Terkait Perekrutan CPNS, Guru Honorer Jangan Ditinggal Begitu Saja
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan perekrutan calon pegawai negeri sipil yang segera dibuka pemerintah dinilai tidak memberikan keadilan bagi para honorer yang telah lama bekerja. Sebagian besar tenaga honorer, terutama guru dan tenaga kependidikan, terganjal ikut tes calon pegawai negeri sipil 2018 karena ketentuan batas usia maksimal 35 tahun.
Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi di Jakarta, Kamis (20/9/2018), mengatakan, PGRI terus memperjuangkan keadilan bagi para guru honorer. Pimpinan PGRI di pusat berhasil bertemu Menteri Sekretaris Negara Pratikno untuk menyampaikan masukan soal pengangkatan CPNS untuk guru.
”Kami sedang berupaya melobi untuk bisa bertemu Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang baru. Intinya, PGRI memperjuangkan keadilan bagi para guru honorer agar jangan ditinggalkan begitu saja dalam perekrutan CPNS,” kata Unifah.
Untuk memenuhi kekurangan guru PNS, pemerintah membuka lowongan CPNS untuk 100.000 guru. Lowongan terbuka bagi guru honorer ataupun calon dari jalur umum. Ternyata, dari data honorer yang ada, hanya sedikit guru honorer yang dapat ikut tes karena terganjal usia yang maksimal 35 tahun.
Menurut Unifah, para guru honorer yang mengabdi lama merasakan perlakuan tidak adil. Kejelasan status mereka menjadi tidak jelas. ”Mau ikut jadi CPNS terganjal usia. Terus mau diangkat jadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja atau P3K juga belum ada dasar hukumnya,” ujar Unifah.
Unifah mengatakan, untuk menyikapi perkembangan yang tidak kondusif, Pengurus Besar PGRI menyampaikan usulan penyelesaian tenaga honorer, khususnya honorer guru dan tenaga kependidikan.
”Kami minta pendaftaran CPNS ditunda jika belum ada instruksi presiden atau peraturan pemerintah soal P3K. Jika peluang guru honorer di CPNS tidak bisa ditawar, harus ada solusi yang pasti dalam pengangkatan P3K,” kata Unifah.
Sekretaris Jenderal PB PGRI M Qudrat Nugraha mengatakan, PGRI menghargai ketentuan yang berlaku, yakni Undang-undang Aparatur Sipil negara (ASN), yang membatasi usia pelamar. Namun, dengan melihat realitas kekurangan guru yang bertahun-tahun sehingga ruang kelas banyak diisi guru honor, seharusnya ada penghargaan negara atas dedikasi dan pengabdian mereka dalam mendidik dan mencerdaskan anak bangsa.
”Kami mengharapkan ada kebijakan dan regulasi yang melindungi para guru honorer,” ujar Qudrat.
Unifah mengatakan, PGRI sedang memperjuangkan supaya untuk guru ada perpanjangan batas usia perekrutan sebagai CPNS dari maksimal 35 tahun menjadi maksimal 45 tahun. Jika kebijakan ini tidak bisa dilakukan dengan pertimbangan UU ASN, kepada para guru honorer kategori 1 (dibayar dengan APBN) yang masih tercecer, serta Kategori 2 (dibayar dengan APBD) bisa diangkat sebagai P3K.
PGRI berharap agar segera diterbitkan peraturan pemerintah tentang pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K) bagi honorer yang berusia 35 tahun ke atas.
”Aturan dalam P3K disederhanakan dengan melakukan perjanjian kerja hanya sekali yang berlaku sampai dengan yang bersangkutan pensiun, seleksi bersifat administratif, memperoleh jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan, serta memperoleh kesempatan mengikuti sertifikasi guru dan bagi yang sudah sertifikasi, sertifikatnya diakui untuk tunjangan profesi guru,” kata Unifah.
Unifah menegaskan, PGRI adalah mitra strategis pemerintah dan pemerintah daerah. Karena itu, PGRI siap bersama-sama pemerintah memikirkan, mendiskusikan, dan mencari jalan keluar berbagai persoalan pendidikan, guru, dan tenaga kependidikan.
”PGRI percaya pemerintah memikirkan dan merumuskan jalan keluar yang terbaik untuk menyelesaikan persoalan guru dan tenaga kependidikan honorer,” kata Unifah.
PGRI, ujar Unifah, meminta agar para guru honorer untuk tetap melaksanakan pengabdiannya mendidik siswa dan tidak meninggalkan ruang kelas. Kemuliaan jiwa pendidik menjadi cahaya dan harapan bagi masa depan anak bangsa.
”Semoga usulan ini dapat menjadi solusi yang baik dalam penyelesaian persoalan guru dan tenaga kependidikan honorer,” kata Unifah.