Goblok Jadi Tema Seniman, Karena Kegoblokan Memang Terus Terjadi
Oleh
regina rukmorini
·3 menit baca
Berbagai macam cara orang untuk melakukan ekspresi menangapi fenomena zaman sekarang. Kebetulan sedang menjelang perayaan kemerdekaan yang sarat dengan simbol nasionalisme dan kebangsaan. Pentas Festival Lima Gunung (FLG) XVII di Dusun Wonolelo, Desa Bandongan, Kecamatan Bandongan, Kabupaten Magelang, Jateng, juga tak lepas dari hal itu.
Sedikitnya empat bendera merah putih, besar dan kecil, berkibar-kibar dibawa oleh sejumlah penari yang memakai beraneka kostum di arena pentas FLG XVII Minggu (12/8/2018). Satu bendera dibawa oleh tiga penari berkostum panji yang duduk bersusun tiga di puncak teratas panggung.
Nun jauh di atas, Sang Merah Putih tetap terlihat berkibar gagah di bawah papan bertuliskan tema FLG XVII, Masih Goblok Bareng. Kata goblok mungkin untuk sebagian masyarakat terdengar kasar. Tetapi, seniman punya alasan tersendiri yang masuk nalar.
Budayawan sekaligus Presiden Komunitas Lima Gunung, Sutanto Mendut, mengatakan, oleh sejumlah orang, pemakaian kata goblok memang sempat diprotes karena dianggap terlalu kasar. Namun, menurut dia, tidak apa bertutur kasar karena yang terpenting adalah berupaya agar kebodohan-kebodohan yang ada dalam kehidupan sehari-hari tidak terus menerus terjadi.
“Yang terpenting adalah bagaimana kita berupaya agar kita tidak terus menerus melakukan hal-hal bodoh, sehingga orang lain pun bisa berhenti berkomentar mengatakan kita goblok,” ujarnya.
Berada di puncak, kibaran Merah Putih itu terlihat juga menaungi warga masyarakat yang bangga memberikan pengakuan dengan tulisan di kaosnya, Masih Goblok Bareng. Mereka adalah warga yang menjadi panitia FLG, seniman, atau warga yang memakai kaos yang memang sengaja dicetak, dipesan dan dibeli dari sejumlah orang atau pedagang.
Inung, salah seorang seniman yang tampil, mengatakan, bangga bersama-sama mengaku sebagai warga yang masih goblok bareng.
“Tidak perlu malu karena di Indonesia, hal-hal bodoh, kegoblokan bersama, nyata masih saja terjadi. Misalnya saja, masih ada koruptor yang maju dicalonkan sebagai anggota legislatif, dan ada pula kenyataan bahwa narapidana koruptor yang sudah jelas-jelas merugikan rakyat, tetap dibiarkan menikmati fasilitas mewah di lembaga pemasyarakatan,” ujarnya.
FLG adalah agenda rutin tahunan yang digelar oleh Komunitas Seniman Lima Gunung. Adapun, lima gunung yang dimaksud adalah mengacu pada asal daerah atau gunung di mana kelompok-kelompok seniman itu berasal yaitu Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan perbukitan Menoreh.
FLG XVII memang masih memakai kata “goblok” sebagai tema, setelah sebelumnya, pada FLG XVI mengusung tema “Mari Goblok Bareng”. Supadi Haryanto, Ketua Komunitas Seniman Lima Gunung, mengatakan, tidak ada makna atau tujuan serius, dalam pemakaian kata goblok sebagai tema, bahkan hingga berulang kali.
“Kita masih senang dengan kata goblok. Mungkin ini bakalah jadi tema serial,” ujarnya berseloroh.
Para seniman yang tergabung dalam Komunitas Seniman Lima Gunung, menurut dia, saat ini merasa senang dengan kata goblok, karena merupakan kata sederhana untuk mengungkapkan makna ‘merendah’, bahwa seniman ataupun warga masyarakat lainnya, memang masih harus terus belajar, untuk menjadi manusia yang lebih baik.
“Dalam berkesenian, ungkapan goblok itu juga sekaligus menjadi pengingat bagi kami untuk terus belajar, bagaimana membuat karya seni, dan festival yang jauh lebih baik lagi,” ujarnya.
Dan pentas FLG pun terus berlanjut hingga malam. Semua tampil halus, indah serta dengan kebanggaan bahwa mereka masih goblok bareng...