Impian Korea Bersatu, Angan-angan Belaka
Impian akan Korea bersatu semakin terlihat bagaikan cinta bertepuk sebelah tangan. Impian itu hanya diinginkan oleh rakyat Korea Utara.
Adapun rakyat Korea Selatan semakin menganggap impian itu tidak realistis dan sulit terwujud karena proses yang berbelit-belit serta rumit. Belum lagi mengingat dua negara tetangga itu memiliki ideologi dan kemajuan ekonomi yang jauh berbeda sehingga jurang pemisah keduanya juga kian lebar. Dari urusan memandang posisi dan peran Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un saja, rakyat kedua negara jelas berbeda.
Ri Jin Ryong (16), anggota paramiliter Korut ”Penjaga Pekerja-Petani Merah”, memiliki cita-cita yang mungkin dilihat aneh oleh warga Korsel. Seandainya nanti kedua negara bersatu, ia ingin menyebarkan satu pesan untuk rakyat Korsel. ”Saya akan menyebarkan kisah betapa luar biasa berada di pelukan pemimpin tercinta kami, Kim Jong Un,” ujar Ri saat ditemui kantor berita Reuters di Kebun Binatang Pyongyang, Korea Utara. Ia berada di kebun binatang itu karena mendapat libur satu hari setelah berpartisipasi di parade militer Korut.
Pendapat Ri seragam dengan sejumlah warga yang ditemui di jalan dan diwawancarai. Barangkali hal ini karena wartawan selalu didampingi pegawai pemerintah ke mana pun media pergi. Sulit menemukan pendapat jujur dari warga. Semua mendukung ide penyatuan dan hal itu semakin nyata berkat upaya Kim.
Saya akan menyebarkan kisah betapa luar biasa berada di pelukan pemimpin tercinta kami, Kim Jong Un.
”Di bawah pemimpin tercinta kami, saya yakin unifikasi akan bisa terwujud jika Korut dan Korsel bekerja sama mulai sekarang,” kata Ri Hae Kyong (53), seorang kasir toko.
Penjaga toko kosmetik, Yang Su Jong (27), juga yakin ide penyatuan akan segera terwujud karena Kim sudah membuat Korut menjadi negara dengan kekuatan nuklir yang mumpuni. Bagi warga Korut, Korsel dianggap sebagai keluarga.
”Utara dan Selatan itu satu darah. Sebagai generasi baru, kami ingin hidup dengan saudara kami di Selatan sebagai satu kesatuan. Kami ingin kita semua tinggal bersama dalam pelukan pemimpin kami Kim Jong Un,” kata pelayan di Pyongyang, Song Jin A.
Menjelang pertemuan Kim Jong Un dengan Presiden Korsel Moon Jae-in di Pyongyang, pihak Korut akan kembali menyoroti usulan penyatuan kembali Utara dan Selatan yang terpisah sejak 1940-an. Menurut Guru Besar Studi Korut di Kyungnam University di Seoul, Korsel, Lim Eul-chul, retorika Korut hanya berputar di sekitar ide penyatuan kembali utara dan selatan.
Hal itu bukan karena Korut benar-benar memercayai efektivitas penyatuan, melainkan karena merupakan slogan kuat untuk memberikan pembenaran bagi Pyongyang dalam meningkatkan hubungan utara dan selatan. ”Bagi Korsel, ide penyatuan kembali tidak menarik karena langsung mengingatkan mereka pada beban biayanya,” ujar Lim Eul-chul.
Menurut perkiraan bank sentral Korsel, pendapatan per kapita Korut sebesar 1,46 juta won atau 1.283 dollar AS (Rp 19,1 juta) atau hanya sekitar 4,4 persen dari Korsel. Adapun proyeksi biaya penyatuan kembali sekitar 5 triliun dollar AS. Ongkos ini dikhawatirkan harus ditanggung oleh Korsel.
Harian Rodong Sinmun, Minggu (16/9/2018), melaporkan bahwa Kim Jong Un menyatakan Korsel dan Korut seharusnya merobohkan dinding konflik di antara mereka demi memenuhi tuntutan rakyat agar pemerintah membuka jalur penyatuan kembali.
Satu negeri, dua sistem
Sanksi-sanksi internasional terhadap Korut akibat program nuklirnya membatasi banyak proyek kerja sama dan perdagangan dua Korea itu. Hal ini menghambat upaya meningkatkan hubungan kedua negara. Berdasarkan sejumlah survei yang pernah dilakukan sebelumnya, warga Korut yang pindah ke Korsel lebih mendukung ide penyatuan kembali daripada warga Korsel. Survei pada 2017 yang dilakukan oleh Institut untuk Studi Perdamaian dan Unifikasi di Seoul National University menunjukkan lebih dari 95 persen warga Korut yang meninggalkan negara mereka menilai unifikasi dibutuhkan. Sebaliknya, hanya 53 persen warga Korsel yang menganggap unifikasi perlu diwujudkan.
Selama puluhan tahun, warga Korut mendorong konsep ”satu negeri, dua sistem”, yakni setiap negara tetap mempertahankan sistem pemerintahan masing-masing, setidaknya sampai kedua negara itu bisa bersatu dalam kesepakatan perdamaian. ”Kami paham ada perbedaan antara Utara dan Selatan, terutama dalam hal ideologi, agama, keyakinan, dan kerja sama satu sama lain. Namun, saya juga dulu pernah diajari bahwa penyatuan kembali akan bisa membantu menyelesaikan kesulitan ekonomi kami,” kata seorang warga Korut yang pindah ke Korsel pada 2013.
Setelah pertemuan pertama antara Korsel dan Korut pada 2000, kedua belah pihak sepakat untuk mempertimbangkan ide ”satu negeri, dua sistem”, setidaknya sebagai langkah awal untuk penyatuan Utara dan Selatan. Namun, Institut untuk Pendidikan Unifikasi, salah satu bagian di Kementerian Unifikasi Korsel, menyebutkan, ide Korut untuk federasi yang terdiri dari dua pemerintahan regional dengan perbedaan ideologi dan sistem itu kecil kemungkinan bisa terwujud.
”Retorika Korut terpusat pada penyatuan antarorang. Namun, sebenarnya Korut menganggap penyatuan kedua Korea akan menyelamatkannya dari sanksi internasional. Kalau ada sanksi PBB dan AS, sulit bagi Korsel untuk mengikuti retorika seperti itu,” kata Shin Beom-chul, pengamat di Institut Asan untuk Studi Kebijakan di Korsel.
Sanksi-sanksi internasional yang melarang hampir semua perdagangan dengan Korut menghalangi pertukaran bilateral yang paling mendasar dengan negara-negara tetangganya. (REUTERS)