Sekitar empat bulan setelah dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Tipikor, Novanto belum melunasi pembayaran uang pengganti senilai 7,3 juta dollar AS.
JAKARTA, KOMPAS Komisi Pemberantasan Korupsi kini tengah memetakan aset milik eks Ketua DPR Setya Novanto untuk keperluan pembayaran uang pengganti sesuai dengan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, dalam perkara pengadaan kartu tanda penduduk elektronik. Hingga saat ini, Novanto baru menyetor Rp 5 miliar dan 100.000 dollar Amerika Serikat sebagai cicilan pembayaran uang pengganti.
Mengacu pada amar putusan yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta, pada 24 April 2018, Novanto tidak hanya divonis 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta. Akan tetapi, eks pimpinan Partai Golkar ini juga wajib membayar uang pengganti sebesar 7,3 juta dollar AS atau setara dengan Rp 66 miliar jika dihitung dengan menggunakan kurs pada 2010 saat yang bersangkutan menerima aliran dana tersebut.
”Terkait dengan uang pengganti yang harus dibayar oleh terpidana kasus korupsi KTP elektronik, yaitu Novanto, memang belum lunas, tapi sudah ada beberapa kali pembayaran. Yang pertama, penitipan uang sebelum penanganan perkara selesai. Lalu, ada pembayaran kedua sebagai cicilan,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, di Jakarta, Minggu (9/9/2018).
Pembayaran pertama sebesar Rp 5 miliar disebutkan di dalam putusan Pengadilan Tipikor Jakarta, sebagai pengurang pembayaran uang pengganti. Uang itu disebut digunakan keponakan Novanto, yaitu Irvanto Hendra Pambudi Cahyo, untuk membayar kekurangan keperluan Rapat Pimpinan Nasional Partai Golkar. Hal ini diakui Novanto dalam sidang dengan agenda pemeriksaan terdakwa. Ia pun meminta istrinya untuk mengembalikan uang dengan jumlah tersebut.
Sementara itu, kewajiban Novanto membayar denda sesuai dengan putusan hakim telah dilunasi. ”Urusan denda sudah selesai. Masih menunggu untuk uang pengganti. Untuk itu, KPK sekarang sedang melihat aset-aset atau dana yang dimiliki oleh Setya Novanto di rekening-rekening yang ada untuk kepentingan pembayaran uang pengganti,” ujar Febri Diansyah.
Berdasarkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang terakhir diserahkan Novanto pada 13 April 2015, bekas politisi Golkar ini memiliki harta kekayaan dengan total Rp 114,76 miliar dan 49,150 dollar AS. Jumlah tersebut terdiri atas kepemilikan 23 aset properti di Jabodetabek dan Kupang yang total nilainya mencapai Rp 81,73 miliar.
Ada pula sebanyak 14 kendaraan roda empat dan 3 motor yang nilai total mencapai Rp 2,3 miliar. Sisanya berupa aset logam mulai senilai Rp 932,5 juta, surat berharga Rp 8,45 miliar, dan giro serta kas senilai Rp 21,29 miliar dan 49,150 dollar AS. KPK menduga, jumlah harta Novanto lebih banyak dibandingkan dengan yang dilaporkan dalam LHKPN dan diperkirakan tersebar hingga di luar negeri.
KPK menduga, jumlah harta Novanto lebih banyak dibandingkan dengan yang dilaporkan dalam LHKPN dan diperkirakan tersebar hingga di luar negeri.
Pencucian uang
Secara terpisah, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo menyampaikan, selain fokus pada pelunasan uang pengganti, KPK juga perlu segera menangani dugaan tindak pidana pencucian uang dan korupsi korporasi yang berasal dari pengembangan perkara Novanto.
”Kalau tidak diperdalam, pengembalian asetnya akan kecil dan merugikan. Sebab, kerugian yang ditimbulkan tidak sebatas yang dinikmati. Terlebih lagi banyak perusahaan yang juga disebut ikut menikmati aliran dana dari proyek identitas penduduk yang merupakan hak mendasar warga ini,” ujarnya.
Perkara ini telah menjerat delapan orang. Lima di antaranya divonis, antara lain mantan pejabat di Kementerian Dalam Negeri Irman dan Sugiharto serta pihak swasta, Andi Agustinus dan Anang Sugiana Sudihardjo. Novanto dan Markus Nari berasal dari kalangan politisi. Hanya saja, hingga saat ini belum ada perkembangan untuk berkas Markus.
Pihak lain yang terjerat kasus KTP-el adalah Irvanto dan Made Oka Masagung, yang kini masih menjalani sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta. Selain pokok perkara, KPK juga menangani kasus lain, yaitu perintangan perkara dan pemberian keterangan tidak benar yang melibatkan Miryam S Haryani, Fredrich Yunadi, dan Bimanesh Sutarjo.