JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah terus berupaya menekan dampak gejolak ekonomi global, termasuk sentimen negatif akibat krisis ekonomi di Argentina. Berbagai strategi disiapkan oleh pemerintah agar perekonomian nasional tetap stabil dan nilai tukar rupiah tidak semakin terpuruk.
Untuk menyiapkan strategi menghadapi dampak gejolak ekonomi global, Presiden Joko Widodo mengumpulkan para menteri dan pimpinan lembaga otoritas moneter di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (3/9/2018). Mereka adalah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Perdagangan Enggartyasto Lukita, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, Ketua Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso.
Seusai pertemuan, Sri Mulyani menjelaskan, rapat tertutup selama lebih kurang satu jam itu salah satunya membahas kondisi perekonomian nasional terkini, termasuk dampak dari gejolak ekonomi global, khususnya krisis moneter di Argentina. Pemerintah menyadari sentimen negatif akibat krisis Argentina harus terus diwaspadai mengingat krisis di Argentina belum menunjukkn tanda-tanda berakhir.
Karena itu pemerintah menyiapkan strategi untuk menghadapi dampak negatif gejolak ekonomi dunia, termasuk pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar. Salah satunya adalah meningkatkan koordinasi antara pemerintah dengan Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). "Langkah-langkah yang dilakukan pemerintah bersama dengan otoritas moneter dan OJK akan semakin disinergiskan," kata Sri Mulyani.
Koordinasi terutama dilakukan dari sisi informasi mengenai langkah yang akan dilakukan untuk menjaga stabilitas. Pemerintah, otoritas moneter, dan OJK diharapkan bisa melakukan penyesuaian satu sama lain terkait kondisi pasar surat berharga, portfolio, nilai tukar, serta dinamika sektor riil seperti ekspor dan impor.
Sri Mulyani juga menjelaskan bahwa saat ini fokus pemerintah adalah mengurangi sentimen negatif yang berasal dari neraca pembayaran. Sebab salah satu sumber munculnya sentimen negatif pada perekonomian Indonesia adalah kondisi transaksi berjalan dan neraca perdagangan.
Untuk itu pemerintah menyiapkan langkah jangka pendek berupa pengendalian terhadap kebutuhan devisa. Caranya dengan mendorong peningkatan ekspor, dan mengurangi impor barang-barang konsumsi yang bukan merupakan kebutuhan pokok.
Pemerintah, lanjut Sri Mulyani, akan melakukan peninjauan kembali terhadap 900 komoditas impor yang merupakan barang konsumsi. "Kami bersama mendag dan menperin akan melihat komposisi dari komoditas yang selama ini diimpor tetapi nilai tambah ke perekonomiannya tidak banyak," tuturnya.
Peninjauan juga akan dilakukan terhadap kebutuhan devisa oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), seperti PLN dan Pertamina. Pemerintah mempertimbangkan untuk menunda pelaksanaan beberapa proyek PLN dan Pertamina.
Berbeda dengan impor, ekspor komoditas Tanah Air justru terus didorong untuk ditingkatkan. Pemerintah meminta Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) meningkatkan pertumbuhan ekpsor dengan fokus pasar-pasar potensial serta komoditas dan eksportir yang potensial.
Strategi lain yang dilakukan pemerintah adalah memperbaiki iklim investasi, sehingga arus modal ke dalam negeri juga bisa ditingkatkan. "Menko perekonomian dan menko kemaritiman akan memperbaiki lingkungan bisnis, sehingga capital flow bisa ditingkatkan lagi," kata Sri Mulyani.
Sementara itu Wimboh meyampaikan, kondisi perbankan Tanah Air sampai saat ini masih relatif aman. Sesuai arahan Presiden Jokowi, OJK bersama Bank Indonesia akan memberikan penjelasan kepada publik mengenai kondisi perekonomian nasional yang masih aman kendati rupiah terus melemah. Sebab menurut dia, pelemahan rupiah hanya bersifat sementara, hanya karena sentimen negatif akibat gejolak ekonomi global.