JAKARTA, KOMPAS—Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyesalkan vonis hukuman kurungan 18 bulan yang dijatuhkan pada Meiliana atas tuduhan penistaan agama karena mengeluhkan pengeras suara masjid yang semakin nyaring. Vonis tersebut dinilai tidak memenuhi rasa keadilan karena tidak berdasar pada fakta dan bukti yang ada dalam persidangan.
Dalam Keterangan Pers Nomor 18/Humas-KH/VIII/2018, Kamis (30/8/2018), Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menyatakan telah menerima pengaduan pelanggaran HAM yang dilakukan Kepolisian Resor Kota (Polresta) Tanjung Balai, Sumatera Utara terhadap Meiliana. Ia ditetapkan sebagai tersangka penistaan agama pada 21 Maret 2017. Pengadilan Negeri (PN) Medan akhirnya menjatuhkan hukuman kuruangan 18 bulan pada Meiliana, 21 Agustus 2018 lalu.
Komnas HAM RI menyesalkan vonis Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan 18 bulan penjara terhadap Saudari Meliana. Vonis tersebut jauh dari rasa keadilan dan tidak berdasar pada fakta-fakta serta bukti-bukti yang ada selama proses peradilan
“Komnas HAM RI menyesalkan vonis Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan 18 bulan penjara terhadap Saudari Meliana. Vonis tersebut jauh dari rasa keadilan dan tidak berdasar pada fakta-fakta serta bukti-bukti yang ada selama proses peradilan,” kata Beka.
Meiliana mengeluhkan pengeras suara Masjid Al-Makshum dalam perbincangan pribadi dengan Uwo, seorang pemilik warung pada 22 Juli 2016. Namun, hasil pengamatan Komnas HAM pada 4—5 Agustus 2016 menyimpulkan tidak ada unsur kebencian dalam keluhan tersebut.
“Kata-kata yang disampaikan Saudari Meiliana kepada Ibu Uwo tidak bertendensi negatif serta tidak dimaksukan atau didasarkan pada rasa kebencian terhadap etnis dan agama tertentu,” kata Beka.
Kata-kata yang disampaikan Saudari Meiliana kepada Ibu Uwo tidak bertendensi negatif serta tidak dimaksukan atau didasarkan pada rasa kebencian terhadap etnis dan agama tertentu
Secara terpisah, Ranto Sibarani, kuasa hukum Meiliana mengatakan, keluhan kliennya tentang pengeras suara Masjid Al-Makshum disampaikan dengan nada bicara biasa.
“Pemilik warung sudah memberikan kesaksian di pengadilan. Beliau bilang, Ibu Meiliana mengatakan itu dengan suara yang pelan, tidak dengan kemarahan. Tapi, perkataan Bu Meiliana ini disampaikan ke adiknya, kemudian ke orang tuanya, sampai ke pengurus masjid. Informasi jadi terdistorsi,” kata Ranto.
Komnas HAM menyimpulkan, distorsi informasi sengaja dilakukan dan disebarluaskan oknum tertentu untuk memprovokasi dan memancing amarah komunitas Muslim. Itu dilakukan dengan menggunakan ujaran kebencian atas dasar etnis dan agama.
Ranto mengatakan, beberapa informasi yang beredar di media sosial memuat narasi seperti keberadaan anggota suku tertentu yang marah-marah karena azan masjid.
Akibatnya, komunitas Muslim yang marah karena kabar-kabar tersebut mendatangi rumah Meiliana pada 29 Juli 2016. Terjadi pula kerusuhan yang mengakibatkan kerusakan satu wihara dan lima kelenteng.
Ranto mengatakan, polisi telah mengumpulkan sekitar 20 orang yang menyebarkan berita palsu dan melakukan perusakan wihara dan kelenteng. Namun, mereka hanya divonis rata-rata empat bulan pada Januari 2018. Ini terpaut cukup jauh dari vonis 18 bulan terhadap Meiliana.
Kurang bukti
Ranto menilai, terdapat keraguan di pihak penyidik dan jaksa dalam memidanakan Meiliana. Sebab, hakim menggunakan kejadian pada 29 Juli 2016 untuk menjatuhkan tuduhan padanya. Padahal, keluhan Meiliana terkait nyaringnya pengeras suara masjid disampaikan tujuh hari sebelumnya.
“Jaksa mengajukan tuduhan berdasarkan kejadian 29 Juli. Saat itu, ada tiga orang dari massa yang membuat surat pernyataan bahwa Ibu Meiliana mengatakan hal-hal yang menistakan agama. Tapi tidak ada satu pun video maupun rekaman suara yang dapat menjadi bukti. Padahal saat itu Ibu Meiliana menjadi korban persekusi,” kata Ranto.
Selain menjadi barang bukti dalam persidangan, surat pernyataan ini juga diajukan oleh komunitas Muslim terkait kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumataera Utara untuk mengeluarkan fatwa bahwa Meiliana menistakan agama. Ia akhirnya ditahan polisi sejak 30 Mei 2018.
Terkait dengan putusan hakim, Ranto menyatakan, Meiliana menghormati proses hukum yang berjalan. Ia akan mendampingi kliennya dalam pengajuan banding ke Pengadilan Tinggi Sumatera Utara.
Namun, ia mengkhawatirkan tekanan dari massa yang ingin memidanakan Meiliana. “Saat vonis untuk Meiliana dibacakan, massa meneriakkan kemarahan dan tidak terima. Mereka ingin Meiliana dihukum lebih lama,” kata Ranto. Hingga saat ini, pihaknya belum menerima surat putusan hakim.
Dukungan
Sementara itu, dukungan untuk pembebasan atau penangguhan hukuman untuk Meiliana terus mengalir. Gerakan Indonesia Kita (GITA) menggalang dukungan melalui situs petisi Change.org dengan nama petisi Bebaskan Meiliana. Hingga kini, 192.752 telah menandatangani petisi tersebut.
Gerakan Indonesia Kita (GITA) menggalang dukungan melalui situs petisi Change.org dengan nama petisi Bebaskan Meiliana. Hingga kini, 192.752 telah menandatangani petisi tersebut.
GITA juga menyampaikan pernyataan sikap bersama untuk menuntut keadilan untuk Meiliana. Avianti Armand dalam pernyataan mengatakan, penahanan terhadap Meiliana sungguh tidak diperlukan.
“Kami, berbeda dengan massa yang penuh amarah akibat hasutan, menghormati penuh prosedur mencapai keadilan melalui jalur hukum yang berlaku di negara ini. Tapi kami memandang penahanan terhadap dirinya sungguh tidak perlu sampai kekuasaan kehakiman memberi keputusan hukum yang tetap. Kami meminta ia dibebaskan dari tahanan. Bila untuk dibutuhkan jaminan, kami bersedia menjaminnya,” kata Avianti. (KRISTIAN OKA PRASETYADI)