Perempuan Lansia Berisiko Mengalami Diskriminasi Ganda
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Jumlah penduduk lanjut usia di Indonesia diperkirakan mencapai 10 persen dari jumlah penduduk atau hampir 36 juta jiwa pada 2025. Saat memasuki lanjut usia, perempuan berisiko mengalami diskriminasi ganda karena statusnya sebagai perempuan dan sebagai penduduk lanjut usia.
Namun, hingga kini penduduk lanjut usia (lansia), termasuk perempuan, belum mendapat perhatian optimal dari pemerintah. Padahal, lansia adalah salah satu indikator pembangunan, selain anak, perempuan, dan disabilitas. Adapun lansia adalah penduduk berusia 60 tahun atau lebih.
”Jumlah lansia di Indonesia besar. Menurut hasil Survei Penduduk Antar Sensus (Supas) tahun 2015, jumlah lansia 21,6 juta jiwa,” ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Susana Yembise pada Sosialisasi dan Lokakarya ”Pembentukan Model Perlindungan Lansia yang Responsif Jender” di Jakarta, Kamis (23/8/2018).
Menurut Yohana, perlu ada kajian terkait lansia untuk memberi masukan bagi pemerintah dalam membuat kebijakan pemberdayaan dan perlindungan lansia. ”Kita harus memperhatikan lansia. Lansia dinomorduakan, tak diperhatikan,” ujarnya.
Bahkan, di Indonesia para lansia hanya menjaga cucu-cucunya, padahal lansia memiliki potensi lebih dari itu, menikmati masa kebahagiaan mereka. Lansia bukan berarti berhenti produktif.
Menurut Yohana, dari 21 juta jiwa lansia di Indonesia, 11 juta lebih adalah perempuan. Itu menunjukkan usia harapan hidup perempuan umumnya lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Karena itu, perlu diskusi publik soal lansia, bagaimana memberdayakan lansia, menyusun kebijakan termasuk insentif negara untuk lansia.
”Kalau yang pensiunan pegawai tidak jadi masalah. Kita kerap melihat kakek dan nenek di kampung tak diperhatikan. Itu jadi tantangan, jangan hanya di kota, tapi di kampung harus diperhatikan,” ungkap Yohana. Ada banyak kebutuhan perempuan lansia, antara lain jaminan kesehatan, jaminan kesejahteraan sosial, dan perlindungan hukum.
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan PHP Kementerian PPPA Vennetia R Danes memaparkan, Indonesia termasuk lima besar negara dengan jumlah lansia terbanyak di dunia. Jika tak ada upaya tepat pemerintah, kemiskinan mengancam penduduk lansia.
”Tidak bisa dimungkiri, ada kekhawatiran tiap lansia jatuh miskin. Sebab, secara alamiah bertambahnya usia sehingga fungsi organ tubuh berkurang dan berdampak pada kesehatan,” ujarnya.
Rentan kekerasan
Kondisi ini membuat lansia menjadi kelompok rentan dari perilaku kekerasan. Selain karena fisik, juga karena rendahnya pemahaman masyarakat tentang lansia. Bahkan perempuan lansia selalu dikonotasikan sebagai kelompok rentan yang selalu bergantung pada orang produktif dan mandiri di usia tua.
Karena itu, perlu penanganan khusus terhadap penduduk lansia perempuan. Kegiatan Sosialisasi dan Lokakarya “Pembentukan Model Perlindungan Lansia yang Responsif Jender” kerjasama KPPPA dan Mitra Daya Setara (MDS) untuk memberikan perlindungan kepada lansia di semua bidang.
Kondisi perempuan lansia saat ini juga dipaparkan para narasumber dalam sesi diskusi panel yakni Andi Hanindito (Direktur Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial), Wahyuni Khaulah (Kepala Seksi Kesehatan Lansia Kementerian Kesehatan), Prof Tri Budi (Pusat Studi Kelanjutusiaan Universitas Indonesia), Nyimas Aliah (Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Situasi Darurat dan Kondisi Khusus Kementerian PPPA), Ratna Hapsari (Dahlia Senja), dan Mudjiati (MDS).
Tri Budi memaparkan lansia rentan terkena penyakit serta terkena disabilitas. “Namun, lansia tetap ada yang bekerja dan beraktivitas untuk keluarga. Karena itu lansia diharapkan tetap aktif dan produktif dan dijaga kesehatannya. Meskipun sudah mengalami keterbatasan agar tetap berkualitas dan bermartabat,” kata Tri Budi.
Andi mengungkapkan seiring meningkatnya jumlah lanjut usia meningkat, berbagai hambatan juga muncul antara lain para pendamping lanjut usia seiring waktu berjalan akan mengalami penurunan emosional, sementara jumlah yang mau menjadi pendamping lansia relatif sedikit.
“Isu lanjut usia tidak “sexy”, padahal semuanya akan menjadi lanjut usia. Selain itu, sampai dengan hari ini istilah caregiver atau pendamping belum akrab di telinga kita semua. Padahal kehadiran caregiver diperlukan oleh semua pihak termasuk lanjut usia.