Kemampuan Siswa Memaknai Teks Rendah
Literasi tidak sekadar memahami teks, tetapi juga kemampuan menganalisa dan merefleksi teks. Kemampuan ini yang masih harus terus ditingkatkan, baik bagi siswa maupun guru.
JAKARTA, KOMPAS – Kemampuan siswa Indonesia membaca teks panjang dan mendetail masih rendah. Butuh pembiasaan membaca, menganalisa, dan merefleksikan teks secara lebih gencar di sekolah.
Literasi kini tidak sekadar memahami teks. Akan tetapi, juga mencakup kemampuan membandingkan dua wacana; membedakan fakta, opini, dan berita bohong; mengetahui tujuan teks berupa berita, informasi, iklan, atau pun argumentasi; bisa merefleksikan ide, baik pro maupun kontra terhadap suatu wacana dan menjabarkan alasannya dengan berbasis fakta serta data.
“Standar internasional untuk literasi sudah berkembang, jadi dibutuhkan pemetaan untuk melihat kompetensi siswa sekolah menengah yang terkini,” kata Rahmawati, perancang sistem analisis penilaian untuk Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta, Senin (3/9/2018).
Pada bulan Juni dan Juli 2018, Puspendik Kemdikbud bersama Badan Bahasa mengadakan uji kemampuan literasi Bahasa Indonesia di 34 provinsi. Setiap provinsi direpresentasikan oleh 10 SMA. Bentuk ujiannya berbasis komputer karena juga bertujuan melihat kemampuan siswa menavigasikan perintah dalam membaca.
Ternyata, masih banyak siswa tidak menyadari perintah untuk membalik ke halaman berikutnya ketika tengah membaca teks daring. Akibatnya, teks yang dibaca tidak lengkap.
Terungkap berbagai permasalahan siswa. Hanya 18 persen siswa bisa membaca teks yang panjang, yaitu 600 kata dan menangkap detail informasi di dalamnya. Umumnya, siswa kebingungan apabila di setiap paragraf terdapat detail permasalahan yang berbeda.
Siswa juga masih lemah dalam mengubah narasi menjadi kronologi peristiwa. Demikian juga dalam membaca tabel dan mengubahnya menjadi sebuah wacana.
“Dalam evaluasi, ditemukan bahwa masih banyak pembelajaran di kelas sangat terkotak-kotak. Artinya, satu mata pelajaran tidak terhubung dengan mata pelajaran lainnya,” tutur Rahmawati.
Rahmawati mencontohkan, pelajaran matematika hanya fokus menghitung, tetapi belum mengajar siswa cara menerjemahkan soal cerita yang bersifat tersurat. Pelajaran Bahasa Indonesia bersifat naratif dan deskriptif, tetapi belum menyentuh cara membuat penjelasan dengan menggunakan tabel atau pun lini masa.
Selain itu, juga dibutuhkan kemampuan guru untuk membuat penugasan yang spesifik. Misalnya dalam pelajaran biologi untuk kelas VII tentang sistem reproduksi mamalia. Selama ini, guru membebaskan siswa mencari jawaban ke berbagai sumber seperti buku, majalah, koran, dan internet.
“Ketika siswa mengumpulkan jawaban yang mereka peroleh, guru belum sepenuhnya memastikan konteks jawaban tersebut sesuai dengan level kelas mereka. Bisa saja jawaban yang didapat siswa ternyata untuk level SMA atau pun kuliah,” papar Rahmawati.
Oleh karena itu, Kemdikbud melakukan pelatihan kepada guru-guru di sekolah percontohan, didampingi para petugas teknologi informasi dan komunikasi sekolah tentang cara mencari informasi yang benar di internet. Dalam hal ini mengajak guru membedakan situs yang bersifat faktual dan bisa dipertanggungjawabkan dengan blog pribadi.
Siswa dan guru
Kepala SMA Negeri 9 Tangerang Selatan Ahmad Nana Mahmur menuturkan, pendidikan literasi dilaksanakan sekaligus untuk siswa dan guru. Pelatihan dilakukan secara bertahap. Salah satunya ialah mengenalkan guru kepada literasi digital dengan cara mengikuti pelatihan yang disediakan oleh dinas pendidikan, Kementerian Informasi dan Komunikasi, dan musyawarah guru mata pelajaran.
“Sekarang tengah dirancang pendekatan yang berbeda untuk kelas X, XI, dan XII,” katanya.
Guru Bahasa Indonesia SMAN 9 Tangsel Tarsim Tarmidzi mengakui tantangan terberat adalah menyediakan bahan bacaan yang menarik untuk siswa. Pasalnya, mayoritas siswa belum terbiasa membaca di luar kegiatan belajar di sekolah. “Cara yang ditempuh ialah banyak membaca kliping koran karena siswa lebih suka membahas peristiwa aktual daripada teks-teks panjang,” ujarnya.
Secara terpisah, anggota Satuan Tugas Gerakan Literasi Kemdikbud Sofie Dewayani, mengatakan upaya penumbuhan minat baca lewat Gerakan Literasi Sekolah, seperti pembiasaan membaca buku 15 menit, barulah merupakan awal. Karena yang penting membuat literasi produktif lewat multimoda.
Sofie mengatakan untuk memampukan siswa memiliki kompetensi literasi produktif butuh mentor yang kompeten. Di sekolah, guru tentu punya peran penting.
"Nah, guru ini harus bisa membantu siswa untuk memahami tahapan proses berpikir.
Menurut Sofie, tantanga gerakan literasi sekolah justru untuk mengintegrasikannya dalam pembelajaran. Pembelajaran yang berpusat pada siswa atau student center learning tetap butuh peran guru yang mampu untuk mengawal proses berpikir siswa dengan memanfaatkan teks multimoda.