Tragedi Serangan Bom Bus Sekolah Tinggalkan Luka yang Tak Tersembuhkan
Oleh
Elok Dyah Messwati
·4 menit baca
Peristiwa horor itu sudah hampir sebulan berlalu. Namun, kenangannya sulit dihapus dari ingatan Zaid Tayyeb, ayah dari tiga anak korban serangan bom terhadap bus sekolah yang mereka naiki di Provinsi Sa\'ada, Yaman utara, 9 Agustus. Bagi Tayyeb, kehilangan tiga anaknya telah meninggalkan luka yang tidak akan tersembuhkan.
Saat itu, kenang Tayyeb, Ali (9)—salah satu anaknya—memohon agar Tayyeb memberi izin kepada dia dan saudara-saudaranya untuk mengikuti kegiatan kamp remaja Muslim di Yaman utara musim panas ini. Semula Tayyeb berat hati untuk memberi izin kepada anak-anaknya. Ia khawatir akan keselamatan mereka mengingat konflik antara pasukan pemerintah Yaman yang didukung Arab Saudi dan pasukan pemberontak Houthi masih berkecamuk sengit.
Namun, karena anak-anaknya terus meminta, Tayyep pun mengalah dan akhirnya mengizinkan mereka naik bus, apalagi setelah ia ingat ada sekelompok siswa lain kembali dengan selamat setelah menempuh rute yang sama dengan perjalanan yang akan dilewati bus anak-anaknya.
”Ketika saya bangun pagi itu, mereka semua mengenakan pakaian baru. Jadi, saya bertanya kepada mereka, apa yang sedang terjadi, dan saya bertindak seolah saya tidak tahu ke mana mereka akan pergi,” kenang Tayyeb saat ditemui di rumahnya di Dahyan, Provinsi Sa\'ada, wilayah yang dikuasai kelompok Houthi dukungan Iran dan berbatasan dengan wilayah Arab Saudi.
Mereka melambaikan tangan kepada saya dari atas bus, dan saya berkata \'Semoga Allah melindungi kalian\'.
”Mereka tertawa dan mengingatkan saya bahwa kepercayaan tidak boleh diingkari bahwa saya telah berjanji untuk mengizinkan mereka pergi mengikuti tur kelas (pelajaran Al Quran) setelah mereka mendapat nilai tinggi. Mereka memeluk saya erat-erat, lalu naik bus, dan melambaikan tangan kepada saya ketika bus itu menjauh,” lanjut Tayyeb.
”Mereka melambaikan tangan kepada saya dari bus, dan saya berkata \'Semoga Allah melindungi kalian\',” kata Tayyeb.
Lambaian terakhir
Ternyata, itu lambaian tangan terakhir di antara mereka, antara ayah dan anak-anaknya. Tak satu pun dari tiga anak Tayyeb pulang dalam keadaan hidup. ”Saya sudah berbalik dan berjalan mungkin sekitar 100 atau 150 meter ketika bus itu diserang bom,” kata Tayyep.
Tayyeb pun berbalik dan berlari kembali ke arah bus. ”Ada asap dan puing di mana-mana. Saya meraih tubuh pertama yang bisa saya jangkau. Tubuh itu menghadap ke tanah. Ternyata itu anak saya Ahmed yang berumur 10 tahun,” katanya.
Di dinding ruang keluarga di rumah Tayyep tergantung foto ketiga anaknya yang tewas dalam serangan bom itu: Ahmed (10), adik laki-lakinya, Ali (9), dan Youssef yang berusia 13 tahun. Setiap foto disertai dengan tanggal kematian mereka: ”Syahid pada 9/8/2018 dalam pembantaian anak-anak di Dahyan”.
Satu-satunya putra Tayyeb yang masih hidup, Mohammad yang berusia lima tahun, berdiri di bawah foto kakak-kakaknya. Dia mengenakan pakaian militer pemberontak Houthi yang dijahit pas sesuai dengan tubuhnya yang mungil. Mohammad masih terlalu kecil untuk mengambil kelas atau ikut kamp remaja yang akan diikuti kakak-kakaknya itu.
Ia mengatakan, serangan itu telah ”menyebabkan kehancuran”. Namun, belum ada tindakan disipliner yang diketahui publik atau perubahan aturan dalam penanganan krisis di Yaman.
Pemberontak Houthi menuduh koalisi Saudi dengan sengaja menarget anak-anak itu. Koalisi mengatakan, ada target yang sebenarnya mereka incar, tetapi ada kesalahan dalam soal waktu melakukan serangan.
Anak-anak jadi korban
Insiden itu memicu gelombang kemarahan internasional. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) menyerukan penyelidikan yang kredibel dan transparan atas insiden serangan terhadap bus sekolah tersebut.
Menyusul serangan di Dahyan, para pejabat PBB menuduh koalisi pimpinan Arab Saudi juga berada di balik dua serangan udara pada 23 Agustus lalu yang menewaskan sedikitnya 26 anak di kota pelabuhan Hodeida, Yaman selatan. Seperti wilayah Sa\'ada, sebagian besar wilayah Hodeida juga masih dikuasai pemberontak Houthi.
Koalisi pimpinan Saudi, Kamis, mengatakan, penyelidikan atas serangan itu telah menghasilkan temuan ”kemungkinan ada kerusakan yang tak disengaja dan korban sipil”.
Kedua pihak dalam perang Yaman dituduh gagal melindungi warga sipil. Koalisi pimpinan Arab Saudi tahun lalu sudah masuk daftar hitam PBB dalam kasus pembunuhan dan pembantaian anak-anak. Sementara kelompok Houthi dituduh menggunakan perisai manusia dan merekrut tentara anak-anak.
Badan PBB untuk anak-anak, UNICEF, telah lama menyoroti penderitaan anak di bawah umur di Yaman. UNICEF menyatakan, sudah 2.200 anak tewas dalam konflik Yaman tersebut.
Sejak Arab Saudi dan sekutu-sekutunya melakukan operasi militer di Yaman pada Maret 2015, sekitar 10.000 orang telah tewas dalam perang yang telah memicu krisis kemanusiaan itu.
Bagi Tayyeb, tewasnya ketiga anak laki-lakinya itu meninggalkan luka yang tidak akan pernah sembuh. Beberapa minggu setelah pengeboman tragis itu, ia masih terguncang, terutama jika ingat ia harus mengubur ketiga anak laki-lakinya yang masih kecil.
”Mereka cerdas, sopan, bijaksana melebihi umur mereka. Dan sekarang mereka ada di surga...,” kata Tayyep lirih.