PAN, PKB, PDI-P, PKS, PPP, dan Partai Nasdem konsisten menjalankan pakta integritas dengan tidak mengajukan bakal caleg eks napi korupsi.
JAKARTA, KOMPAS - Meski Mahkamah Agung membatalkan peraturan Komisi Pemilihan Umum yang melarang pencalonan eks narapidana korupsi, bandar narkoba, dan kejahatan seksual terhadap anak, enam dari sepuluh partai politik yang memiliki kursi di parlemen menyatakan tetap akan mencoret mereka dalam daftar bakal caleg Pemilihan Legislatif 2019. Adapun Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) tetap akan mengajukan eks napi korupsi, bandar narkoba, dan kejahatan seksual terhadap anak sebagai bakal caleg.
Enam partai yang konsisten menjalankan pakta integritas adalah Partai Nasdem, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Adapun Partai Golkar tidak akan mencalonkan eks napi korupsi untuk tingkat DPR, tetapi bakal tetap mempertahankan bakal caleg eks napi korupsi di tingkat provinsi atau kabupaten/kota. Sementara Partai Demokrat belum juga bersikap karena ingin mempelajari putusan MA terkait Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPD serta PKPU No 20/2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD.
Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Johnny G Plate di Jakarta, Senin (17/9/2018), mengatakan, meski ada putusan MA, pihaknya memilih mengacu pada PKPU dan pakta integritas.
”Kami tetap akan mencoret, tetapi bagaimana mekanisme ke depan, apakah posisi yang sudah ditarik itu boleh kami ganti atau dibiarkan kosong? Lalu, bagaimana dengan partai lain?” kata Johnny G Plate.
Berdasarkan pantauan Bawaslu per Juli 2018, ada 17 bakal caleg Partai Nasdem terindikasi eks napi korupsi. Nasdem terbanyak ketiga mengajukan bakal caleg eks napi korupsi setelah Gerindra dan Golkar.
Demikian pula Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan. Ia telah memerintahkan pengurus PAN di seluruh Indonesia menarik bakal caleg bermasalah yang dinyatakan tidak memenuhi syarat oleh KPU karena berstatus eks napi korupsi. Meski ada putusan MA, ujarnya, proses penarikan itu tetap dilanjutkan.
Ketua DPP PDI-P Arif Wibowo mengatakan, putusan MA lebih tepat diterapkan pada Pemilu 2024. ”Bayangkan, dulu orang yang bekas napi korupsi dinyatakan tidak memenuhi syarat sudah dicopot dari daftar bacaleg, diganti dengan orang lain. Sekarang mau dimasukkan lewat pintu mana? Masa yang sudah masuk DCS (daftar calon sementara) mau dibuang lagi?” ujar Arif, yang juga Wakil Ketua Komisi II DPR.
Sementara PKB dan PKS sejak awal menarik dan mengganti lima bakal caleg bermasalah di daerah. Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid mengatakan, PKS tidak akan mengubah keputusan itu dengan mencalonkan lagi bacaleg bermasalah. ”Sekarang bola ada di tangan rakyat. Ketika situasi sekarang seperti ini, silakan rakyat yang menilai dengan bijak,” ujarnya.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon mengatakan, pihaknya akan mengikuti putusan MA dan Undang-Undang Pemilu. Saat ditanyakan terkait nasib bacalegnya yang berstatus eks napi korupsi dan belum dicoret, seperti Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta M Taufik yang mencalonkan diri lagi di Pemilu 2019, ”Kalau UU membolehkan, kita tidak boleh menghilangkan hak orang untuk dipilih,” kata Fadli.
Diapresiasi
Komitmen partai untuk menarik bakal caleg eks napi korupsi akan menentukan kualitas Pemilu 2019. ” Kami mengapresiasi dan masyarakat juga senang ada pimpinan parpol yang berkomitmen untuk menarik bacaleg bekas napi korupsi,” kata Anggota KPU RI, Viryan Azis.
Dalam rapat pleno KPU Senin siang, putusan MA sempat dibahas, termasuk implikasi teknis terhadap proses pencalonan dan penetapan caleg. Putusan MA ini atas permohonan Lucianty dan Jumanto, bakal caleg eks napi.
Dalam kesempatan berbeda, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari menyampaikan, PKPU No 20/2018 tidak dapat diuji di MA apalagi diputuskan perkaranya. Itu karena Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sedang diuji perkaranya di Mahkamah Konstitusi.