Jalan Berdaya dari Wedang Uwuh dan Keripik
Mulyatinah (48) menunjukkan ratusan plastik kecil yang masing-masing berisi jahe, cengkeh, secang, daun pala, dan daun kayu manis. Ke dalam setiap plastik itu, ia lalu menambahkan gula batu yang telah dipotong kecil-kecil.
“Sore ini saya harus nyiapkan 300 bungkus. Mau dikirim ke Bekasi,” ungkap warga Desa Girirejo, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, itu.
Jumat (31/8/2018) siang itu, Mulyatinah sedang meracik bahan-bahan untuk membuat wedang uwuh, minuman tradisional khas wilayah Imogiri. Dalam bahasa Jawa, wedang berarti minuman, sementara uwuh bermakna sampah. Nama wedang uwuh disematkan karena tampilan daun-daun kering untuk meracik minuman itu sepintas mirip sampah. Namun, soal rasa, tentu saja minuman ini tak mirip dengan sampah.
Berdasarkan sejumlah cerita, pembuatan wedang uwuh pertama kali berkembang di sekitar makam Raja-raja Mataram di Imogiri. Konon, awalnya wedang uwuh diracik dari tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitar makam tersebut. Namun, karena disukai banyak pihak, pembuatan wedang uwuh kemudian berkembang dan tidak lagi hanya mengandalkan tumbuh-tumbuhan di sekitar makam Raja-raja Mataram.
Pembuatan wedang uwuh pertama kali berkembang di masa raja-raja Mataram
Racikan wedang uwuh biasanya dijual dalam bentuk bahan mentah, seperti yang tengah dikemas Mulyatinah siang itu. Untuk bisa menikmatinya, bahan-bahan mentah itu tinggal dicuci, jahenya dikupas dan dipukul-pukul, lalu semua bahan itu diseduh dengan air mendidih.
“Harga satu bungkus racikan wedang uwuh itu Rp 2.000,” kata Mulyatinah yang yang mengaku bisa memproduksi lebih dari 1.000 bungkus racikan wedang uwuh setiap bulan itu.
Selain Mulyatinah, masih banyak warga Desa Girirejo yang menjadi produsen racikan wedang uwuh. Saat ini, Girirejo bahkan menjadi sentra pembuatan wedang uwuh karena banyak masyarakat desa itu yang sehari-hari memproduksi racikan minuman tersebut. Kondisi itulah yang membuat wedang uwuh akhirnya dipilih sebagai salah satu produk unggulan Desa Girirejo untuk dikembangkan dengan program Global Gotong Royong (G2R) Tetrapreneur.
Model Tetrapreneur
Program G2R Tetrapreneur merupakan model pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan Pemerintah Daerah (Pemda) DIY dengan bantuan tenaga ahli dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Program itu bertujuan mengembangkan gerakan wirausaha berkelanjutan dengan berbasis empat pilar, yaitu rantai wirausaha, pasar wirausaha, kualitas wirausaha, dan merek wirausaha. Dari gerakan wirausaha itu, diharapkan tercipta peningkatan kesejahteraan masyarakat di desa.
Program G2R Tetrapreneur dilaksanakan secara bertahap mulai awal tahun 2018. Tahap pertama adalah pengembangan rantai wirausaha yang mencakup pembentukan tim G2R Tetrapreneur di desa serta pemilihan produk unggulan yang akan dikembangkan.
Penetapan produk unggulan itu harus memperhatikan sejumlah aspek. Salah satu yang terpenting adalah seluruh tahapan pembuatan produk itu, dari penyediaan bahan baku, pengolahan, pengemasan, hingga distribusi, harus bisa dilakukan secara swadaya oleh masyarakat di desa tersebut. Ini berarti, bahan baku untuk membuat produk unggulan itu harus tersedia di desa tersebut dan seluruh proses produksi juga dilakukan di desa.
Ketua Tim G2R Tetrapreneur Desa Girirejo, Parijan, menuturkan, wedang uwuh memenuhi syarat untuk dikembangkan sebagai produk unggulan karena seluruh proses produksi minuman tersebut bisa dilakukan secara swadaya oleh masyarakat Girirejo. Bahan baku pembuatan racikan minuman itu juga tersedia di wilayah Girirejo.
Parijan menambahkan, selain wedang uwuh, produk unggulan lain di Desa Girirejo yang akan dikembangkan dengan program G2R Tetrapreneur adalah ceriping pisang. Produk itu dipilih karena sejumlah warga Girirejo sudah aktif memproduksi ceriping pisang sejak lama. “Di desa ini juga banyak warga yang menanam pisang sehingga bahan bakunya ada,” ungkapnya.
Menurut Parijan, tim G2R Tetrapreneur Desa Girirejo telah mengembangkan produk wedang uwuh dan ceriping pisang dengan kualitas reguler dan premium. Perbedaan utama antara produk reguler dan premium terletak pada kualitas produknya sekaligus kemasan yang digunakan.
Selain itu, harga produk kualitas reguler dan premium tentu berbeda. Harga satu paket wedang uwuh reguler berisi 6 bungkus racikan adalah Rp 30.000, sementara harga wedang uwuh kualitas premium Rp 40.000 per bungkus. Di sisi lain, harga satu bungkus ceriping pisang reguler ukuran 130 gram adalah Rp 25.000, sementara harga satu bungkus ceriping pisang premium dengan ukuran sama adalah Rp 35.000.
Berdasarkan pendataan tim G2R Tetrapreneur Desa Girirejo, setiap bulan, masyarakat desa tersebut bisa memproduksi 4.000 bungkus wedang uwuh dan 4.000 bungkus ceriping pisang. Namun, saat ini, proses produksi secara massal dengan konsep G2R Tetrapreneur belum dimulai karena dua produk tersebut baru akan diluncurkan secara resmi pada November mendatang.
Parijan memaparkan, nantinya, proses produksi dua produk unggulan itu akan dikoordinir oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Mahanani di Desa Girirejo. Meski begitu, sesuai dengan konsep G2R Tetrapreneur, seluruh proses produksi dan pengolahan kedua produk tersebut akan melibatkan masyarakat.
Berdasar kajian tim G2R Tetrapreneur Desa Girirejo, pembuatan satu bungkus wedang uwuh bisa menyediakan lapangan kerja untuk 10 orang, terdiri dari 4 orang penyedia bahan, 3 orang yang melakukan pengolahan, dan 3 orang yang bertugas mengemas produk itu. Sementara itu, satu bungkus ceriping pisang bisa menyediakan lapangan kerja untuk 7 orang, yakni 1 orang petani, 3 orang pengolah, dan 3 orang tenaga pengemas.
Parijan menambahkan, produk wedang uwuh dan ceriping pisang kualitas premium terutama menyasar hotel, supermarket, dan perusahaan swasta sebagai konsumen. Beberapa waktu lalu, tim G2R Tetrapreneur Desa Girirejo telah mempresentasikan dua produk itu di hadapan perwakilan sejumlah perusahaan di Yogyakarta. Saat ini, proses lobi agar produk-produk tersebut bisa diterima oleh hotel-hotel dan supermarket masih berlangsung.
Ceriping Gadung
Selain di Desa Girirejo, program G2R Tetrapreneur juga dilaksanakan di Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Bantul. Namun, berbeda dengan di Girirejo, produk unggulan yang akan dikembangkan di Desa Wukirsari adalah ceriping gadung dan usaha homestay atau rumah singgah.
Anggota Tim G2R Tetrapreneur Desa Wukirsari, Sri Wahyu Saraswati, menjelaskan, ceriping gadung dipilih sebagai produk unggulan karena tanaman gadung banyak tumbuh secara liar di Wukirsari. Gadung (Dioscore hispida) adalah tanaman merambat yang tumbuh dengan melilit di batang pohon lain. Tanaman ini memiliki umbi yang mengandung racun dan bisa menyebabkan pusing dan muntah bagi yang memakannya.
Namun, Sri menambahkan, apabila diolah dengan tepat, kandungan racun dalam gadung bisa dihilangkan sehingga aman untuk dikonsumsi. “Kenapa gadung yang dipilih? Karena gadung itu potensinya sangat besar di Wukirsari dan banyak masyarakat Wukirsari sudah lama mengolah gadung,” tutur dia.
Sri menuturkan, selama ini, sudah banyak warga Wukirsari, terutama dari kalangan menengah ke bawah, yang mengolah gadung menjadi ceriping. Namun, pemasaran ceriping gadung itu terbatas ke pasar tradisional dan toko-toko kecil. Dengan program G2R Tetrapreneur, produk ceriping gadung dari Wukirsari diharapkan bisa dipasarkan lebih luas sehingga warga yang mengolah gadung di desa tersebut bisa mendapatkan penghasilan lebih. “Tujuan G2R itu kan pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.
Anggota Tim G2R Tetrapreneur Desa Wukirsari lainnya, Rahmad Hidayat, menjelaskan, usaha homestay dipilih menjadi produk unggulan karena usaha tersebut sudah eksis di Wukirsari sejak tahun 2009. Kemunculan homestay di Wukirsari tak bisa dilepaskan dari keberadaan sentra pembuatan batik dan wayang di desa tersebut. Keberadaan sentra batik dan wayang itu menarik minat sejumlah wisatawan untuk datang ke Wukirsari.
Sebagian wisatawan itu juga memutuskan untuk belajar membatik dan membuat wayang sehingga mereka akhirnya membutuhkan tempat penginapan. Kondisi itulah yang kemudian memunculkan usaha homestay di Wukirsari. Saat ini, di desa tersebut ada sekitar 100 homestay yang dikelola oleh masyarakat.
Menurut Rahmad, sebagian homestay di Wukirsari sudah memiliki fasilitas dan pelayanan yang baik. Bahkan, salah satu homestay di desa tersebut meraih penghargaan ASEAN Homestay Award tahun 2017. Namun, sejumlah homestay lainnya belum memiliki standar yang baik. “Ada sejumlah homestay yang sudah memenuhi standar, tapi yang belum standar juga masih banyak,” ujarnya.
Belum selesai
Tenaga Ahli G2R Tetrapreneur dari UGM, Rika Fatimah, menjelaskan, program G2R Tetrapreneur berbeda dengan program pengembangan kewirausahaan lain yang kebanyakan hanya berfokus pada pelatihan pelaku usaha. Dalam kaca mata G2R Tetrapreneur, keberhasilan sebuah usaha tidak hanya bergantung pada pelaku usaha yang berkualitas, tetapi juga pada penciptaan lingkungan dan ekosistem yang mendukung usaha tersebut.
Oleh karena itu, program G2R Tetrapreneur melakukan pengembangan gerakan wirausaha secara holistik, dari hulu hingga hilir. Selain itu, ciri lain dari G2R Tetrapreneur adalah pelibatan berbagai elemen masyarakat dalam program tersebut, bukan hanya warga tertentu yang sudah menjadi pelaku usaha. Pelibatan berbagai elemen masyarakat itu dilakukan dengan berbasis semangat gotong-royong yang sudah tumbuh lama di kalangan masyarakat Indonesia.
“Jadi jangan bergerak-gerak sendiri, harus bergerak bersama dari hulu ke hilir sehingga tercipta lapangan pekerjaan di setiap titik rantai produksi,” ujar Rika yang merupakan perumus konsep G2R Tetrapreneur.
Hingga sekarang, pelaksanaan program G2R Tetrapreneur di Girirejo dan Wukirsari masih jauh dari selesai. Dari empat tahap atau tetra yang harus dilalui, baru tetra pertama yang selesai. Tetra pertama berkait dengan pengembangan rantai wirausaha yang diwujudkan dalam pembentukan tim dan pengembangan produk.
Saat ini, program G2R Tetrapreneur di Girirejo dan Wukirsari tengah memasuki tetra kedua, yakni pengembangan pasar wirausaha. Pengembangan pasar itu dilakukan melalui kerja sama dengan sejumlah pihak untuk memasarkan produk unggulan yang telah dibuat.
Setelah tahapan itu selesai, masih ada tetra ketiga, yakni peningkatan kualitas wirausaha yang bertujuan meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang terlibat dalam program tersebut. Sementara itu, tetra keempat adalah penguatan merek wirausaha yang bertujuan menguatkan merek produk unggulan yang dikembangkan.
Rika mengatakan, program G2R Tetrapreneur di Girirejo dan Wukirsari direncanakan berjalan dalam kurun waktu 3-5 tahun. “Tetrapreneur itu bukan program instan dan mungkin bukan program populer. Jadi, program ini bukan seperti kegiatan CSR (corporate social responsibility atau tanggung jawab sosial perusahaan) yang tiba-tiba membangun fasilitas mewah di desa,” ujar dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM itu.