Jangan ”Mengambinghitamkan” Petani Pedalaman
PONTIANAK, KOMPAS — Setiap bencana kabut asap akibat kebakaran lahan di Kalimantan Barat, petani di pedalaman selalu ”dikambinghitamkan” sebagai penyebabnya, termasuk tahun ini. Mereka dikambinghitamkan karena memiliki kultur ladang berpindah.
Massa dari berbagai organisasi kemasyarakatan, pemuda, dan mahasiswa di Pontianak, Kalimantan Barat, melakukan aksi damai di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kalbar, Kamis (30/8/2018).
Sebelum menuju DPRD Kalbar, massa berkumpul terlebih dahulu di Rumah Betang di Jalan Sutoyo, Kota Pontianak. Di Rumah Betang, mereka menggelar ritual terlebih dahulu. Ritual itu pada intinya memohon berkat dan keselamatan kepada Yang Maha Kuasa agar aksi damai mereka tidak mengalami gangguan.
Setelah persiapan selesai, mereka menuju DPRD Kalbar menggunakan kendaraan. Mereka menggunakan pakaian adat dan membawa spanduk berisi berbagai macam tulisan yang pada intinya berisi kecaman terhadap pihak-pihak yang mengambinghitamkan petani di pedalaman sebagai penyebab kabut asap yang sempat terjadi beberapa pekan lalu.
Setiba di gedung DPRD Kalbar, massa diterima oleh sejumlah anggota DPRD Kalbar. Massa pun menyampaikan pernyataan yang intinya mengecam pernyataan pihak tertentu yang menuduh peladang di pedalaman penyebab kabut asap.
”Aksi massa ini menindaklanjuti adanya pernyataan dari pihak tertentu beberapa waktu lalu yang menyatakan masyarakat adat yang berladang berpindah sebagai penyebab kebakaran lahan dan kabut asap. Masyarakat peladang di pedalaman bukan penyebabnya,” kata Ketua Dewan Adat Dayak Provinsi Kalbar Jakius Sinyor, Kamis.
Kabut asap ini diakibatkan kebakaran di lahan gambut. Wilayah yang banyak memiliki lahan gambut yang terbakar di Kabupaten Kubu Raya, Mempawah, dan Kota Pontianak. Masyarakat adat yang memiliki kultur ladang berpindah tidak tinggal di sekitar gambut. Selain itu, mereka juga tidak membuat ladang di daerah gambut.
Kalaupun masyarakat dengan kultur ladang berpindah ada membakar ladang, mereka membakar ladang di tanah mineral bukan di lahan gambut dengan luas tidak lebih dari 2 hektar. ”Itu pun membakarnya tidak sembarangan. Ada tata cara agar api tidak membesar. Misalnya dibuat sekat bakar di sekeliling lahan agar api tidak menyebar,” kata Jakius.
Penuh kearifan
Dalam pengamatan Kompas, beberapa tahun terakhir, masyarakat pedalaman dengan kultur ladang berpindah mengelola lahannya dengan penuh kearifan. Mereka membuat ladang tidak sembarangan. Mereka tidak berladang di laham gambut, tetapi di lahan mineral.
Tahap pertama, saat membuat ladang adalah membuka lahan dengan menebas semak belukar seluas 2 hektar. Peluasan itu masih diperbolehkan secara aturan. Setelah sekitar 2 hektar lahan dibuka, sampahnya dikeringkan selama beberapa hari.
Setelah sampahnya benar-benar kering, petani akan membuat sekat bakar di sekeliling lahan itu selebar 5 meter. Sekat bakar itu dibersihkan dari semak belukar sehingga api tidak melebar. Kemudian baru masuk pada tahap pembakaran ladang.
Pembakaran dijaga oleh banyak orang secara gotong royong dan memperhatikan arah angin. Api hasil pembakaran menyala secara sempurna karena sampah yang dibakar betul-betul kering sehingga tidak menimbulkan asap yang parah. Proses membakar ladang hanya beberapa jam saja. Setelah itu api padam dan tidak ada asap lagi. Petani pun akan memastikan api sudah padam sebelum meninggalkan lokasi.
Tahapan membuka ladang hingga panen pun syarat dengan ritual agar tidak terjadi berbagai gangguan dan tidak merugikan orang lain. Apabila api melebar ke lahan orang lain, pihak yang teledor akan dihukum adat.
Saat lahan sudah tidak dipergunakan lagi untuk ladang akan ditanami dengan berbagai jenis kayu dan tanaman umbi umbian. Mereka melakukan reboisasi secara mandiri sehingga lahan bekas ladang tidak gundul, tetapi akan menjadi hutan kembali seperti sediakala.
Lahan gambut
Kabut asap pekat yang terjadi setiap kebakaran lahan bersumber dari lahan gambut di Kubu Raya dan Kota Pontianak. Sebagian juga lahan gambut di Kabupaten Ketapang. Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Kalbar, di Kalbar ada sekitar 1,7 juta hektar gambut. Sebagian besar tersebar di Kubu Raya, yakni seluas 471.187 hektar.
Berdasarkan pantauan Kompas, lahan gambut di Kubu Raya dan Pontianak kerap terbakar saat musim panas. Bahkan, meski sudah dipadamkan oleh petugas berkali-kali, api terus menyala karena lahan dibakar lagi oleh oknum tertentu. Apalagi, kedalaman gambut bisa berkisar 4 meter. Lokasi yang kerap terbakar itu dekat dengan perkotaan, bukan di pedalaman.
Akibatnya, Pontianak dan Kubu Raya setiap musim panas dikepung asap pekat. Sekolah beberapa minggu lalu sempat diliburkan. Bahkan, sekitar 2.000 orang menderita infeksi saluran pernapasan akut akibat kualitas udara memburuk hingga level berbahaya. Penerbangan pun sempat terganggu.
Satgas darat kewalahan menangani kebakaran lahan karena sumber air untuk pemadaman terbatas. Akhirnya, dibantu dengan pemadaman dengan 10 helikopter dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Bahkan, itu pun tidak bisa memadamkan api di lahan gambut Kubu Raya dan Pontianak.
Akhirnya, BNPB bersama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi juga terus melakukan hujan buatan atau teknologi modifikasi cuaca menggunakan pesawat Casa 212-200 TNI AU. Bahan semai natrium klorida (CaCl) ditaburkan ke dalam awan-awan potensial di angkasa sehingga Pontianak dan Kubu Raya diguyur hujan lebat. Barulah kebakaran di lahan gambut bisa diatasi. Sejak Rabu (29/8/2018), kebakaran gambut sudah tidak ada lagi.
Keterlibatan korporasi
Kebakaran lahan gambut juga diperparah adanya dugaan keterlibatan korporasi berdasarkan temuan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar.
Direktur Eksekutif Walhi Kalbar Anton P Widjaya mengatakan, berdasarkan data titik api pada 14 Agustus yang di-overlay dengan peta sebaran konsesi di Kalbar, dari 790 titik api terdapat 201 titik api berada di dalam konsesi. Overlay sebaran titik api Walhi Kalbar bersumber dari citra Modis C6 Kalbar NASA 2018 dengan confidence 80-100 persen dengan Peta Sebaran Investasi di Kalbar.
Sebaran titik api di lahan korporasi kembali ditemukan berdasarkan overlay sebaran titik api tanggal 16 Agustus, ada 1.025 titik panas di Kalbar. ”Dari jumlah itu, 853 titik panas berada di lahan korporasi baik perkebunan, hutan tanaman industri (HTI), hak pengusahaan hutan, maupun pertambangan,” kata Anton.
Masih terjadinya kebakaran lahan di Kalbar juga menunjukkan klaim perbaikan tata kelola gambut di Kalbar gagal. Realitas ini menegaskan restorasi gambut tanpa penegakan hukum kepada korporasi adalah kesia-siaan.
Adanya keterlibatan korporasi terkait kebakaran lahan juga semakin kuat dengan adanya area terbakar milik lima perusahaan perkebunan di Kubu Raya yang disegel Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Sabtu (25/8/2018) dan Minggu (26/8/2018).
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyegel area terbakar milik lima korporasi di Kubu Raya pekan lalu. Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani, yang memimpin langsung menyegelan itu, mengungkapkan, informasi awal mengenai kebakaran di area perusahaan diperoleh dari satelit dan pengecekan lapangan. Penyegelan lokasi yang terbakar itu untuk mendukung penegakan hukum kebakaran hutan dan lahan secara tegas sehingga ada efek jera.
Selama ini, berdasarkan catatan Kompas, penegakan hukum oleh kepolisian masih tebang pilih. Kasus pada 2015 yang melibatkan tiga koporasi yang diduga membakar lahan hingga kini tidak ada kepastian. Aparat cenderung menindak masyarakat kecil, tetapi takut untuk menindak korporasi. Akibatnya, kebakaran lahan terus terjadi karena tidak ada efek jera.
Kebakaran lahan terus terjadi. Pada 2015 jumlah titik panas mencapai 2.711 titik, pada 2016 mencapai 1.576 titik panas, 2017 sebanyak 3.397 titik, dan 2018 sejauh ini mencapai 5.227 titik. Luas lahan yang terbakar pada 2015 seluas 74.858 hektar, 2016 seluas 1.841,85 hektar, 2017 seluas 2.839,21 hektar, dan pada 2018 sejauh ini mencapai 3.808,38 hektar.
Namun, Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Kalbar Mukhlis Bentara mengklaim, titik api yang berada di lokasi korporasi tidak ada yang anggota Gapki. Termasuk lima korporasi di Kabupaten Kubu Raya yang lahannya disegel Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akhir pekan lalu bukan anggota Gapki.
Untuk perusahaan yang tergabung dalam GAPKI sudah melakukan antisipasi kebakaran lahan dengan berbagai langkah. Langkah itu misalnya menyiapkan peralatan pemadam dan embung serta membentuk masyarakat peduli api. Hanya memang perlu ditingkatkan lagi efektivitasnya.
Restorasi gambut
Upaya untuk merestorasi gambut terus diupayakan pemerintah agar kebakaran lahan tidak terjadi lagi di lahan gambut.
Kepala Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman, dan Lingkungan Hidup Provinsi Kalbar Adi Yani mengatakan, upaya mencegah kebakaran lahan sudah dilakukan sejak 2017 melalui restorasi gambut. Pada 2017 ada sekitar 3.000 hektar gambut yang masuk dalam program restorasi dari sekitar 2 juta hektar total gambut di Kalbar.
Target restorasi gambut 3.000 hektar itu di Kabupaten Kubu Raya dan ada juga di Mempawah. Tahun 2018 ada sekitar 38.000 hektar yang menjadi sasaran restorasi.
”Untuk yang 3.000 hektar itu, kami sudah membentuk masyarakat desa peduli gambut. Mereka yang menjadi tulang punggung agar tidak terjadi kebakaran lahan. Dalam waktu dekat, mereka akan kami kumpulkan lagi untuk diberi pengarahan,” kata Adi.
Selain itu, di area 3.000 hektar itu pula sudah dibangun 200 sekat kanal dan sekitar 100 sumur bor. Sekat kanal itu dibangun agar gambut basah sehingga mencegah kebakaran lahan. Sementara sumur bor fungsinya bisa dipergunakan masyarakat peduli gambut untuk menyemprot gambut. Tim Manggala Agni pun bisa menggunakannya untuk pemadaman api.
”Kebakaran lahan dan kabut asap masih ada diduga karena kebakaran terjadi jauh dari area restorasi gambut khususnya dari sumur bor. Dengan kondisi itu, kebakaran lahan dan kabut asap cukup sulit untuk ditanggulangi,” kata Adi.