Indonesia adalah bangsa besar. Asian Games ke-18 pada 2018 di Jakarta dan Palembang saat ini menjadi pembuktian. Berulang kali bendera Merah-Putih berkibar-kibar diiringi senandung merdu lagu “Indonesia Raya” yang menggetarkan jiwa-raga. Sampai Jumat (31/8/2018), Indonesia ada di posisi ke-4 dari 45 peserta. Indonesia berhasil mengumpulkan 92 medali terdiri 30 emas, 23 perak, 39 perunggu. Dengan begitu kita dapat mendekati negara-negara besar di Asia seperti China (241 medali: 112 emas, 76 perak, 53 perunggu), Jepang (174 medali: 59 eams, 49 perak, 66 perunggu), Korea Selatan (141 medali: 39 meas, 46 perak, 56 perunggu).
Indonesia memang pemain dunia, bukan cuma di Asia. Coba baca lembaran sejarah yang bertorehkan tinta emas. Ketika banyak negara di Asia dan Afrika baru saja merdeka pada dekade 1940-an hingga 1950-an, Indonesia bersama India, Pakistan, Myanmar, Sri Lanka justru bisa mengumpulkan banyak negara yang terwujud dalam Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955. Konferensi itu pub melahirkan kekuatan baru untuk melawan neokolonialisme dan neoimperialisme. Sejarah teramat penting tercatat ketika dua benua bersatu jadi kekuatan baru.
Bahkan ketika dunia dilanda kecemasan karena dijepit konfrontasi dua blok, yaitu Barat (kapitalis) dan Timur (komunis), Indonesia justru menumbuhkan asa yang menggembirakan. Bersama India, Yugoslavia, Mesir, Ghana, Indonesia mampu melahirkan solusi baru di mana negara (atau bangsa) di berbagai belahan dunia tidak harus berkiblat pada dua kekuatan besar itu. Lahirlah gerakan Non-Blok pada 1961 di Belgrade, Yugoslavia (saat itu). Mereka tak mau terjepit di antara dua blok tersebut, tetapi justru menjadi kekuatan penyeimbang yang patut diperhitungkan.
Ketika Asian Games ke-4 digelar di Jakarta tahun 1962, Indonesia berada di urutan ke-2 di bawah Jepang yang merebut posisi puncak. Indonesia menggondol 51 medali, terdiri 11 emas, 12 perak, dan 28 perunggu. Sedangkan Jepang meraih 152 medali, terdiri 73 emas, 56 perak, dan 23 perunggu. Namun, akibat bersimpati pada China dan Arab Saudi yang membuat Indonesia menolak kehadiran Taiwan dan Israel, Indonesia pun mendapat sanksi dicoret sebagai peserta Olimpiade Tokyo tahun 1964.
Namun, bukan rasa putus asa yang terus menggelayuti. Presiden Sukarno justru menggagas olimpiade tandingan yaitu pesta olahraga negara-negara kekuatan baru atau yang disebut Games of the New Emerging Forces (Ganefo) pada 1963. Ada 51 negara dari Asia, Afrika, Amerika Latin, Eropa menjadi peserta Ganefo di Jakarta. Indonesia berada di posisi ketiga dengan 71 medali terdiri 17 emas, 24 perak, 30 perunggu, di bawah China dengan 168 medali (65 emas, 56 perak, 47 perunggu) dan Uni Soviet dengan 67 medali (39 emas, 20 pera, 8 perunggu).
Sebagai bentuk perlawanan terhadap status quo, Ganefo memang punya misi lain. Namun, Ganefo hanya berlangsung dua kali. Pesta Ganefo II digelar di Phnom Penh, Kamboja pada 1966. Ganefo III yang direncanakan digelar di Beijing, China pada 1970, kemudian dialihkan ke Pyongyang, Korea utara cuma menjadi dongeng sejarah. Sebab, Ganefo III tak pernah terselenggara. Pesta negara-negara baru itu pun akhirnya bubar.
Walaupun terselip misi perlawanan politik dalam beberapa pesta olahraga, hampir semua pesta olahraga mampu menyatukan kelompok-kelompok yang terpisah. Olahraga kerap membangun semangat kebersamaan. Sama-sama berjuang membawa nama bangsa agar harum tercium di lingkungan dunia. Olahraga juga semestinya mengendurkan urat-urat yang tegang dilanda persaingan politik. Perhatikan saja momen atlet pencak silat peraih medali emas Hanifan Yudani Kusumah saat memeluk Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Ikatan Pencak Silat Indonesia Prabowo Subianto, Rabu (29/8), tentunya menjadi pesan yang menyejukkan.
Betapa tidak, dua tokoh tu, Jokowi dan Prabowo, selalu dibicrakan dalam konteks rivalitas. Mereka memang sama-sama bertarung pada Pilpres 2014, dan kini akan rematch di Pilpres 2019. Meskipun konfigurasi politik berubah sejak pemilihan wakil presiden masing-masing pihak, tampaknya persaingan politik akan tetap memanas. Hebohnya politik di negeri kita ini terlalu kuat dengan “adu otot” bukan “adu otak”. Politik sekarang lebih banyak menampilkan wajah sangar yang siap menyerang demi berebut kekuasaan ketimbang perilaku mulia demi pengabdian pada publik.
Sayang, energi politik habis dikuras hanya untuk perdebatan yang tidak produktif dan tidak bermutu. Persoalan bangsa tidak akan bisa selesai jika hari-hari diisi dengan cuma saling serang dan menjatuhkan. Politik yang dijejali omong kosong dan omong besar cuma menambah limbah polusi. Kalau bangsa ini mau maju mari bergandengan, berkeringat dan bekerja keras bersama-sama. Soliditas bangsa menjadi penopang yang kokoh. Momen Asian Games yang berslogan “Energy of Asia” seharusnya juga menjadi energi positif bagi bangsa ini untuk terus bersatu. Beda pilihan politik bukan alasan untuk berantem. Tidak ada sejarahnya mereka yang berpecah akan meraih puncak kegemilangan. Kita ini memang bangsa besar, bukan bangsa omong besar.