Pembangunan Infrastruktur Butuh Kolaborasi Pemerintah dan Swasta
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
Selama beberapa tahun terakhir, logo perusahaan dengan ”nama belakang” Karya, seperti PT Wijaya Karya, PT Adhi Karya, dan PT Waskita Karya, berseliweran di beberapa proyek pemerintah. Tak dapat dimungkiri, perusahaan badan usaha milik negara (BUMN) kerap mendominasi pengerjaan proyek-proyek itu.
Kepala Kajian Makro Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) Febrio Kacaribu seusai diskusi publik ”Infrastruktur Jokowi: Pembiayaan dan Dampak” yang diselenggarakan Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni UI) di Jakarta, Kamis (13/9/2018), mengatakan, dominasi perusahaan BUMN terjadi selama ini demi alasan kepraktisan.
”Dalam proyek tol, misalnya, perusahaan yang ditunjuk biasanya yang telah banyak pengalaman di bidang tersebut. Ada perusahaan dari Korea Selatan ataupun Jepang yang bisa, tetapi biasanya sedikit lebih mahal,” kata Febrio.
Kebutuhan dana untuk infrastruktur nasional mencapai Rp 4.769 triliun selama 2015-2019. Pembagiannya adalah 41,3 persen berasal dari pemerintah pusat atau daerah, 22,2 persen dari BUMN atau badan usaha milik daerah (BUMD), dan 36,5 persen dari swasta.
Kebutuhan dana untuk infrastruktur nasional mencapai Rp 4.769 triliun selama 2015-2019.
Belakangan, kesadaran agar swasta ikut serta dalam proyek akhirnya semakin terlihat. Hal itu lantaran pembangunan infrastruktur membutuhkan dana yang tidak sedikit. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) semata tak akan cukup untuk menutupi kebutuhan yang ada.
Dosen Senior Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UI, Hotbonar Sinaga, mengatakan, terdapat tiga jenis infrastruktur sehingga pembiayaan dan pengelolaannya memiliki perlakuan berbeda.
Ada infrastruktur yang tidak menguntungkan tetapi diperlukan masyarakat (financially not feasible), seperti bendungan dan pendidikan. Lalu, ada infrastruktur yang menjadi kewajiban pemerintah, seperti jalan tol, bandara, dan pelabuhan. Kemudian, ada juga infrastruktur komersial, di antaranya kawasan industri dan kilang minyak.
Jenis infrastruktur kewajiban pemerintah dan komersial dapat diwujudkan melalui kolaborasi pembiayaan bersama swasta.
Direktur Pembiayaan dan Investasi PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) Edwin Syahruzad menyampaikan, mengarusutamakan sistem kerja sama antara pemerintah dan badan usaha (KPBU) atau public-private partnership (PPP) merupakan fase ketiga dalam pembiayaan infrastruktur. Dua fase pertama adalah menggunakan anggaran pemerintah serta pinjaman daerah dan BUMN.
Sistem KPBU akan mendiversifikasi sumber pendanaan proyek sehingga menjamin efektivitas fiskal pemerintah. Pada saat bersamaan, terjadi efisiensi dan transfer risiko karena setiap pihak fokus dengan spesialisasi yang dimiliki.
Sistem KPBU akan mendiversifikasi sumber pendanaan proyek sehingga menjamin efektivitas fiskal pemerintah.
Kerja sama di antara ketiga pihak itu biasanya dilakukan melalui sejumlah perusahaan penjamin pembiayaan. Perusahaan-perusahaan itu di antaranya PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) dan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII).
”Proyek KPBU yang dilakukan bersama SMI, misalnya Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Umbulan dan RSUD Sidoarjo di Jawa Timur, serta Palapa Ring,” ujar Edwin.
Direktur Eksekutif Keuangan dan Penilaian Proyek PT PII Salusra Satria menyatakan, dalam skema yang dimiliki PT PII, KPBU memiliki tahapan perencanaan, persiapan, transaksi, dan implementasi.
Proses secara garis besarnya adalah suatu proyek akan diidentifikasi sebagai KPBU. Setelah itu, PII akan melakukan prastudi kelayakan (feasibility study/FS) yang kemudian diikuti proses lelang badan usaha. Pada saat implementasi, PII akan mendampingi PJPK untuk menerapkan rencana mitigasi risiko.
”Kerja sama dengan swasta bisa dilakukan dalam bentuk konsesi,” kata Salusra. Ketika proyek selesai, swasta juga dapat mengelolanya dalam jangka waktu yang telah disetujui bersama pemerintah. Hal itu tentu menekan biaya yang perlu dikeluarkan pemerintah untuk pemeliharaan infrastruktur.
Ketika proyek selesai, swasta juga dapat mengelolanya dalam jangka waktu yang telah disetujui bersama pemerintah untuk menekan biaya pemeliharaan infrastruktur.
Integrasi
Perwakilan dari Tim Ekonomi Gerindra, Harryadin Mahardika, mengatakan, pembangunan infrastruktur perlu direncanakan secara matang. Itu termasuk dengan penjajakan terkait kemampuan proyek infrastruktur tersebut mengangkat ekonomi suatu negara atau daerah.
”Investasi yang berlebihan pada suatu sektor biasanya akan mengorbankan potensi di sektor potensial lainnya,” kata Harryadin. Adapun Gerindra merupakan partai oposisi pemerintah.
Oleh karena itu, pihaknya meminta pemerintah tetap memperhatikan aspek integrasi selama pembangunan infrastruktur. Beberapa di antaranya menghubungkan pembangunan infrastruktur dengan menambah lapangan pekerjaan.
Pemerintah perlu tetap memperhatikan aspek integrasi selama pembangunan infrastruktur.
Pembangunan infrastruktur pada dasarnya turut meningkatkan penciptaan lapangan kerja dan pemerataan pertumbuhan ekonomi. Perekonomian China, misalnya, berhasil tumbuh rata-rata 7 persen setelah selesai membangun infrastruktur secara sektoral, geografis, dan nasional.