Pertarungan Meraih Suara Politik
Berabad-abad lamanya orang Papua melakoni seni bertahan hidup lewat bakar batu. Kini, tradisi itu berjalan tak lagi semata ritual adat. Bakar batu mulai dimanfaatkan untuk meraih suara politik sebesar-besarnya. Tak terkecuali di Distrik Silokarno Doga, Kabupaten Jayawija, Papua.
Siang itu anak-anak berlarian di tengah hutan di Kampung Pumo, Distrik Silokarno Doga. Sembari menunggu masaknya ubi dan sayuran, permainan perang-perangan pun digelar. Sejumlah pemuda memainkan gitar dan bernyanyi.
Lewat satu jam, Kepala Adat Eligius Karoba Mabel memberi komando. Para mama pun bergegas menuju lubang bakar batu. Tumpukan batu dan dedaunan dibongkar. Ubi-ubi dan sayuran dikeluarkan. Setiap bagian dibagi rata kepada tiap-tiap keluarga. Maka, sekejap saja hasil masakan di dalamnya yang hanya berupa ubi dan sayuran hijau habis disantap.
Persis sehari sebelumnya, tak jauh dari kampung itu, digelar pula acara bakar batu. Serupa tetapi tak sama. Kali ini, bakar batu digelar dan dibiayai sepenuhnya oleh salah satu pasangan yang mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah di Jayawijaya.
Berbeda dengan bakar batu di Kampung Pumo yang begitu sederhana, bakar batu itu terbilang mewah. Hampir 10 babi dikurbankan sebagai menu utama dalam lubang bakar batu, selain sayuran dan ubi.
Untuk acara bakar batu itu, terkuras setidaknya lebih dari setengah miliar rupiah. Namun, acara itu mampu menyedot ratusan orang hadir berkumpul di sana.
Identitas Papua
Ubi dan bakar batu begitu erat mencitrakan identitas kuliner orang Papua. Terlebih bagi komunitas suku Dani, ubi menjadi makanan pokok. Ketika tidak diolah lewat bakar batu, ubi akan dibakar biasa untuk konsumsi sehari-hari.
Kees Lagerberg mengisahkan dalam buku berjudul Belanda di Irian Jaya (Besturen in Nederlands-Nieuw-Guinea 1945-1962 Ontwikkelingswerk in een periode van politieke onrust), betapa terampilnya orang Papua memanfaatkan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidup. ”Orang Papua ternyata sudah berabad-abad lamanya memahami seni bertahan hidup. Mereka tahu persis bagian mana dari ubi bakarnya yang dapat dikonsumsi,” sebutnya.
Aktivitas bakar batu melewati serangkaian proses. Acara itu digelar saat perayaan atau ungkapan syukur dalam keluarga.
Pada saat diadakan upacara adat, seperti inisiasi anak, pesta perkawinan Heyokai, atau upacara pelunasan utang, digelarlah bakar batu dengan menghadirkan keluarga besar.
Acara diawali dengan menumpuk batu, lalu kayu-kayu kecil, dan dedaunan dari pohon kasuari. Setelah semua ditumpuk barulah api dinyalakan. Api membakar kayu. Proses pembakaran ini sekaligus mematikan bakteri-bakteri yang menempel pada batu.
Langkah selanjutnya membuat lubang untuk memasak. Lubang dilapisi alang-alang atau disebut jele asep. Lapisan itu dipertebal dengan rumput dan bebatuan yang telah dipanaskan.
Setiap orang mengambil satu per satu batu yang sangat panas itu dengan penjepit dari kayu buah yang disebut heliba. Silih berganti mereka memindahkan batu panas itu ke dalam lubang hingga tersusun rapi.
Di atas batu, barulah disusun berbagai jenis makanan, mulai dari ubi (hipere), jagung (bete hom), daun ubi (hipereka), daun paku (wakol eka), hingga labu. Lalu, lapisan makanan kembali ditutup dengan rumput dan ditutup lagi dengan batu panas di atasnya. Lapisan teratas adalah daun pisang. Proses memasak pun berjalan. Antara satu dan dua jam, seluruh masakan matang dan siap disantap.
Antropolog asal Papua yang kini menjadi kurator Museum Negeri Papua, Enrico Kondologit, mengatakan, bakar batu di pegunungan biasanya selalu dilakukan dalam kegiatan yang berhubungan dengan upacara adat, misalnya dalam acara pemberian mas kawin. Bakar batu atau disebut barapen pun sudah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda sejak 2012.
Daging buruan atau hewan biasanya dibungkus kulit pohon, barulah dibakar agar daging tak rusak. Banyaknya lubang bakar batu juga menjadi petunjuk banyaknya jumlah keluarga yang terlibat.
Terjadi perubahan
Semua orang duduk sama tinggi dan sama rendah. Terasa kuat adanya kebersamaan dan kesetaraan. Saat makan, mengalir petuah-petuah dari para orangtua bagi anak-anak muda. Ketika ada persoalan, di situ pula masalah dibahas dan diselesaikan.
Belakangan, kata Enrico, mulai terjadi pergeseran dalam tradisi bakar batu. Bakar batu kerap digelar dalam pesta-pesta politik.
Salah satu tim pasangan calon biasanya mengawali kampanyenya dengan menggelar bakar batu. Biaya untuk menggelar bakar batu sangat besar. Sekali menggelar, uang tersita ratusan juta. Meski besar biaya yang dikeluarkan, sebanding dengan massa yang hadir melimpah ruah. ”Mereka manfaatkan bakar batu untuk mengumpulkan massa,” katanya.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Cendrawasih Septinus Saa bahkan melihat tradisi bakar batu beralih menjadi salah satu alat komunikasi politik sejak pelaksanaan pilkada pertama di Papua tahun 2005.
Tradisi bakar batu beralih menjadi salah satu alat komunikasi politik sejak pelaksanaan pilkada pertama di Papua tahun 2005.
Bakar batu yang semulanya merupakan kegiatan perayaan berbagai momen di masyarakat Pegunungan Tengah Papua, seperti kemenangan perang atau acara adat, telah bergeser menjadi cara meraih dukungan pemilih. ”Pemilih tradisional lebih melihat adanya kedekatan emosional, kebiasaan, dan cara berkomunikasi. Hal itu terwujud melalui bakar batu,” katanya.
Yang menakutkan jika bakar batu menjadi sarana kampanye hitam. Hal itu berpotensi memicu konflik. Jangan sampai masyarakat tersilaukan olehnya.