Batasi Gawai di Sekolah
Gawai yang dilengkapi berbagai fitur menjadi pintu masuk bagi anak-anak untuk mengakses konten negatif yang mempengaruhi tumbuh kembang anak dan mengganggu pendidikan.
JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah melalui empat kementerian akhirnya mengeluarkan pernyataan bersama tentang pembatasan penggunaan gawai di satuan pendidikan. Hal ini dilakukan demi melindungi anak-anak dari adiksi atau kecanduan terhadap gawai.
Keempat kementerian tersebut adalah Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), serta Kementerian Agama.
Masyarakat, khususnya orangtua, dan anak serta semua satuan pendidikan termasuk pendidikan keagamaan, diimbau membatasi penggunaan gawai dengan cara tidak mengijinkan anak membawa gawai ke sekolah, atau hanya menggunakan gawai untuk mengunduh pelajaran tertentu.
“Ini untuk mencegah anak-anak mendapatkan informasi yang tidak layak, seperti pornografi, radikalisme, kekerasan, berita bohong, atau terkait suku, agama, ras, dan antargolongan. Selain itu agar anak-anak kita terhindar dari kecanduan gawai dan efek negatif dari penggunaan gawai,” ujar Menteri PPPA Yohana Susana Yembise, dalam pernyataan menteri, Jumat (31/8/2018), di Kantor Kementerian PPPA Jakarta.
Yohana memastikan pernyataan tersebut segera ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) dari keempat menteri yang terkait. Selain Yohana pernyataan tersebut juga dibacakan oleh Menteri Kominfo Rudiantara. Adapun Mendikbud diwakili oleh Chatarina Muliana G (Staf Ahli Menteri Bidang Regulasi Pendidikan dan Kebudayaan) dan Menteri Agama diwakili Abdul Rahman Mas\'ud (Kepala Bidang Litbang dan Diklat).
Mendikbud meminta satuan pendidikan bersama orangtua dan komite menyusun peraturan sekolah yang membatasi penggunaan gawai serta menentukan kebijakan penggunaan gawai yang tepat sebagai media pembelajaran bagi masing-masing sekolah, dengan pertimbangan utama memberikan kesempatan belajar dan keamanan.
Kendalikan konten
Rudiantara mengatakan, Kementerian Kominfo meminta orangtua dan guru/pendidik proaktif memantau dan tetap memegang kendali atas penggunaan gawai pada anak dan peserta didik, dengan cara membatasi waktu dan materi yang diakses. "Saat ini setidaknya ada 289.000 situs positif yang masuk dalam white list Kominfo," kata Rudiantara.
Sejak 10 Agustus 2018, Kementerian Kominfo meminta kepada 25 penyedia layanan internet (internet service provider/ISP) memblokir konten pornografi yang terdapat di mesin pencarian Google. Caranya dengan mengaktifkan pengaturan safe search di mesin pencari Google. "Ini bentuk intervensi nyata pemerintah," kata Rudiantara.
Menag meminta orangtua dan seluruh satuan pendidikan keagamaan seperti madrasah, pondok pesantren, dan pendidikan keagamaan, agar meningkatkan pengawasan penggunaan gawai pada anak-anak.
Kemarin juga digelar Diskusi Publik Pembatasan Gawai di Satuan Pendidikan yang dipandu Deputi Tumbuh Kembang Anak KPPPA Lenny N Rosalin, dengan pembicara dari Kakatu (pengelola aplikasi parental control dari Indonesia, psikolog, dan Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Susanto mengapresiasi pernyataan empat menteri tersebut. "Namun perlu langkah lanjutan yang lebih konkret. Bagaimana pengaturannya, siapa saja yang diatur, lokasi penggunaan maupun jumlah waktu menggunakan gawai serta terkait usia anak. Kalau hanya di sekolah tidak akan efektif, perlu di rumah dan masyarakat," kata Susanto.
Kecanduan gawai meningkat
Bertepatan dengan Hari Anak Nasional 2018, Juli lalu, Kompas dalam laporan tematik mengungkapkan fenomena anak-anak yang kecanduan gawai setidaknya semakin terlihat dalam lima tahun terakhir. Meskipun belum ada angka pasti berapa persentase dan jumlah anak yang mengalami gejala kecanduan atau kecanduan gawai, dari sejumlah kasus yang terungkap di publik, hasil kajian, survei, dan penelitian menunjukkan fenomena kecanduan gawai pada anak saat ini berada pada situasi mengkhawatirkan. Tak hanya menjadi korban, anak-anak juga terlibat dalam sejumlah kasus yang masuk kategori tindak pidana.
Menurut Kepala Departemen Medik Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) Kristiana Siste Kurniasanti, penggunaan gawai pada anak dan remaja lebih dari 3 jam sehari menyebabkan mereka rentan kecanduan gawai.
”Adiksi gim daring itu terjadi ketika gejala yang dialami sudah mengganggu fungsi diri dan berlangsung selama 12 bulan. Adapun fungsi diri itu seperti fungsi relasi, pendidikan, pekerjaan, dan kegiatan rutin lainnya,” ujarnya.
Kecenderungan meningkatnya kasus anak kecanduan gawai tersebut terkait dengan tingginya penetrasi internet di Indonesia. Berdasarkan Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2017, sebanyak 143,26 juta orang atau 54,68 persen dari populasi Indonesia menggunakan internet. Penetrasi pengguna internet terbesar di usia 13-18 tahun (75,50 persen). Gawai adalah perangkat yang paling banyak dipakai untuk mengakses internet (44,16 persen).
Hasil kajian Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian PPPA tahun 2016 menunjukan sebanyak 70 persen anak di pastikan membawa gawainya ke sekolah, 61 persen diantaranya menggunakan gawai untuk keperluan chatting dan bermain games, 29 persen menggunakan untuk mencari informasi terkait mata pelajaran dan hanya 10 persen yang menggunakannya untuk keperluan komunikasi dengan orang tua atau teman.
Angka durasi penggunaan gawai pada anak juga cukup memprihatinkan, sebanyak 60 persen anak menggunakan gawai selama lebih dari 3 jam, 25 persen anak menggunakan gawai selama 1-2 jam dan hanya 15 persen anak yang menghabiskan waktu kurang dari 1 jam saat menggunakan gawai.