Menempati salah satu gerai pada acara Festival Kopi Blitar, Minggu (29/7/2018) malam, beberapa pemuda tampak sibuk melayani konsumen. Ada yang menjelaskan biji kopi sangrai (roast bean) dalam stoples-stoples kecil, ada yang tengah menyeduh dengan teknik manual brewing V60, ada pula yang menyambut kedatangan Bupati Blitar Rijanto dan jajaran yang hadir di acara tersebut.
Suasana festival yang diikuti sekitar 30 kedai kopi dari Blitar dan beberapa kota lain di Jawa Timur, serta pihak Perhutani, itu semakin meriah oleh lagu-lagu yang dibawakan RBK Orchestra di atas panggung, di sudut halaman depan Pendopo Hadinegoro, Kanigoro, Blitar. Makin malam, pengunjung yang datang kian banyak meski saat itu cuaca dingin musim kemarau cukup menusuk tulang.
Sekilas, orang awam sulit mengenali siapa saja yang berada di dalam kedai kopi Favorit itu. Sekilas mereka tidak ada bedanya dengan barista pada umumnya yang ikut dalam festival, yakni cekatan dan terampil. Baru, setelah kita berbincang lebih intim, ketahuan jika mereka adalah mantan pekerja migran yang sudah kembali ke Tanah Air.
”Kopi yang ditawarkan juga buatan para mantan pekerja migran yang dulu sempat bekerja di Hong Kong dan Malaysia,” tutur Sulistianingsih (43), salah satu mantan pekerja migran yang telah lama melakukan pendampingan terhadap keluarga para buruh migran yang ada di Indonesia, khususnya di Blitar.
Kopi yang mereka tawarkan berasal dari jenis arabika dan excelsa dari kebun Wonosalam di Kabupaten Jombang. Selain itu, juga ada kopi robusta yang tumbuh di lereng Gunung Kawi di Jatisari, Kecamatan Wlingi, Blitar.
Adalah mantan tenaga kerja migran di kedua wilayah itu yang mengolah kopi setempat. Di daerah Wonosalam saat ini ada sekitar tujuh orang mantan pegawai migran yang konsentrasi mengolah kopi. Sementara di Jatisari terdapat sekitar 12 orang. Jika produk kopi dari Wonosalam diberi merek sesuai namanya, yakni Wonosalam, produk yang dari Blitar diberi nama Kopi Cleng.
Saat ini pemasaran kopi Wonosalam telah menembus kedai-kedai kopi di daerah setempat hingga ke luar negeri, seperti Hong Kong dan Malaysia. Begitu pula yang berasal dari Jatisari. ”Kopi dipasarkan ke luar negeri melalui perantara teman-teman pekerja migran di sana. Di Hong Kong, misalnya, sudah ada toko Indonesia yang menjajakan kopi tersebut. Peminumnya juga orang-orang Indonesia yang ada di sana,” kata Sulistianingsih.
Menurut Sulistianingsih, eks pekerja migran itu baru menangani kopi dalam setahun terakhir. Produknya terus berkembang. Jika sebelumnya hasilnya masih kasar, saat ini sudah dikemas dengan baik. Bahkan, ada juga yang tengah berproses mendapatkan perizinan. Harga produk pun bervariasi. Untuk kopi dari Wonosalam dijual seharga lebih dari Rp 100.000 per kilogram, sedangkan yang dari Blitar sekitar Rp 90.000 per kg.
Mengenai keikutsertaan mantan buruh migran dalam masalah perkopian disambut positif oleh Bank Indonesia (BI) Perwakilan Kediri selaku salah satu pihak yang menginisiasi terselenggaranya Festival Kopi Blitar. Menurut Kepala BI Perwakilan Kediri Djoko Raharto, acara tersebut merupakan program edukasi untuk masyarakat dan petani sekaligus membantu perluasan pasar.
”Kami juga sedang merancang program untuk mendorong ekspor produk-produk pekerja migran khususnya serta usaha kecil dan menengah pada umumnya ke negara-negara tujuan buruh migran. Pekerja migran sebagai intelegent komoditas apa saja yang laku dan dibutuhkan di luar negeri. Mereka memberikan informasi, lalu ditindaklanjuti untuk pasokannya,” ujar Djoko.
Apa yang dilakukannya menindaklanjuti arahan Difi Ahmad Johansyah, Kepala Perwakilan BI wilayah Jawa Timur. Menurut Djoko, ada toko di Hong Kong yang siap menjadi importir produk para pekerja migran dari Blitar. Program yang dibuat oleh kantor perwakilan BI ini sejalan dengan arah kebijakan Gubernur BI yang baru dalam rangka mendorong ekspor.
Selain kopi, ada sejumlah bidang yang digeluti oleh mantan tenaga kerja migran. Sulistianingsih–yang juga mantan tenaga kerja di Hong Kong selama lima tahun dan menjadi salah satu inisiator berdirinya Perkumpulan Tenaga Kerja Indonesia Purna (Pertakina)–mengatakan, bidang lain yang digeluti mantan buruh migran di antaranya batik, aksesori kecantikan, kerajinan tangan, hingga produk makanan dan minuman.
Pertakina sendiri mendorong para mantan tenaga kerja migran dan keluarganya untuk berdaya. Lembaga ini sudah ada sejak 2006 dan mulai berbadan hukum sejak 2016. Saat ini, di Blitar anggotanya mencapai 490 orang. Selain Blitar, Pertakina ada di sejumlah kabupaten lainnya di Jawa Timur.
Ada beberapa peran Pertakina yang dilakukan secara cuma-cuma, di antaranya sosialisasi dan edukasi kepada para tenaga kerja migran supaya mereka menjadi pekerja yang cerdas. Pertakina juga memberikan edukasi untuk memilih perusahaan penyalur tenaga kerja yang benar, jalur yang benar, kelola remiten yang benar, dan hukum-hukum yang berlaku di negara tujuan.
Mereka juga melakukan pendampingan terhadap pihak keluarga di Tanah Air, khususnya bagaimana meningkatkan perekonomian keluarga.