Jadi Tersangka, Mantan Wali Kota Depok Nurmahmudi Ismail Segera Diperiksa Polisi
Oleh
Khaerudin
·3 menit baca
DEPOK, KOMPAS - Kepolisian Resor Kota Depok menetapkan mantan Wali Kota Depok Nur Mahmudi Ismail periode 2006--2016 dan mantan Sekretaris Daerah Harry Prihanto sebagai tersangka kasus korupsi terkait pengadaan tanah untuk proyek pelebaran jalan di Jalan Nangka, Depok pada 2015. Korupsi ini menyebabkan kerugian negara sekitar Rp 10 miliar.
Pengadaan tanah di Jalan Nangka, Sukamaju Baru, Kecamatan Tapos, Depok, Jawa Barat itu ditujukan untuk proyek pelebaran jalan. Kepala Kepolisian Resor Kota (Polresta) Depok Kombes Pol Didik Sugiarto mengatakan, penyidikan telah berlangsung sejak November 2017.
"Sudah ada barang bukti berupa surat dan pemeriksaan pada 80 orang saksi. Dari penyidikan tersebut, tim penyidik Polresta Depok menemukan adanya perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh saudara NMI dan HP. Kami akan terus mengumpulkan barang-barang bukti," kata Didik.
Perbuatan melanggar hukum yang dituduhkan kepada Nur Mahmudi dan Harry adalah pengucuran dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Depok Tahun Anggaran 2015. Padahal, kata Didik, menurut surat izin yang dibuat Nur Mahmudi, pengadaan tanah untuk pelebaran jalan dibebankan kepada pihak pengembang.
Dari proses audit oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, jumlah kerugian negara yang disebabkan penyelewengan dana tersebut mencapai sekitar Rp 10 miliar.
Hingga saat ini, Nur Mahmudi dan Harry belum dicekal kepolisian. Didik mengatakan, pihaknya perlu mengumpulkan lebih banyak barang bukti untuk mengambil langkah lebih jauh.
"Semua prosedur pasti akan kami laksanakan, termasuk pencekalan. Saat ini baru penetapan tersangka, belum pemanggilan. Setelah barang bukti mencukupi, penyidik pasti akan memanggil saudara NMI dan HP," kata Didik.
Polresta Depok telah menetapkan Nur Mahmudi dan Harry sebagai tersangka pada 20 Agustus lalu. Namun pengumuman status keduanya sebagai tersangka baru dilakukan hari Rabu (29/8/2018) ini. Artinya, pengumuman penetapan keduanya sebagai tersangka tertunda selama sembilan hari. Terkait dengan itu, Didik mengatakan, hal itu merupakan bagian dari strategi dan pertimbangan tim penyidik.
Warga sudah renovasi
Pantauan Kompas di Jalan Nangka yang bersimpangan dengan Jalan Raya Bogor, pelebaran jalan belum dilaksanakan. Namun, beberapa warga yang tinggal di sisi utara jalan telah memberikan tanahnya kepada pihak pengembang yang diperantarai beberapa dinas di Kota Depok. Beberapa rumah tengah dibangun kembali, sedangkan rumah-rumah lainnya terlihat baru selesai dicat.
Rumah Sofiyah (63) kini tengah dalam tahap renovasi setelah tanah tempat tinggalnya dibeli sepanjang 6 meter. Setiap meter tanahnya dihargai Rp 5,6 juta.
"Sudah lunas sejak Desember 2014. Waktu itu petugas-petugasnya pada buru-buru. Saya di ditanyain \'mau enggak harga Rp 5,6 juta? Kalau mau, ayo tanda tangan, daripada nanti ribet kalau diurus di kantor.\' Ya, kan saya jadi enggak punya pilihan selain jual tanah," kata Sofiyah.
Sofiyah mengira pelebaran jalan akan segera dilaksanakan pada tahun 2015, tetapi rencana pembangunan tidak kunjung jelas.
Tahun 2017, ia malah dipanggil dua kali untuk memberi keterangan pada kepolisian Kota Depok. Di samping itu, sampai saat ini, sertifikat tanah miliknya dan adiknya--yang tinggal tepat di samping rumahnya--belum dikembalikan oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Kota Depok. Ia berharap pengerjaan jalan segera dimulai dan sertifikat tanahnya dikembalikan.
Hal senada juga dikatakan oleh tetangga Sofiyah yang tidak ingin disebutkan namanya. Mertuanya telah menerima sejumlah uang dari pihak pengembang sehingga dapat merenovasi bagian depan bangunan miliknya yang dimundurkan sekitar 6 meter dari letak awal. Ia mengatakan, keluarganya juga dipanggil kepolisian untuk memberikan keterangan.
Berbeda dengan Murni (38) yang mengontrak ruangan untuk membuka toko buah dan camilan. Tanahnya belum dibeli oleh pihak pengembang sehingga bangunannya masih terletak lebih dekat dengan Jalan Nangka. Ia mengatakan, pemilik gedung yang ditempatinya belum menerima uang.
"Kata yang punya tanah, belum bisa diproses, soalnya ternyata lagi ada kasus (korupsi oleh Nur Mahmudi). Padahal, tetangga-tetangga sebelah udah pada diukur tanahnya sama PUPR dan Dishub (Dinas Perhubungan). Kayaknya nanti nyusul," kata Murni. (KRISTIAN OKA PRASETYADI)