SIDOARJO, KOMPAS — Bupati Ngada nonaktif Marianus Sae dinilai jaksa secara aktif meminta fee dari proyek yang didanai anggaran pendapatan dan belanja daerah kepada perusahaan rekanan. Dia juga meminta gratifikasi kepada anak buahnya sendiri.
Korupsi berlanjut yang dilakukan sejak 2011 hingga 2018 itu bisa mengumpulkan uang Rp 5,3 miliar. Dana yang terkumpul di antaranya digunakan untuk membiayai pencalonannya sebagai Gubernur Nusa Tenggara Timur periode 2018-2023.
Atas perbuatannya itu, jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sidang tuntutan yang berlangsung di Pengadilan Tipikor Surabaya, Jumat (31/8/2018), meminta majelis hakim yang diketuai Unggul Warsa Murti menjatuhkan hukuman pidana terhadap terdakwa berupa 10 tahun penjara.
Tim jaksa KPK yang dipimpin Ronald Woworuntu juga menuntut agar terdakwa dijatuhi hukuman denda Rp 300 juta, subsider enam bulan kurungan. Selain itu, pidana tambahan berupa pencabutan hak politik terdakwa hingga lima tahun setelah menjalani pidana pokok.
”Terdakwa telah melakukan perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Huruf a dan Pasal 12 Huruf B Undang-Undang 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi UU No 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,” ujar Ronald.
Dari Rp 5,3 miliar uang hasil korupsi yang dinikmati terdakwa, Rp 4,4 miliar berasal dari suap, sedangkan Rp 850 merupakan hasil gratifikasi. Penyuap adalah dua pengusaha pemilik perusahaan rekanan yang mengerjakan proyek infrastruktur di Pemkab Ngada, yakni Wilhelmus Iwan Ulumbu pemilik PT Sinar 99 Permai dan Albertus Iwan Susilo pemilik PT Sukses Karya Inovatif.
Marianus meminta Wilhelmus Iwan Ulumbu, pengusaha konstruksi rekanan Pemkab Ngada, membuka rekening di BNI Cabang Bajawa atas nama dirinya. Namun, kartu debit BNI-nya beserta nomor PIN (personal identification number) diserahkan kepada Marianus agar terdakwa leluasa menarik tunai.
Wilhelmus diminta menyetor secara bertahap ke rekening tersebut sebesar 10 persen dari nilai kontrak pekerjaan yang dikerjakan perusahaannya. Total akumulasi uang yang disetorkan mencapai Rp 2,9 miliar. Adapun Albertus Iwan Susilo menyetor uang yang nilainya lebih dari Rp 1,5 miliar.
Tidak hanya meminta suap, terdakwa Marianus Sae juga meminta uang gratifikasi kepada Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Wilhelmus Petrus Bate sebesar Rp 850 juta dengan dalih untuk biaya operasional. Oleh Petrus uang diambilkan dari jatah anggaran lembur dan perjalanan dinas pegawainya.
Menanggapi tuntutan jaksa KPK tersebut, terdakwa dan kuasa hukumnya mengaku keberatan. Mereka akan mengajukan nota pembelaan yang akan disampaikan pada sidang berikutnya. Alasannya, tidak semua tuntutan jaksa didasarkan pada pertimbangan yuridis dan fakta persidangan, tetapi ada sebagian yang berdasarkan opini.
”Harapannya, majelis hakim bisa mempertimbangkan seluruh fakta persidangan dan meringankan hukuman,” kata penasihat hukum terdakwa, Vincentius Maku.