Pada Juni 2018, Ferry Unardi dari Traveloka, William Tanuwijaya dari Tokopedia, Achmad Zaky dari Bukalapak, dan Nadiem Makarim dari Gojek masuk ke dalam daftar 150 orang terkaya di Indonesia versi majalah Asia Globe. Keempat perusahaan rintisan itu bergerak di bidang penyediaan layanan pemesanan tiket pesawat dan hotel, ritel, serta transportasi daring.
Ferry Unardi (30) berada di posisi ke-146 dengan kekayaan yang ditaksir mencapai 145 juta dollar AS atau lebih dari Rp 2 triliun. William Tanuwijaya di (36) menempati posisi ke-148 dengan nilai kekayaan 130 juta dollar AS atau lebih dari Rp 1,8 triliun.
Achmad Zaky (31) bertengger di posisi ke-149 dengan nilai kekayaan sebesar 105 juta dollar AS atau Rp 1,5 triliun. Adapun Nadiem Makarim (33) di posisi ke-150 dengan nilai kekayaan sebesar 100 juta dollar AS atau Rp 1,4 triliun.
Para pemilik perusahaan rintisan kategori unicorn itu adalah anak muda yang terjun ke bisnis yang masih jarang dieksplor di Indonesia. Masuknya nama mereka ke daftar itu membuat berbagai pihak bertanya-tanya.
Bagaimana sehingga bisnis perusahaan rintisan di bidang ekonomi digital dapat begitu menguntungkan? Apakah bisnis di bidang itu memiliki masa depan yang menjanjikan?
Perusahaan e-dagang, seperti Bukalapak dan Tokopedia, terkenal berperan sebagai penyedia platform dagang daring. Pihak yang bertransaksi adalah pihak ketiga, yakni penjual dan pembeli yang mendaftar. Harga barang yang dijual bahkan lebih murah daripada yang ada di toko fisik.
”Di perusahaan kami, pendapatan berasal dari pemasaran, transaksi, dan partner bisnis,” kata Pendiri dan CEO Bukalapak Achmad Zaky saat ditemui di Jakarta, Kamis (26/7/2018).
Zaky menegaskan, keuntungan setiap perusahaan rintisan diperoleh dari sumber yang berbeda-beda. Hal itu tergantung dari jenis dan gaya berbisnis pemilik dari masing-masing perusahaan.
Bisnis di sektor ekonomi digital dinyatakan membawa keuntungan karena internet mampu menjangkau pasar yang selama ini tidak tersentuh. Selain itu, bisnis ini juga bergerak dengan kecepatan yang luar biasa.
Ia mengilustrasikan, industri otomotif bergerak selama 100 tahun untuk mencapai ratusan juta konsumen. Industri digital hanya membutuhkan dua dekade untuk memiliki sekitar 100 miliar pengguna.
Di Indonesia, industri yang masih menjadi primadona adalah industri rokok. Kondisi itu terlihat dari posisi 10 besar orang terkaya Indonesia masih dipegang oleh pemain lama di dunia tembakau, seperti Robert dan Michael Hartono dari Djarum, Susilo Wonowidjojo dari Gudang Garam, dan Putera Sampoerna dari Sampoerna Strategic.
Meski demikian, memang tidak tertutup kemungkinan kekayaan mereka saat ini juga berasal dari kontribusi sektor bisnis lain, seperti perbankan, telekomunikasi, dan agrobisnis.
Namun, perubahan yang mencengangkan dalam berusaha di dunia digital semakin terlihat di level dunia.
Menurut majalah Forbes, Pendiri dan CEO Amazon Jeff Bezos memiliki kekayaan melebihi 150 miliar dollar AS yang membuatnya menjadi orang terkaya pertama di dunia. Sebagai pemilik perusahaan e-dagang multinasional, kekayaannya mengalahkan pendiri Microsoft Bill Gates, yang bergerak di bidang teknologi, padahal selama ini berada di posisi pertama.
”Pola bahwa perusahaan besar saat ini dikuasai perusahaan yang berkecimpung di dunia internet sudah terlihat di Amerika Serikat, India, Jepang, dan China. Indonesia masih dalam taraf sleeping giant,” katanya.
Di perusahaan ritel, misalnya, perusahaan penyedia data pasar global, Statista dalam Statista Digital Market Outlook 2017, menyebutkan, pendapatan pasar e-dagang global dapat mencapai 2,5 triliun dollar AS pada 2022.
Direktur Eksekutif Indonesia Information Communication Technology Institute Heru Sutadi secara terpisah mengatakan, fenomena semakin tingginya prospek berbisnis di dunia ekonomi digital muncul karena perkembangan zaman. Tak heran, anak muda yang terjun lebih dulu di bisnis itu memperoleh hasilnya saat ini.
”Namun, masih perlu diuji apakah bisnis ini bubble atau tidak,” kata Heru. Salah satu risiko dalam bisnis di dalam ekonomi digital adalah konsumen yang suka beralih secara tiba-tiba.
Misalnya, awal 2000 adalah era ponsel Nokia merajai pasar elektronik. Setelah Nokia, Blackberry ganti merajai dan dikalahkan oleh Samsung serta iPhone. Saat ini, ponsel pintar yang mulai digadang akan ganti mendominasi pasar adalah Huawei dan Oppo.
Ia menyetujui, pola bisnis ekonomi digital masih berada dalam masa peralihan. Dengan demikian, keberlanjutan berbisnis di bidang ini masih baru terlihat dalam waktu satu atau dua tahun ke depan.
”Kuncinya adalah perusahaan harus terus memberikan layanan terbaik bagi pelanggan, berinovasi tiada henti, dan tidak cepat puas dengan hasil yang dicapai saat ini,” ucap Heru.
Investasi
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) dan Menteri Perdagangan 2004-2011 Mari Elka Pangestu mengatakan, tantangan utama perusahaan rintisan di bidang ekonomi digital untuk berkembang saat ini adalah mencari investor yang tertarik. ”Pemilik perusahaan harus membuat produk yang menarik dan memiliki pasar,” katanya.
Zaky menyetujui, pendanaan merupakan salah satu kebutuhan utama perusahaan rintisan untuk berkembang. Pendanaan yang diperoleh perlu dikelola dengan efisien dan sehat sehingga menghasilkan keuntungan.
”Kami mengelola perusahaan dengan motto don’t settle only in one industry agar tetap berkelanjutan,” kata Zaky. Perusahaan rintisan terus berupaya menjajaki bidang lain yang memiliki prospek berbisnis, tetapi tetap bermanfaat bagi masyarakat.