Pembangunan PLTA Batang Toru Rugikan Masyarakat dan Lingkungan Sekitar
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Batang Toru, Sumatera Utara, dipandang dapat merugikan masyarakat sekitar dan merusak lingkungan. Wilayah tersebut merupakan kawasan rawan gempa dan menjadi habitat orangutan Tapanuli yang sudah terancam punah.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Kamis (20/9/2018), berharap, izin pembangunan PLTA tersebut dicabut sehingga proyeknya dibatalkan. Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Utara Dana Prima Tarigan mengatakan, PLTA itu dibangun di kawasan berstatus areal penggunaan lain (APL) dan akan berdampak pada kawasan hutan lindung.
”Apabila aliran sungai dibendung selama 18 jam dan dilepaskan selama 6 jam untuk menggerakkan turbin, maka dapat mengakibatkan terjadinya genangan di kawasan hutan lindung karena lokasinya berdekatan,” kata Dana dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (20/9/2018).
Dana mengatakan, proyek tersebut telah merugikan masyarakat dan membahayakan lingkungan sekitar. Selama sungai dibendung akan terjadi kekeringan di wilayah hilir selama 18 jam. Ketika bendungan tersebut dibuka, akan terjadi banjir akan karena tekanan yang besar.
Pengajar Sistem Informasi Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara, Jaya Arjuna, mengatakan, bendungan itu akan dibangun di kawasan rawan gempa. ”Setiap hari ada getaran kecil dan ketinggian jalan selalu menurun,” kata Jaya.
Lokasi tersebut berdekatan dengan sesar besar Sumatera yang terkenal sebagai pusat gempa bumi. Wilayah tersebut telah mengalami gempa sebanyak 60 kali dengan kekuatan 3,5 skala Richter ke atas dalam radius 25 kilometer dari bendungan.
Pada 2008, pernah terjadi gempa dengan kekuatan 6,0 SR dengan jarak 4,1 kilometer dari lokasi rencana pembuatan bendungan. Jaya mengatakan, apabila bendungan tersebut dibangun dan terjadi gempa bumi, maka akan mengakibatkan banjir bandang di wilayah tersebut.
Pembangunan ini juga merugikan masyarakat sekitar. Selain kehilangan tanah karena dibeli secara paksa, mereka juga kehilangan lapangan pekerjaan. Jaya menuturkan, sebagian besar penduduk bekerja sebagai nelayan dan petani.
Sebagian besar masyarakat telah kehilangan lahan pertanian. Ketika bendungan tersebut selesai dibangun, para nelayan kehilangan tangkapan ikan karena biota air akan mati ketika sungai mengering. Jaya menambahkan, jalur tersebut juga sering digunakan para nelayan menuju ke laut.
Saat ini, sejumlah masyarakat juga mengeluhkan cara pembebasan tanah yang menggunakan intimidasi. Koordinator Tim Advokasi Walhi Sumatera Utara, Golfrid Siregar, menceritakan, lahan yang dibeli oleh pengembang yaitu berkisar Rp 2.000 hingga Rp 80.000 per meter persegi.
Ia mengatakan, masyarakat tidak pernah diberikan pemahaman akibat dari pembangunan PLTA tersebut. ”Beberapa orang ada yang terpaksa menjual tanahnya karena ditakut-takuti. Apabila tidak mau menerima uang ganti rugi, maka mereka diminta mengambil uangnya di pengadilan,” tutur Golfrid.
Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan Walhi Dwi Sawung menambahkan, pembangunan PLTA di Sumatera Utara itu tidak tepat karena tidak sesuai dengan pertumbuhan ekonomi dan konsumsi di wilayah tersebut.
”Pemerintah telah menyatakan, pasokan listrik di Sumatera surplus sehingga pembangunan PLTA baru tidak diperlukan lagi,” kata Dwi.
Tidak jauh dari lokasi pembangunan PLTA Batang Toru sudah ada pembangkit listrik dengan tenaga panas bumi. Ia memperkirakan harga jual listrik dari pengelola PLTA Batang Toru, yaitu PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE), sangat mahal.
PT PJB adalah salah satu anak perusahaan dari PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang juga memegang saham di PT NSHE. Harga jual listriknya sebesar 0,12 dollar AS per kWh. Dwi membandingkan dengan pembangkit listrik lainnya, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Cirebon dan PLTA Poso, harga yang ditawarkan PLTA Batang Toru termahal.
Merusak lingkungan
Selain merugikan masyarakat, pembangunan PLTA Batang Toru juga dapat merusak lingkungan sekitar. Dana mengatakan, pengelola telah membuka jalan besar yang sebelumnya hanya jalan setapak yang digunakan oleh petani.
”Kami menduga ada pengambilan kayu secara ilegal sehingga mengganggu habitat orangutan,” kata Dana.
Ketua Forum Konservasi Orangutan Sumatera Kusnadi Oldani mengatakan, wilayah yang dibangun PLTA Batang Toru merupakan habitat orangutan Tapanuli yang mulai langka dan terancam punah. ”Saat ini hanya tersisa 800 orangutan Tapanuli,” kata Kusnadi.
Orangutang Tapanuli menyebar di beberapa titik. Apabila bendungan tersebut dibuat, mereka akan sulit untuk bertemu dengan orangutan yang tidak sedarah. Ia menjelaskan, agar sebuah spesies tetap lestari untuk jangka panjang, maka dibutuhkan 500 ekor di satu wilayah.
Untuk saat ini, jumlah mereka di satu wilayah kurang dari 500 ekor. Apabila mereka sulit bertemu dengan orangutan di wilayah lain karena adanya bendungan, mereka akan melakukan perkawinan sedarah.
Perkawinan tersebut akan menghasilkan keturunan yang tidak normal. ”Keturunan dengan perkawinan sedarah biasanya tidak dapat bertahan hidup lama sehingga akan cepat punah,” tutur Kusnadi.
Orangutan Tapanuli merupakan kera besar yang paling langka di dunia dan hanya terdapat di Tapanuli. Selain orangutan, kawasan ini juga dihuni hewan langka lain, seperti harimau sumatera dan trenggiling.