MK Diharap Lebih Responsif
Enny Nurbaningsih mengucapkan sumpah menjadi hakim konstitusi baru. Enny dan delapan hakim konstitusi lain diharapkan lebih responsif menjawab persoalan ketatanegaraan yang ada.
JAKARTA, KOMPAS - Estafet sosok perempuan hakim di Mahkamah Konstitusi berlanjut. Maria Farida Indrati sebagai satu-satunya perempuan hakim konstitusi selama 10 tahun terakhir digantikan posisinya oleh Enny Nurbaningsih.
Enny mengucapkan sumpah sebagai hakim konstitusi di hadapan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (13/8/2018). Enny diangkat menjadi hakim konstitusi melalui Keputusan Presiden Nomor 134 Tahun 2018. Keppres yang sama sekaligus memberhentikan Maria sebagai hakim konstitusi karena masa jabatannya telah selesai.
Hadir dalam upacara itu Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly; Menteri Sosial Idrus Marham, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo; Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Laode Muhammad Syarif; anggota Dewan Etik MK, Ahmad Syafii Maarif; Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Moermahadi Soerja Djanegara; Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid dan Muhaimin Iskandar, Wakil Ketua DPR Agus Hermanto, dan hakim-hakim MK.
MK semalam langsung menggelar acara pisah sambut hakim konstitusi yang dihadiri oleh seluruh hakim konstitusi, mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie, dan lainnya.
Dalam kesempatan itu, Maria mengungkapkan keyakinannya bahwa Enny mampu menjadi hakim konstitusi yang baik. Ia pun mengingatkan bahwa menjadi hakim adalah pilihan menjadi sunyi dan sepi karena hakim harus benar-benar menjaga kode etik.
Selama 10 tahun menjadi hakim konstitusi, Maria dikenal sebagai hakim yang paling banyak mengeluarkan dissenting opinion (pendapat berbeda) serta concuring opinion (alasan berbeda). Maria tercatat mengeluarkan 6 kali DO bersama hakim konstitusi lain, 5 kali DO yang ditulis terpisah, 6 kali concuring opinion sendiri, dan 6 kali concuring opinion bersama hakim konstitusi lain.
Selama 10 tahun menjadi hakim konstitusi, Maria dikenal sebagai hakim yang paling banyak mengeluarkan dissenting opinion (pendapat berbeda) serta concuring opinion (alasan berbeda).
Enny pun mengungkapkan, sejak mengucap sumpah sebagai hakim, dirinya menetapkan standar dan sikap yang berbeda dengan sebelumnya. ”Sekarang saya berposisi menjadi hakim, yang melakukan pengujian atas proses pembentukan UU yang mungkin salah satunya saya terlibat di dalamnya. Otomatis saya harus melakukan perubahan seluruh hal yang di hadapan saya,” katanya.
Tantangan
Ditemui seusai pelantikan, Yasonna menilai Enny adalah sosok dengan integritas dan kemampuan intelektualitas yang baik. Ia berharap mantan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional itu dapat menjadi pengawal konstitusi dan pengawal ideologi negara.
Ketua Panitia Seleksi Calon Hakim Konstitusi yang juga mantan hakim MK, Harjono, mengingatkan, tantangan yang akan dihadapi Enny dan hakim konstitusi lain adalah kian banyaknya perkara uji materi yang diajukan ke MK. Ia berharap Enny dan hakim konstitusi lainnya bisa menjaga kualitas putusan MK.
MK kini telah memasuki usia 15 tahun. Dalam usianya ini, MK juga diharapkan lebih responsif dalam menyikapi persoalan-persoalan ketatanegaraan yang menjadi sorotan publik, terutama menyangkut agenda ketatanegaraan baru. Responsivitas MK penting untuk terus menjamin semua pihak yang terkait dengan pengajuan uji materi undang-undang merasa problem-problem konstitusional yang menyertai suatu ketentuan itu tidak dibiarkan menjadi bola liar oleh MK.
Ketua Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif Veri Junaidi mengatakan, responsivitas MK cenderung turun. Pada awal berdiri, MK mampu memberikan jalur keluar atas sejumlah kebuntuan ketentuan ketatanegaraan, seperti pencoblosan dengan menggunakan kartu tanda penduduk (KTP) yang diputuskan cepat jelang Pemilu.
”Kritik terbesar terhadap MK sebenarnya soal responsivitasnya terhadap persoalan kebangsaan kekinian. Apa yang terlihat di MK saat ini menunjukkan responsivitas yang turun. Itu menjadi problem besar. Semestinya MK bisa mengambil peran sehingga problem konstitusionalitas tidak menjadi bola liar,” kata Veri.
Kritik terbesar terhadap MK sebenarnya soal responsivitasnya terhadap persoalan kebangsaan kekinian. Apa yang terlihat di MK saat ini menunjukkan responsivitas yang turun. Itu menjadi problem besar. Semestinya MK bisa mengambil peran sehingga problem konstitusionalitas tidak menjadi bola liar
Ia merujuk pada perkara uji materi syarat ambang batas pencalonan presiden serta periodisasi jabatan presiden dan wakil presiden.