Kasus Kanker Payudara HER2 Positif, Presiden Dinilai Lalai
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sidang gugatan perdata pengidap kanker payudara HER2 positif yang seharusnya dilaksanakan Selasa (4/9/2018) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kembali ditunda untuk kedua kali. Sidang ditunda dua pekan sebab tergugat Presiden Joko Widodo belum menandatangani surat kuasa kepada Kejaksaan Agung RI untuk menghadiri persidangan tersebut.
Sidang seharusnya dilangsungkan di ruang sidang Dr Mr Kusumah Atmadja 3, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sidang dipimpin hakim ketua Mery Taat Anggarasih. Sidang diagendakan pada pukul 09.30. Namun, kenyataannya sidang baru dibuka pukul 12.00. Sekitar 20 menit kemudian, sidang berakhir dengan agenda penundaan persidangan.
Dalam persidangan itu, seharusnya pihak penggugat Juniarti, penderita kanker payudara HER2 positif, dengan pihak tergugat Presiden, Kementerian Kesehatan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), dan Dewan Pertimbangan Klinis (DPK). Namun, karena berkas dan dokumen belum lengkap, sidang akhirnya kembali ditunda.
”Jadi, sidang ditunda dua minggu berarti tanggal 18 September. Secara, formal tetap akan kami lakukan pemanggilan kepada pihak yang tidak hadir untuk memakai pihak ketiga,” ujar Mery.
Kuasa hukum penggugat, Rusdianto Matulatuwa, mengatakan, presiden dianggap lalai dan terkesan meremehkan hak warga negara. Penggugat menyayangkan presiden tidak memberikan contoh yang baik dengan memenuhi panggilan pengadilan.
Apalagi, kantor kepresidenan memiliki sumber daya manusia (SDM) banyak. Seharusnya, mengurus panggilan dari pengadilan tidak dibikin rumit. Ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak menjalankan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
”Ini semua pihak sudah datang. Namun, sidang harus kembali ditunda karena orang Kejaksaan Agung RI hanya membawa map dengan blangko kosong yang belum ditandatangani presiden ataupun kepala Kejaksaan Agung,” ujar Rusdianto.
Pada panggilan ketiga nanti, kata Rusdianto, sidang tetap akan dilangsungkan apabila pihak tergugat tidak hadir atau tidak menandatangani surat kuasa. Tergugat akan dianggap mangkir dan melepaskan hak jawabnya terhadap gugatan di persidangan.
Rusdianto menambahkan, jika sidang dimulai, kuasa hukum akan melihat permasalahan secara obyektif dan meminta pihak-pihak tergugat memberikan solusi permasalahan. Dia juga berharap persidangan tersebut dapat berjalan lancar dan cepat karena berkaitan dengan nyawa penderita kanker.
Suami korban, Edy Haryadi, menambahkan, kondisi Juniarti saat ini semakin memburuk setelah kemoterapi. Namun, sebenarnya, istrinya yang berprofesi sebagai pengacara itu tetap ingin datang ke persidangan dan tetap berjuang untuk pengobatan penyakit kankernya.
Edy menyesalkan kantor kepresidenan tidak menunjukkan keseriusannya dalam persidangan tersebut. Akibatnya, sidang harus ditunda dua kali, padahal nyawa istrinya semakin terancam karena tidak bisa mendapatkan obat yang bisa meningkatkan harapan hidup pasien kanker.
”Kalau kasus ini bertele-tele, dan istri saya akhirnya meninggal sebelum kasus ini selesai percuma akhirnya mediasi. Lebih baik kami lanjut untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dengan penyakit kanker payudara lain,” kata Edy.
Juniarti mulai memasukkan gugatan dengan nomor 552/Pdt.G.2018/PN.Jkt-Sel setelah jaminan untuk obat ”trastuzumab” dihentikan BPJS per 1 April 2018. Akibatnya, peserta BPJS yang terindikasi positif mengidap kanker payudara tak bisa mendapatkan obat tersebut. Padahal, trastuzumab adalah salah satu obat yang biasa dipakai dalam terapi kanker payudara stadium lanjut. Obat ini bekerja dengan menghambat pertumbuhan gen human epidermal growth factor receptor-2 (HER2) yang terlalu cepat dalam sel kanker.
Ironisnya, jaminan untuk obat trastuzumab bagi penderita kanker payudara ini masih tercantum dalam Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) Nomor 856/2017 tentang Formularium Obat Nasional, obat trastuzumab masih ditanggung BPJS Kesehatan. Selain itu, petunjuk penggunaan obat trastuzumab untuk peserta BPJS juga diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 22 Tahun 2018 tentang Petunjuk Teknis Restriksi Penggunaan Obat Trastuzumab untuk Kanker Payudara Metastatik pada Pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional.
”Muara permasalahan ada di BPJS. Kami sudah mencoba meminta obat trastuzumab kepada pihak rumah sakit, tetapi mereka menolak karena tidak ada jaminan dari BPJS. Apalagi, harga obat ini mahal Rp 25 juta per ampul,” kata Edy.