JAKARTA, KOMPAS — Jumlah korban meninggal akibat gempa bumi berkekuatan magnitudo 7,0 di Lombok, Nusa Tenggara Barat, terus bertambah. Badan Nasional Penanggulangan Bencana melaporkan, hingga Selasa (7/8/2018) pukul 11.00 ada 105 orang meninggal dan 236 orang luka-luka.
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, jumlah korban diperkirakan akan terus bertambah, khususnya di Kabupaten Lombok Utara.
”Tim penyelamat masih mengevakuasi korban yang tertimpa reruntuhan bangunan, seperti masjid, puskesmas, kantor pemerintahan, dan fasilitas umum lainnya,” kata Sutopo dalam konferensi pers di Jakarta.
Dari 105 orang meninggal, 78 orang meninggal di Lombok Utara, 16 orang di Lombok Barat, 4 orang di Kota Mataram, 2 orang di Lombok Timur, 2 orang di Lombok Tengah, dan 2 orang di Denpasar.
Dalam proses evakuasi di masjid yang roboh di Desa Lading-lading, Tanjung, Lombok Utara, hingga pukul 09.00, tim gabungan Basarnas, TNI, dan Polri menemukan 1 orang selamat dan 3 orang meninggal.
Proses evakuasi di Pulau Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air berjalan lancar. Sebanyak 4.636 wisatawan asing dan lokal serta warga dibawa ke Pelabuhan Bangsa, Benoa, dan Lembar degan 11 kapal. Di tiga pulau tersebut terdapat dua orang, semuanya warga setempat, meninggal.
Lumpuh
Beberapa desa masih terisolasi dan membutuhkan bantuan. Terdapat 8 desa terisolasi di Lombok Utara, 3 desa di Lombok Barat, dan 10 desa di Lombok Timur.
Tim penyelamat masih kesulitan mengevakuasi daerah yang terisolasi tersebut karena listrik masih padam, khususnya di Lombok Utara dan sebagian Lombok Timur. Pemadaman terjadi akibat adanya beberapa infrastruktur jaringan dan gardu rusak.
Akses menuju desa tersebut juga terkendala karena ada lima jembatan rusak. Kelima jembatan itu, yaitu Jembatan Tampes yang menghubungkan Bayan dengan Kayangan, Lok Duren yang menghubungkan Kayangan dan Gangga, Jembatan Luk, Jembatan Sokong yang rusak pada balok induk sepanjang 15 sentimeter, dan Jembatan Lokok Tampes.
Mata air dan sumur menjadi kering pascagempa di Desa Obel-obel, Lombok Timur, akibatnya tidak ada sumber air untuk mandi-cuci-kakus. Air perusahaan daerah air minum juga menjadi keruh dan beberapa sumur bor berwarna coklat.
Kegiatan perekonomian masih lumpuh total dan masyarakat mengandalkan bantuan logistik. Layanan komunikasi juga terganggu. Jaringan Telkomsel sempat terputus di Lombok Utara, XL sedang melakukan pemulihan jaringan di Lombok Utara, sedangkan jaringan Indosat masih dapat diakses.
Ribuan rumah rusak sehingga warga harus mengungsi. Mereka membutuhkan bantuan makanan, selimut, air mineral, obat-obatan, kebutuhan anak balita, tenaga medis, dan tenaga ahli untuk pemulihan trauma.
Sutopo menyebutkan, masa tanggap darurat di NTB akan berlangsung hingga 11 Agustus 2018 dan akan diperpanjang hingga seminggu. ”Selama tiga bulan akan memasuki masa transisi dan dilanjutkan masa rehabilitasi serta rekonstruksi,” ujarnya.
Ia mengatakan, pada masa transisi, kebutuhan dasar korban, seperti makanan dan kesehatan, akan dipenuhi. Pada masa rehabilitasi dan rekonstruksi akan dibangun permukiman baru dan pemulihan secara sosial serta budaya.
Berita bohong
Warga Lombok sempat dihebohkan dengan berita bohong (hoaks) yang menyatakan akan terjadi gempa susulan di Desa Jeringo dan sekitarnya yang diperkirakan terjadi pada Senin (6/8/2018) pukul 22.30 sampai 23.59 Wita. Gempa tersebut diperkirakan mencapai 7,5 skala Richter.
Akibat berita bohong tersebut, sejumlah warga menjadi ketakutan. Bahkan, berita tersebut menyebutkan akan ada tsunami. Sejumlah wisatawan pun berbondong-bondong pergi meninggalkan Lombok.
Sutopo menjelaskan, gempa bumi tidak dapat diprediksi secara pasti sehingga informasi akan ada gempa dengan kekuatan lebih besar adalah bohong. ”Kalau ada berita semacam itu, abaikan saja,” ujarnya.
Ia menjelaskan, adanya gempa susulan dengan kekuatan kecil adalah hal yang wajar seusai terjadi gempa dengan kekuatan besar. Sutopo berharap warga tetap tenang. Apabila terjadi gempa susulan, segera cari tempat yang aman.