Semangat Kemandirian dalam Berkesenian Itu Menular
Selama lebih dari 10 tahun, Komunitas Lima Gunung (KLG) di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, rutin menggelar hajatan tahunannya, Festival Lima Gunung (FLG) digelar secara mandiri, tanpa ada bantuan, atau dukungan sponsor. Konsistensi untuk bertahan tanpa donasi itu juga menjadi ide yang menginspirasi seniman lain. Semangat kemandirian itu ternyata menyebar dan menular.
KLG adalah sebuah komunitas yang beranggotakan seniman dari berbagai kelompok kesenian, yang berasal dari lima gunung dan bukit, yaitu Gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, Andong, dan perbukitan Menoreh.
Adapun, beberapa kelompok yang merasa “tertular” semangat kemandirian adalah komunitas dan kelompok kesenian dari Lumajang, Jawa Timur. Dondik (30), salah seorang seorang penari, mengatakan, dia dan teman-teman seniman lainnya pertama kali terlibat dalam FLG XVII tahun 2017 lalu, dan kemudian diulangi lagi, kembali terlibat dalam FLG XVII, 10-12 Agustus lalu.
Dondik mengatakan, awal mula keterlibatan mereka adalah karena sering membaca dan mendengar tentang semangat kemandirian KLG, yang kemudian dibuktikannya sendiri setelah terlibat dalam FLG. Mereka pun benar-benar terkejut bahwa kemandirian tersebut berbuah nyata pada panggung-panggung megah, aneka seni instalasi yang menarik, serta layanan nyaman untuk para seniman yang tampil. Semua tersaji hanya berkat kerjasama, gotong royong antara seniman dengan warga sekitar, tanpa hitung-hitungan jelas tentang nominal dana yang dikeluarkan tiap individu.
Segala hal menyenangkan itulah yang membuat para seniman Lumajang ingin belajar banyak dari KLG. Maka, jika di tahun 2017 hanya ada 15 seniman yang datang, maka di FLG 2018 ini, jumlah penampil yang mencapai sekitar 40 orang, yang berasal dari enam komunitas serta tiga sanggar seni.
Dondik, yang sebenarnya berasal dari komunitas non kesenian, mengatakan, dia pun ingin mengajak lebih banyak orang, belajar tentang berkesenian dari KLG.
“Para seniman harus datang untuk mengetahui sendiri bahwa panggung yang megah, bukanlah panggung yang melulu disediakan pemerintah. Panggung megah pun bisa dibuat dan diciptakan sendiri,” ujarnya.
Tugi (55) dari Sanggar Seni Sri Katon Makmur Jaya Lumajang, mengatakan, selama ini, dia dan teman-teman seniman hanya berkesenian saat dipanggil memenuhi undangan pentas di hajatan warga atau undangan pemerintah saja. Mereka pun jarang tampil di luar kota karena sering berat memikirkan biaya dan berat meninggalkan tanggungjawab seperti ternak di rumah.
Machrus (30), anggota komunitas lainnya, mengatakan, ke depan, dengan meniru semangat KLG, mereka pun ingin agar suatu saat Lumajang bisa menyelenggarakan event dengan manajemen ala FLG, dengan melibatkan warga sekitar. Hal ini antara lain sudah dimulai dengan menggelar empat event kesenian, demi mengumpulkan uang untuk biaya keberangkatan ke Magelang.
Upaya ini, menurut dia, menjadi upaya awal untuk menggugah kepedulian warga, nantinya bisa dilanjutnya dengan mengajak mereka untuk terlibat menggelar pentas kesenian bersama seniman.
“Kami ingin meniru semangat dari FLG,” ujarnya.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Diky Wahyu Aprilio, ketua komunitas Drumblek Mellow dari Kabupaten Kendal. Ditemui usai mengisi pentas FLG XVII di Desa Bandongan, Kecamatan Bandongan, dia pun terkesima dengan semangat guyub rukun dari warga desa dengan para seniman yang akhirnya mampu menghasilkan pementasan seni yang semarak dan mengundang perhatian berikut tepuk tangan dari banyak penonton.
Terlebih lagi, menurut dia, FLG XVII kemarin, dinilainya fantastis karena bisa menghadirkan berbagai kelompok kesenian dari berbagai daerah termasuk dari luar negeri seperti Australia dan Singapura. Semuanya terasa makin luar biasa, karena pertunjukan itu bisa berlangsung, dan dinikmati selama tiga hari, 10-12 Agustus lalu.
“Sebelumnya, kami mengira cuma pertunjukan yang dibiayai perusahaan besar atau pemerintahlah yang bisa digelar semegah dan semeriah ini,” ujarnya.
Tawaran dana
Ipang, salah seorang seniman, anggota Komunitas Lima Gunung sekaligus ketua panitia FLG XVII, mengatakan, FLG sebenarnya tidak sepi dari tawaran dana sponsor. Jauh sebelum penyelenggaraan festival, April lalu, dirinya tiba-tiba sudah dihubungi oleh salah seorang staf, perwakilan dari Kementerian Pariwisata, yang mengatakan, bahwa FLG terpilih menjadi salah satu acara kesenian yang berkesempatan dibiayai dana APBN.
Dana yang ditawarkan sebesar Rp 1 miliar, di mana Rp 600 juta akan digunakana sebagai biaya promosi, dan Rp 400 juta akan diberikan kepada seniman sebagai biaya pelaksanaan FLG.
Namun, karena sejak lama KLG berkomitmen menyelenggarakan FLG secara mandiri, maka tawaran itu pun ditolak. Ipang pun beranggapan angka Rp 400 juta, juga tidak menjadi nominal yang penting untuk dibahas lebih dalam.
“Tidak perlu uang banyak-banyak. Tanpa itu pun, kami berlimpahan bahan, karena bisa menghias, membuat panggung festival dengan sisa gabah, berton-ton jerami dari sawah, serta sisa-sisa akar, dan daun pisang kering yang bisa diambil kapan saja dari setiap sudut desa,” ujarnya.
Dukungan dana dari pihak luar, menurut Ipang, memang sengaja dihindari. Uang, berdasar pengalaman, biasanya hanya membuat tiap warga yang semula tulus terlibat, jadi berpikir tentang untung rugi. Uang dikhawatirkan juga akan berdampak pada relasi, hubungan antar warga, membuat mereka sulit untuk kembali saling percaya, dan sebaliknya curiga, uang banyak diterima oleh orang tertentu.
“Uang cuma akan merusak suasana guyub rukun di desa,” ujar Ipang, yang sehari-hari menjadi kepala Dusun Wonolelo di Desa Bandongan ini.
Apa yang dikhawatirkan Ipang, memang sempat terjadi dan menorehkan sejarah tidak enak dalam perjalanan FLG dan relasi antara seniman KLG dengan warga desa. Supadi Haryanto, ketua KLG, mengatakan, dahulu, KLG memang sempat “tergoda”, dua kali menerima dukungan dana dari pihak ketiga, yang juga mereka kenal baik.
Sekalipun tidak besar, kurang dari Rp 10 juta, penerimaan dana tersebut sempat menimbulkan masalah berkepanjangan. Warga desa tuan rumah FLG, mengetahui tentang dana tersebut, dan pada akhirnya mereka pun terus bertanya-tanya perihal penggunaan dana, apakah ada yang uang yang tersisa, dan apakah pemerintah desa memiliki rencana untuk memanfaatkan sisa dana tersebut atau tidak.
Dalam kesempatan itu, Supadi mengatakan, para seniman pun sudah jujur menjelaskan bahwa dana tersebut tidak bersisa, dan bahkan kalangan seniman harus mengeluarkan tambahan dari kantong pribadi.
Namun, warga yang sudah dipenuhi prasangka, tidak bisa menerimanya. Warga pun terus-menerus mengulang pertanyaan yang sama kepada seniman yang kalangan seniman KLG, terutama yang tinggal satu desa dengan mereka.
“Tidak sekedar diulang satu atau dua kali, seminggu atau sebulan kemudian, pertanyaan perihal dana tersebut tetap masih ditanyakan setahun setelah ajang FLG tersebut selesai dilaksanakan. Saya jadi merasa risih,” ujarnya.
Pertanyaan-pertanyaan itu pada akhirnya juga mengganggu relasi hubungan dengan warga. Sekalipun ketegangan hubungan bisa mencair, namun tetap butuh waktu lama untuk bisa mengembalikan relasi sama seperti sebelumnya.
Hal itulah yang kemudian membuat para seniman KLG sepakat memutuskan menghindari dukungan dana dalam pentas FLG. Mandiri dirasa menjadi pilihan terbaik karena uang dan ketulusan berkesenian sulit berpadu di panggung festival. Karena seni menyangkut hati, dan bukan untung rugi.