Gempa Malam Itu Mengoyak Mental Warga
Tangan Iyah (65) masih gemetar saat membenahi pasak kayu tenda yang baru saja dipasang di Lapangan Menanga Baris, Desa Gunung Malang, Kecamatan Pringgabaya, Kabupaten Lombok Timur, Senin (20/8/2018) sore. Tergopoh-gopoh, ia memasuki tenda lalu berbaring sebentar.
Nenek dua cucu itu masih syok dengan gempa berkekuatan Magnitudo 6,5 yang mengguncang Lombok, Nusa Tenggara Barat, Minggu malam. “Saya takut. Waktu ada gempa saya gemetaran,” ucap Iyah yang tinggal di dalam tenda beratap sarung bercampur terpal.
Saat gempa, Iyah berada di dalam tenda di luar rumahnya di Dusun Menanga Baris. Tanah tiba-tiba bergetar, warga pun berhamburan lari di jalanan sembari berteriak. Iyah berzikir.
Karena trauma, Iyah tak beranjak dari tenda. Dia takut hingga tak dapat menggerakkan badannya. “Dia ini seperti pingsan. Diam saja. Makanya langsung saya tarik keluar tenda,” ucap Rumasih (70), suami Iyah.
Trauma yang dialami warga perlu dipulihkan agar tidak berlanjut pada kondisi mental yang lebih parah.
Rumasih menggandeng Iyah sejauh 200 meter hingga tiba di lapangan. Mereka lalu berbaring di atas rerumputan, karena guncangan masih terus terjadi. “Tadi malam kami tidur di atas rumput, karena takut mau mendirikan tenda,” kata Rumasih.
Sekitar 300 keluarga dari Dusun Menanga Baris dan Dusun Batu Segerung, termasuk Rumasih dan Iyah, mengungsi ke lapangan sepakbola yang cukup luas itu. “Kalau tidak ada keperluan mendesak untuk ke rumah, warga diarahkan tetap di lapangan demi keselamatan,” ucap Ketua RT 3 Dusun Menanga Baris, Khairudin.
Gempa berkekuatan M 6,9 yang berpusat 30 kilometer di timur laut Lombok Timur itu diikuti gempa lain yang lebih kecil hingga Senin pagi. Itu membuat warga panik dan semakin takut untuk mendekat ke rumah. Sebelumnya, gempa besar terjadi dua kali, yakni M 6,4 pada 29 Juli 2018 dan M 7,0 pada 5 Agustus 2018.
Tidak hanya Iyah yang mengalami trauma akibat rangkaian gempa beruntun di Lombok. Warga lain juga was-was bumi terus berguncang akibat gempa. “Setiap ada gempa, kaki saya gemetar,” kata Mila (23), pengungsi di Lapangan Dusun Menanga Baris.
Ibu dua anak ini trauma setelah gempa berkali-kali. Setiap gempa, kaki Mila gemetar. Itu membuatnya harus ditarik orang lain ke tempat aman saat gempa, karena ia panik ketika gempa melanda. “Saat gempa Minggu malam, saya ditarik suami saya menjauhi rumah. Beruntung bisa menjauh. Teras rumah saya roboh,” katanya.
Minggu malam, saat gempa M 6,5, Mila membangunkan kedua anaknya, Amel (6) dan Adel (1) yang tertidur lelap sebelum pindah ke lokasi yang lebih aman. Hanya selembar selimut yang dibawa untuk menghangatkan anak bungsunya. Mila dan Amel hanya membawa baju yang menempel di badan. “Saya berulang kali terjatuh saat lari dari gempa,” ucapnya.
Mila meninggalkan pengungsian yang dibangun di teras rumahnya menuju lapangan yang berjarak sekitar satu kilometer. Di Minggu malam itu, dia dan keluarganya tidur beratapkan langit dan beralas rumput. Saat malam, udara dingin menusuk tulang. Namun, kedua anaknya bisa tidur. “Tidak bisa tidur karena malam itu selalu ada gempa susulan,” ucapnya.
Memunculkan trauma
Pascagempa, Mila kini mengkhawatirkan kondisi psikis Amel. Anak sulungnya itu trauma sejak gempa. Ketika ada suara gemuruh, Amel selalu takut dan mencari ibunya. Gejala itu terjadi sejak keluarganya tidur di tenda yang didirikan di teras rumah usai gempa Minggu (5/8/2018).
Awalnya, Mila dan keluarganya memilih mendirikan tenda pengungsian di teras. Mereka menilai teras merupakan tempat aman berlindung karena tidak masuk ke dalam bangunan rumah. Bahkan, setelah hampir dua pekan mengungsi, mereka berniat kembali ke rumah karena intensitas gempa mulai menurun. “Tidak tahunya justru lebih besar,” katanya.
Seperti halnya Iyah dan Mila, gempa di Lombok membuat sebagian besar warga trauma karena terjadi setiap hari. Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan, hingga Minggu pukul 12.00 WIB telah terjadi 797 aktivitas gempa bumi susulan (aftershock), 33 gempa bumi di antaranya dirasakan sejak kejadian gempa pertama di Lombok pada 29 Juli lalu.
Berdasar data posko penanganan darurat bencana gempa Lombok hingga Senin (20/8/2018) sore, jumlah korban meninggal akibat gempa mencapai 514 jiwa, sebanyak 1.054 orang terluka, dan 431.416 orang mengungsi. Adapun rumah rusak yang terdata sementara sebanyak 71.740 unit.
Hingga saat ini, belum ada cara untuk memprediksi terjadinya gempa bumi. Gempa bisa terjadi di mana pun dan kapan pun. Seperti dialami Munra Bangsawan (28), warga Desa Sugihan, Kecamatan Sambelia, Lombok Timur.
Saat gempa bermagnitudo 6,5 Minggu (19/8/2018) pukul 12,10 Wita, dirinya sedang berada di laut. “Gelombang tiba-tiba naik hingga dua meter dan masuk ke perahu,” kata Munra yang saat itu memancing di Laut Bali.
Gempa yang terjadi di Minggu malam itu juga membuat anaknya trauma. Dua anaknya, Azmi (10) dan Indrawan (3) selalu kaget ketika mendengar suara gemuruh. Sebab, dua kali anaknya berada dalam situasi gempa yang merobohkan bangunan rumah. “Gempa besar pertama (29 Juli) hanya satu rumah di desa yang roboh, tetapi ketika gempa besar kedua (19 Agustus) hampir semua rumah roboh,” ucapnya.
Pemulihan trauma
Ketua Tim Psikologi TNI Letnan Kolonel (Laut) Mawi Utomo mengatakan, gempa besar yang terjadi beberapa kali dan beruntun dapat membuat pengungsi semakin trauma terhadap guncangan. Trauma yang dialami warga perlu dipulihkan agar tidak berlanjut pada kondisi mental yang lebih parah.
Tim psikologi TNI beranggotakan enam psikolog yang bertugas mempercepat pemulihan trauma korban gempa. Mereka dibantu relawan, baik itu psikolog profesional yang tergabung dalam Himpunan Psikologi Indonesia maupun organisasi non-pemerintah.
Hingga Minggu (19/8/2018), sebanyak 9.312 pengungsi yang terdiri atas 8.403 anak-anak dan 909 orang dewasa sudah ditangani tim Psikologi TNI bersama relawan. Tim mereka disebar di lima posko pengungsian, yakni Tanjung, Sigar Penjalin, dan Pemenang di Lombok Utara serta Sembalun dan Sajang di Lombok Timur.
Menurut Mawi, terdapat beberapa stadium trauma akibat bencana alam yang dapat dikategorikan pada trauma ringan, sedang, dan berat. Penanganan korban trauma disesuaikan dengan jenis trauma yang mereka alami. “Kalau yang ringan mungkin hanya perlu konsultasi sedangkan yang trauma berat perlu ada terapi untuk pemulihan,” ujar Mawi.
Mawi mencontohkan, sejumlah trauma berat yang diakibatkan bencana alam gempa yakni, pengungsi yang tubuhnya tiba-tiba kaku karena ada guncangan atau ada kepanikan akibat gempa. Kondisi ini dapat dipulihkan lewat hipnoterapi.
Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) B Wisnu Widjaja mengungkapkan, gempa yang terjadi secara beruntun dalam jangka waktu yang cukup lama di NTB membuat proses pemulihan trauma korban akan berlangsung lebih panjang. Penanganan trauma ini berbeda dengan gempa yang hanya terjadi sekali di daerah lain.
Tiada yang tahu, kapan gempa susulan atau gempa baru di Lombok. Mudah-mudahan, tidak ada gempa baru lagi. (ZAK/RUL)