TNI. Setelah jalan terbuka, tahap berikutnya adalah jalan diperkeras. Namun demikian, tidak semua jalan perbatasan akan diaspal. Sebab, kondisi kemiringan jalan masih terlalu besar juga memerlukan penurunan kemiringan terlebih dahulu. Seperti di Papua, sekitar 189 km antara Jayapura-Oksibil yang belum tersambung berada di medan yang sulit berupa pegunungan dan hutan yang tidak mudah ditembus. Pengaspalan akan dilakukan jika sudah banyak penduduk dan ada fasilitas umum di sana.
“Rencananya, yang penting dapat terbuka dulu. Lalu supaya jalan tetap terbuka atau tidak menghutan kembali, maka bisa menggunakan bahan-bahan tertentu supaya tanahnya tetap keras. Jika sudah ada jalan, harapannya ada dampak berganda,” kata Sugiyartanto.
Untuk Papua, pembangunan jalan perbatasan dilakukan paralel dengan pembangunan jalan Trans Papua. Di sana, pembangunan jalan lebih diperuntukkan agar suplai logistik ke wilayah pegunungan tengah Papua lebih lancar. Untuk itu, pemerintah telah membuka jalur Jayapura-Wamena. Dari sisi selatan, dibangun jalur dari Mumugu ke Wamena. Untuk membuka jalan baru, diperlukan biaya sekitar Rp 5 miliar sampai Rp 7 miliar per kilometernya.
Secara terpisah, peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus berpendapat, program pembangunan infrastruktur dasar berupa jalan perbatasan merupakan kebijakan yang positif. Dengan demikian, sebuah wilayah akan terbuka.
Namun demikian, untuk mendorong perkembangan ekonomi, pembangunan infrastruktur tersebut perlu diikuti dengan pembangunan sumber daya manusia, berupa pendidikan dan pemberian keterampilan. Dengan demikian masyarakat setempat akan siap jika kemudian ada investasi masuk. Di sisi lain, pemerintah bisa mendorong proses hilirisasi suatu komoditas, semisal membangun pabrik pengolahan kelapa sawit di perbatasan Kalimantan. Dengan demikian, perdagangan dengan negara tetangga bisa tercipta dan masyarakat di perbatasan mendapatkan manfaat yang maksimal.