Hakim Menolak Gugatan Warga Celukan Bawang Soal PLTU
Oleh
Cokorda Yudistira/Brigitta Isworo Laksmi
·3 menit baca
DENPASAR, KOMPAS – Majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Denpasar, Kamis (16/8/2018), memutuskan tidak menerima gugatan perwakilan masyarakat bersama organisasi lingkungan Greenpeace Indonesia terkait dengan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Celukan Bawang. Mereka menggugat Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor 660.3/3965/IV-A/DISPMPT tentang Izin Lingkungan Hidup Pembangunan PLTU Celukan Bawang.
Majelis hakim yang diketuai AK Setiyono menyatakan, penggugat tidak memiliki kepentingan secara yuridis untuk mengajukan gugatan. Majelis hakim juga menolak dalil penggugat, antara lain, bahwa penggugat mengalami penurunan hasil panen kelapa dan berkurangnya daerah penangkapan ikan apabila pembangunan PLTU Celukan Bawang berjalan. Majelis hakim berpendapat dalil itu tidak terbukti karena belum ada kegiatan pembangunan di lahan proyek PLTU Celukan Bawang.
Majelis hakim memberi kesempatan kedua belah pihak untuk menyatakan menerima, mengajukan banding, atau pikir-pikir selama 14 hari sejak putusan dibacakan.
Kuasa hukum tergugat, yakni Gubernur Bali, dan kuasa hukum tergugat II intervensi, yakni PT PLTU Celukan Bawang, menyatakan menerima putusan majelis hakim. Adapun kuasa hukum penggugat menyatakan pikir-pikir. Namun, di luar persidangan, kuasa hukum penggugat, I Wayan ”Gendo” Suardana, mengatakan, ”Kami akan banding.”
Kuasa hukum PT PLTU Celukan Bawang, Hotman Paris Hutapea, menyatakan, pihaknya menerima putusan majelis hakim PTUN Denpasar yang juga mengabulkan eksepsi mereka. Ditemui secara terpisah di PTUN Denpasar, I Nyoman Sumanta dari kuasa hukum Gubernur Bali mengatakan, pengadilan sudah menyatakan SK Gubernur Bali itu sudah melalui proses yang sesuai.
Batubara
Pada Januari 2018, empat warga Celukan Bawang dan sekitarnya di Buleleng, Bali, bersama Greenpeace Indonesia mengajukan gugatan atas SK Gubernur Bali yang diterbitkan April 2017 itu. Penggugat beralasan, SK Gubernur Bali itu cacat prosedur karena diterbitkan tanpa memenuhi aspek kelengkapan dan bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Surat Keputusan Gubernur Bali tersebut juga dinilai bertentangan dengan sejumlah peraturan.
Penggugat juga berpendapat obyek gugatan berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan hidup yang dapat merugikan kepentingan penggugat. Rencana pembangunan PLTU Celukan Bawang yang berkapasitas 2 x 330 megawatt tidak sesuai dengan rencana usaha penyediaan tenaga listrik nasional sehingga dinilai berpotensi merugikan negara. PLTU Celukan Bawang di Buleleng merupakan pembangkit listrik di Bali yang menggunakan bahan bakar batubara. Di area PLTU Celukan Bawang itu sudah terdapat pembangkit listrik berkapasitas 380 MW.
Disesalkan
Seusai persidangan I Wayan Suardana menyayangkan pendapat majelis hakim bahwa dalil yang diajukan warga tidak terbukti karena belum ada kegiatan pembangunan di lahan proyek PLTU Celukan Bawang. Apalagi, Hakim Ketua A K Setiyono merupakan hakim dengan sertifikasi lingkungan. Dia mengatakan, pada hakekatnya hukum lingkungan adalah bersifat mencegah, bukan bersifat reaksi terhadap dampak yang sudah terjadi.
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia-Lembaga Bantuan Hukum Bali (YLBHI-LBH) Dewa Putu Adnyana juga menyesalkan dasar keputusan bahwa majelis hakim menafsirkan perlunya dampak atau kerugian langsung untuk menggugat.
“Kami sudah menghadirkan ahli hukum administrasi negara Dewa Candra, ada frase bahwa ada orang yang bilamana merasa dirugikan. Kata “merasa” itu bisa diartikan akan ada ancaman di masa mendatang. Oleh karena itu, seseorang dan badan hukum sudah dapat berkapasitas sebagai penggugat berdasar Pasal 53 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara tersebut. Kami menilai hakim tidak obyektif didukung fakta bahwa majelis hakim menolak gugatan tersebut,” kata Putu.
Salah satu warga yang turut menggugat, Mangku Wijana, mengatakan, “Sangat kecewa dengan keputusan tadi karena sangat tidak sesuai dengan fakta yang ada di lapangan karena nyata kerusakan akibat batubara itu kebun saya sendiri. Hasil kebun kelapa saya hasilnya bentuknya mengecil. Pak Hakim tidak tahu seharusnya pak Hakim itu turun ke lapangan.”
Gus Roy Murtadho dari Sayongjo Institute mengatakan, “Ini suatu awal yang baik untuk melakukan konsolidasi pada kawan-kawan (lembaga swadaya masyarakat) lokal. Agenda perjuangannya masih panjang baik melalui litigasi maupun agenda perjuangan yang lebih terkonsolidasi dan solid.”